Tapi saya masih mencari yang cukup unik...
Lalu berjumpalah dengan sambal belut di Warung Ikan Bakar Mba Uut. Kebetulan pula di sana ada trancam. Maka saya pesanlah keduanya.
"Trancam masih ada kan, Bu?" Saya berusaha meyakinkan, soalnya di beberapa warung lain yang juga menuliskan menu trancam, selalu diinformasikan sudah habis kalau saya pesan. "Ada, tapi tunggu ya, yang antri pesan banyak sekali." Jawabnya.
Orangtua saya selalu berpesan, tanda tempat makanan yang enak itu adalah kalau ada antrian panjang. Maka saya tentu tidak keberatan menunggu. Hampir satu jam lamanya saya harus menunggu pesanan jadi.Â
Tapi penantian panjang itu pantas rasanya saat mencoba mengigit belutnya. Saya kemudian membawa bungkusan berisi sambal belut dan trancam ke warung penjual es teler bernama Es Cobar dan makan di sana.
Tidak ada seperempat jam, seluruh hidangan habis, lalu saya tutup dengan Es Teler Cobar. Esnya sendiri biasa saja, tapi cukup manis untuk membersihkan langit-langit dari rasa belut yang lengket.
Menjelang malam makin larut, satu per satu warung di sekitaran Lapangan Kota Barat tutup. "Coba ke Slamet Riyadi, mas." Kata pemilik Warung Es Cobar. "Di sana ada beberapa kafe yang tutupnya baru pukul tiga nanti, seperti AMPM," Sarannya saat saya tanyakan di mana tempat nongkrong yang enak.
Berjalan sekitar sekilometer, saya akhirnya kelelahan sendiri. Kebetulan bertemu hotel kecil namun murah meriah di depan Rumah Sakit Slamet Riyadi. Hotel Putri Sari namanya, tepat di sebelah Pizza Hut.Â
Hotel sederhana ini punya tarif mulai dari 170an ribu hingga Rp 250 ribu, tergantung fasilitas kamar yang dipesan. Buat saya ada AC pun cukuplah, karena masih harus menghemat uang sampai ke Jogja nanti.