Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Embracing Failure di Ketinggian 2200 Meter Gunung Gede

28 Agustus 2019   07:54 Diperbarui: 28 Agustus 2019   08:17 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ke Sukabumi saja kalau dari Waduk Cirata, sekalian," Usul Tommy membaca tulisan saya di Kompasiana. Menarik sih, daripada menghabiskan banyak biaya hanya untuk menulis satu tempat, kenapa tidak sekalian saja menulis tempat lain yang juga bisa dilewati saat pulang? 

Namun saya tidak sepakat kalau harus ke Sukabumi. Soalnya saya sudah empat kali main ke Sukabumi, dan sudah pernah menulis soal Sukabumi di masa lalu.

Dan lagi, memutarnya agak jauh. Mending saya cari yang sekalian ada di Jalur Puncak saat pulang. Maka saya buka Google Map dan menyortir beberapa tujuan wisata yang ada di sekitarnya.

"Nah ini dia, Cipanas!" kata saya setengah berteriak. Dulu teman-teman saya saat SMA sering mengajak main ke Cipanas. Namun dulu saya tidak terlalu outgoing jadi tidak terlalu tertarik. Sekarang entah kenapa kata itu jadi menarik saya untuk berkunjung dan penasaran.

Saya browsing lagi apa yang bisa dilakukan di sekitar Cipanas. Ternyata ada yang sedikit anti mainstream, yaitu mendaki Gunung Gede, via jalur Gunung Putri. Gunung Putri ini sebenarnya nama jalan. "Kalau agak santai mending naik dari Cibodas," kata salah satu pengojek.

"Ga usah, Mang. Males ke Cibodas jauh lagi, saya cuma mau motret sunset saja, nanti keburu malam." Maka kami pun naik ke atas, tempat kumpulan basecamp persiapan mendaki.

 "Kalau naik angkot pun bisa, naik yang kuning," Informasi dari tukang ojek. Benar saja sepanjang perjalanan saya melihat angkot kuning bertuliskan Cipanas-Pasir Kampung susul-menyusul hingga ke atas. Cipanas-Pasekon, Pasir Kampung hingga akhirnya sampai di Gunung Putri. Dibandingkan naik ojek Rp 30 ribuan ke atas, naik angkot ini ternyata jauh lebih murah.

Di sana pun sebenarnya matahari terbenamnya cukup indah. Kedua sisi langitnya terekspos dari timur hingga barat. Jadi kalau hanya berburu foto matahari terbit dan tenggelam, sebenarnya tidak perlu naik sampai puncak segala, cukup di Gunung Putri.

Dokpri
Dokpri
"Penginapan Aa? Sekalian diurusin Simaksi," Saya baru tahu bahwa untuk mendaki ke atas, butuh izin khusus. Lagipula ingin mencari tahu perbandingan penginapan.

"Tiga ratus ribu rupiah aja semalam," Jawab si Mamangnya dalam logat Sunda yang kental.

"Waduh, ga ada kalau duit segitu untuk nginap," Kata Saya. Si Mamang kemudian minta izin lapor ke Pak Haji, sebutan untuk pemilik penginapan berwarna biru di ujung deretan tempat penginapan ini. Ia kemudian menawarkan harga Rp 250 ribuan.

Namun saya masih ingin mencari alternatif lain lalu berkeliling bertanya-tanya di mana ada penginapan murah. "Rp 10 ribu aja, Pak!" Lah saya kaget. 

Ternyata beberapa tempat yang berstatus  basecamp memang menawarkan ruang untuk menginap. Namun ruangan yang cukup luas ini ternyata ditempati beberapa orang beramai-ramai. Bisa sampai 6-8 orang. Tidurnya pun seadanya di atas matras.

Namun untuk Anak Gunung, sebutan bagi para pendaki, sebenarnya lebih menyenangkan karena mereka biasanya datang berombongan, dan tidur beramai-ramai justru membantu menghangatkan diri. "Kalau sendirian ya anginnya kena ke Bapaknya sendiri, jadi kedinginan Subuh nanti," Jelas pemilik basecamp.

Akhirnya saya memilih menginap di Basecamp Koperasi, sebab ada warung yang memungkinkan untuk bekerja. Selain itu pemiliknya juga komunikatif. 

Saya dijelaskan apa aja yang harus disiapkan "Minimal sepatu Pak. Jangan sendalan begini. Itu wajib," Kata Mang Jujun tersenyum menyaksikan kepolosan saya. Kelihatan sekali seperti orang tak pernah mendaki.

Dokpri
Dokpri
"Terus nanti naik ga boleh sendirian. Minimal tiga orang. Tapi nanti kita bantu pasangkan groupnya bertiga, baru boleh naik," Katanya.

Menjelang makan malam, Mas Budiman Sudjatmiko lagi-lagi meminta dibuatkan video slide. "Kalau bisa pukul 7 tujuh, ya! Prime time!" serunya. 

Biasanya memang pesanan Mas Bud mendadak. Tapi karena bahkan di lereng gunung ini, dan selanjutnya saya cek bahkan hingga ke arah puncak gunung sinyal 4G sesekali tertangkap, maka saya dengan enteng menyanggupi permintaan itu.

"Beres mas, tapi sambil makan ya!" Jawab saya melalui Whatsapp. Bayangkan, mendownload gambar, suara, tweet, lalu merangkainya menjadi video slide berukuran lebih dari 30 MB bisa dengan mudah dilakukan. Dalam beberapa detik videonya telah diterima.

Dokpri
Dokpri
Mas Bud puas luar biasa. Dan akibatnya dia minta dibuatkan satu lagi. Halah! Hahahaha. Dalam sehari ini saya diminta mengerjakan empat video sejak pagi. 

Ada yang di tepi danau, ada yang di warung di Cipanas, dan sekarang dua lagi mesti dikerjakan di lereng gunung yang lumayan terpencil. 

Namun syukurnya kini di Indonesia koneksi 4G ada di mana-mana, bekerja remote dengan deadline ketat, di tempat terpencil sangat mungkin dilakukan.

 "Siap mas! Asal ga ketiduran ya!"

Dan akhirnya saya benar-benar ketiduran. Hahaha.

Pagi, setelah membereskan video pesanan Mas Bud, saya segera mandi. "Kalau mau tahan dingin, harus dipaksa mandi air dingin sejak pagi. Kalau ditunggu-tunggu malah makin terasa dinginnya," Saya mengulangi pesan orangtua saya dulu saat saya mengeluh dinginnya mandi di Padang Panjang. 

Dijawab begitu, teman sekamar saya melengos dan tidur lagi. Hahaha. Saya jadi merasa setua orangtua saya, punya prinsip mandi air dingin saat udara dingin, padahal tersedia layanan air hangat.

Menjelang pukul 8:00, group kami bertiga sudah terbentuk. Hanya saja saya belum tahu bagaimana mendapatkan sepatu. "Sewa aja di Basecamp Abah Anwar. 

Di sana semua peralatan lengkap. Beli juga bisa!" Saran Mang Jujun. Menyewa rasanya pilihan yang lebih efisien karena saya juga bukan pendaki gunung rutin, sekedar iseng saja.

Abah Anwar menyarankan beberapa peralatan, "Paling tidak harus ada tenda, sleeping bag, sepatu, sama makanan." Semuanya cukup Rp 100 ribuan. 

Makanan kemudian saya beli di Warung milik Pak Haji. Dua Mi instan seduh, empat coklat wafer, permen, dan empat botol air minum. 

Saya tidak berniat menginap dan hanya akan sampai pos 2 dari 6 pos yang harus dilewati untuk benar-benar sampai puncak gunung dan melihat kawah Gunung Gede.

Dan yuk! Saya pun menekatkan diri padahal seumur-seumur belum pernah mencoba menaklukkan gunung. Paling hanya mendaki bukit dan itupun sudah lama sekali. Lagipula stamina saya juga rasanya tidak terlalu bagus karena sudah lama tidak lari dan jalan kaki secara serius sebagai olahraga.

Benar saja, tak lama saya langung terengah-engah. Tapi karena memang niatnya bukan jadi pendaki serius, saya memilih jalan pelan-pelan saja. 

Tiap kali kelelahan, saya mengambil foto petani-petani di lereng gunung. Sayuran yang mereka tanam secara teratur membuat pola lurik yang indah. 

Dokpri
Dokpri
"Makan, Aa.." Demikian ajakan mereka ramah sekali setiap kali melihat saya memotret mereka saat sarapan. Di salah satu kebun bawang daun, saya mengunjungi Pak Umar, seorang petani yang tampaknya paling melek teknologi dibanding yang lain. 

Ia menggunakan alat siram otomatis yang berputar sendiri. Kerjanya mengairi tanaman jadi praktis dan efisien ketimbang menggunakan aliran di tanah yang beresiko kelebihan atau kekurangan air sehingga tumbuhnya jadi tidak optimal.

Dokpri
Dokpri
"Dari mana tahu ada cara menyiram seperti ini Pak?" Tanya saya.

"Oh belajar aja dari Youtube. Terus tanya-tanya di pasar, terus beli," Serunya dengan percaya diri.

"Boleh minta fotonya ya, Pak?" Ia mengizinkan saja. Kemudian fotonya saya tweet dan mention ke Mas Budiman dan Tedy Tricahyono, sekjen Inovator 4.0 Indonesia, dengan caption

"Pada akhirnya semua harus beradaptasi dengan teknologi."

Karena sibuk memotret, akhirnya tak lama saya terpisah dari group. Tapi memang saya sudah pesan bahwa saya akan sangat lambat sekali, jadi tidak perlu ditunggu.

Dokpri
Dokpri
Setelah resot KLHK dan mata air Gunung Gede, selanjutnya saya sampai di Tanah Merah. Walaupun pos ini sebenarnya lebih pantas disebut pos nomor setengah  namun menurut saya secara visual, pos inilah yang paling indah dan paling mudah untuk camping. 

Pos ini belum benar-benar masuk ke wilayah hutan, dan di bawahnya terbentang kebun petani yang sangat luas. Selain itu, di sini pasti selalu ada pedagang makanan yang bisa membantu menyediakan persiapan untuk mendaki.

Saya memesan minuman hangat, gorengan dan sebotol air mineral kepada Kang Riswan yang menjaga pos ini, karena sudah habis sejak berjalan tadi. 

Saya tanya harga air mineralnya. Jawabannya membuat kaget. "Rp 15.000 kalau ukuran sedang. Yang besar Rp 20.000." Jawabnya polos tanpa dosa. 

Hastagah! Tapi namanya kepepet untuk persediaan di atas nanti, akhirnya sekalian saya beli botol besar. Walaupun kalau dipikir-pikir usahanya membawa ke atas susah begini ya bisa dipahami juga sih.

Dokpri
Dokpri
Naik sedikit menuju pos pertama, saya bertemu enam anak muda yang kemudian menawarkan jalan bersama. "Kita juga pelan aja, Bang. Teman saya ada yang sakit." 

Memang sebisa mungkin saat sudah mulai menanjak, tidak disarankan sama sekali sendirian. Selain licin dan mudah terpeleset, di kanan kiri juga banyak jurang yang menyaru menjadi jalan setapak. Inilah yang dulu menyebabkan banyak orang tersesat dan akhirnya celaka, meregang nyawa.

Sesampai pos satu, kami beristirahat. Beberapa yang membawa rokok dan minum mulai menghabiskan stok yang dimiliki. Perjalanan menuju sini mirip latihan, karena cukup landai namun jaraknya cukup panjang. 

Beberapa kali malah datar sama sekali. Sehingga lebih membutuhkan endurance. Di sini saya mendapat tips dari seorang pendaki yang berpapaan, "Boleh pelan-pelan saja, tapi terus berjalan sebisa mungkin, jangan istirahat berlama-lama," Demikian pesannya.

Perjalanan berikutnya menuju pos bayangan berikutnya mulai agak curam, namun jaraknya lebih pendek. Kali ini lebih mirip tes kekuatan kaki dan paha. Tapi jalurnya lebih pendek. Hanya beberapa tanjakan, kami sudah sampai. 

Lagi-lagi kami beristirahat sebentar, sambil bercanda panjang. Memang kalau sudah tertawa bahagia, dengan segera letih hilang. Apalagi kemudian ada rombongan yang turun, menceritakan kelucuan-kelucuan di puncak tadi malam.

Dokpri
Dokpri
Menuju pos kedua, masih relatif cepat dilewati. Namun dari pos kedua sampai ke pos tiga, barulah mulai curam dan terasa panjang. Di sini saya mulai terengah-engah. Baju mulai basah, membuat udara dingin makin terasa menusuk. 

"Kalau bisa ganti baju, Bang. Didobel aja kaosnya." Saya masih menolak tawaran tersebut, karena baju kaos ganti dan pelapis luar masih saya simpan untuk nanti malam, karena pasti lebih menusuk.

screen-shot-2019-08-28-at-07-41-02-5d65ce4d097f3665a5644a32.png
screen-shot-2019-08-28-at-07-41-02-5d65ce4d097f3665a5644a32.png
Di pos ketiga kami melihat beberapa pendaki dengan baju bertuliskan Universitas membuka tenda, namun kemudian dibongkar lagi. "Mau terus saja sebelum malam, di Suryken saja berkemahnya."

Setelah bertanya-tanya apa itu Suryken, dijawab oleh mereka "Surya Kencana, Bang. Itu tanah lapang besar menjelang puncak yang indah, isinya sekumpulan bunga edelweiss." 

Banyak sekali istilah yang digunakan pendaki, misalnya beberapa kali mereka berteriak, "Bonus! Bonus!" Setelah saya tanyakan kepada mereka, ternyata istilah untuk beberapa meter tanah datar yang lebih mudah dilalui.

Menuju pos empat, barulah stamina dan ketahanan saya menurun. Beberapa saya berteriak "Bentar dulu!" Dengan napas terengah-engah. Kondisi tanjakan di sini adalah yang paling curam, "Ayo Bang, dikit lagi udah sampai pos empat, kok." Kata mereka menyemangati.

Dokpri
Dokpri
Kemudian bergabung pula dua pendaki lain, Mas Arul dan temannya. Seharusnya ini menjadi penambah moral, karena hari sudah menjelang malam. 

Gelap membuat kondisi pendakian lebih berbahaya, sementara yang kami andalkan hanya dua headlamp dan cahaya senter dari HP. Namun setelahnya, saya malah makin drop.

"Uwek..." saya mengeluarkan seluruh makanan dan minuman yang dikonsumsi sejak di bawah tadi. Perut jadi kosong, kepala makin ringan, melayang-layang. Berbahaya sekali karena tanpa keseimbangan yang baik, di bawah telah menanti jurang yang dalam.

Saya masih berupaya sekuatnya sampai akhirnya kram menyerang pangkal paha untuk ketiga kalinya. Rombongan tersebut menawarkan untuk membuat tenda saja untuk saya menginap hingga pagi, "Nanti di depan ada tanah datar dan sandaran pohon untuk membuat tenda," Kata Mas Arul kepada yang lain.

"Iya ga apa-apa, saya sampai sini saja daripada merepotkan yang lain," Jawab Saya.

Dengan cekatan karena sudah puluhan tahun mendaki, Mas Arul membuatkan tenda dari persediaan yang saya bawa. Kemudian sleeping bag digelar. "Kok ga bawa matras?" Tanya Mas Arul. 

Saya baru sadar kalau tidur di tenda tanpa matras ternyata membuat punggung kesakitan luar biasa. Tapi kepalang tanggung, saya persilakan mereka jalan kembali, dan saya menghabiskan malam yang dingin menusuk di keheningan malam.

Mencekam!

Delapan jam dalam kegelapan total dan tanpa ada suara sama sekali, selain gemerisik daun yang berjatuhan ternyata menghasilkan ketakutan yang tak bisa dijelaskan, pikiran saya melayang-layang antara menahan sakit dari paha yang kram, ketakutan atas binatang buas yang sewaktu-waktu menyeruduk, hingga sesekali ketakutan atas kejadian gaib. Namun paling mendominasi tentu ketakutan atas keselamatan fisik dari binatang buas.

"Ya Allah, kalau memang waktunya ajal saya menjemput, setidaknya buat tidak terlalu menyiksa dan menyakitkan," Doa saya dalam hati. 

Bayangkan, ketakutan itu mengurung saya dalam ruang sempit tenda yang tak bisa lagi saya perkirakan karena kegelapan total. Setiap kali mata mulai menutup karena mengantuk, kresekan daun bisa membuat saya terkejut dan kembali terlingkup takut. 

Bahkan untuk buang air yang mendesak di tengah angin dingin pun saya tak berani. Mau tak mau saya harus menggunakan botol teh kemasan.

"Ya ga apa-apalah ketimbang keluar sembarangan dalam kegelapan tanpa tahu apa yang ada yang bersiap menerkam di belakang kan?" Pikir saya. Suasana mencekam tersebut terus-terusan harus saya tunggui selama berjam-jam. Saya kemudian berpikir betapa kecil dan tak berdayanya manusia di tengah alam.

Saya mulai membuat janji. "Ya Allah, kalau benar bisa selamat dari kengerian ini, saya akan menulisnya dan tak akan melupakannya seumur hidup!"

Dokpri
Dokpri
Terakhir kali saya menatap HP adalah pukul 03:00 pagi, lalu tiba-tiba tidur tanpa teringat apapun, tanpa mimpi apapun. Hanya suara burung dan terjangan sinar mentari di sela dedaunan yang menyelusup dari lubang tenda yang akhirnya menyadarkan bahwa hari sudah pagi. Saya lihat HP, sudah pukul 8:00.

"Alhamdulillah.. akhirnya selamat juga!" Pikir saya penuh syukur. Tak percaya begitu saja kalau sudah selamat, saya cubit kedua tangan. Ya siapa tahu saya sudah berubah jadi hantu yang hidup abadi dan menunggui sekitaran pos empat pendakian Gunung Gede kan. Hahaha.

Tak pernah saya menikmati cahaya matahari seenak dan semelegakan itu!

Sejam termenung, saya mulai merapikan tenda. Group kecil dua pendaki membantu saya. "Sudah benar keputusan mas berhenti saja dan bermalam di sini." Kata salah seorang dari mereka. "Saya dulu pernah punya pengalaman mirip!" Katanya.

"Apa itu?" Tanya saya.

"Kram, sama kaya mas. Tapi saya memaksakan, akhirnya sampai berkali-kali dan sampai di puncak." Lanjutnya. "Dan akhirnya di atas saya lumpuh. Terpaksa memanggil evakuasi dan digotong sampai bawah. Dua belas jam, Hahahaha," Dia tertawa-tawa.

"Wuih kok sekarang sudah bisa mendaki lagi? Sampai berapa bulan itu pemulihannya?" Tanya saya takjub. "Ga sampai, dua minggu lah ga bisa jalan," Jawabnya masih dalam kondisi tertawa, mungkin menertawakan kebodohannya saat muda.

Dokpri
Dokpri
Pukul 10:00 pagi, saya turun. Kali ini tidak ada halangan berarti selain kerikil-kerikil kecil dan remah tanah lembut yang beberapa kali membuat terpeleset. 

Sesekali saya menyapa anak-anak muda yang naik. Memang biasanya dan sebaiknya mendaki gunung ini dalam rombongan besar. 

Selain saling menjaga, juga saling menyemangati. Mereka selalu heran melihat saya turun sendirian, "Sendirian Mas?" atau "Nanti pulang ke mana?" adalah dua pertanyaan berulang-ulang yang harus saya jawab sambil melihat kening mereka berkerut.

Saya sendiri cukup kagum dengan ketahanan tubuh sendiri, bisa mendaki sampai setinggi dan sejauh itu. Padahal dari segi umur bisa dibilang tidak muda lagi dan baru kali ini sekali-kalinya mendaki gunung benaran. Karena kondisinya menuruni lereng bukit, waktu perjalanan jadi lebih singkat. 

Hanya saja yang cukup menyebalkan adalah kerikil kecil yang menyelinap masuk ke sepatu. Saat menurun, semuanya berkumpul di ujung jari dan terasa menyentak-nyentak. Perih.. saya sampai harus berkali-kali berhenti untuk membuang isi sepatu.

Tak lama saya sampai di pos tiga. Lumayan, di sana ada pedagang yang baru saja buka. Awalnya dari kejauhan saya pikir tenda biru yang ada sedang diserbu babi hutan. 

Saat saya lempar dengan batu, ternyata yang ada di dalamnya manusia. Si Bapak penjual tertawa mendengar saya menyangka dirinya babi hutan. 

"Atu lah saya pikir tadi teman saya iseng lempar-lempar tenda dari jauh. Hahaha." Dia menawarkan minuman hangat. Saya memesan segelas. Di sini harganya cukup kompak dengan warung bayangan di Tanah Merah.

 Segelas kopi atau teh cukup Rp 5.000. Dan segelas air mineral Rp 15.000. Tampaknya memang ada kesepakatan di antara untuk harga makanan dan minuman. Sekali lagi saya tidak bisa protes juga karena upaya untuk membawa semua dagangan itu ke atas pasti berat sekali.

Karena hanya sendirian, beberapa kali saya tersesat di jalan kecil yang ternyata buntu, berujung jurang. Terpaksa saya memutar kembali sehingga memperlambat waktu saya kembali ke posko dua dan satu. Tapi tetap masih jauh lebih cepat dibanding saat naik. 

Dan saya tidak perlu terlalu khawatir karena suasana sudah sangat terang. Sesekali saja ada serbuan kabut embun. Daripada celaka, tiap kali ada kabut, saya memutuskan berhenti sejenak dan menunggu sampai terang kembali menjelang.

Dokpri
Dokpri
Sembari turun juga saya sesekali memotret bunga dan tumbuhan lainnya. Sungguh cantik...

Mungkin yang agak horor dari pengalaman saya di hutan ini adalah saat menyaksikan tiga pohon pisang yang sebelumnya tidak pernah saya lihat saat perjalanan naik. Dari kejauhan, daun ketiganya berputar. 

Ya berputar, bukannya hanya condong ke arah tertentu seperti kalau ditiup angin. Dan saya perhatikan dedaunan lain di sekitarnya diam saja, tanpa gerakan sedikit pun. 

Dan dasar saya agak sableng, bukannya kabur, malah saya kejar pohon pisang tersebut yang tumbuh secara aneh tersebut, sebab di tempat lain di hutan ini, rasanya tidak terlihat ada pohon pisang lain. Dan ketiganya tumbuh berjejer, seolah ada yang mengatur. Begitu dekat, ketiganya langsung berhenti bergerak.

Hiiiy!

Dokpri
Dokpri
Selepas lokasi ketiga pohon pisang mistis tadi, saya sampai di pos bayangan Tanah Merah. Kembali bertemu Kang Riswan. Ia terkekeh mendengarkan pengalaman saya. "Berani juga nginep di pos empat ya?" Katanya.

"Kenapa emang Kang?" Saya balik bertanya.

"Ya di situ rada horor. Paling banyak zaman dulu mayat korban hipotermia di sana ketemunya." Bulu kuduk saya merinding. Ya tentu saja di pendakian manapun akan ada korban bagi yang tak hati-hati dan menjaga kondisi.

"Karena zaman dulu pengawasan tidak seketat sekarang dan peralatan belum canggih, kadang sampai sebulan setelahnya, baru keluarga sadar dan pencarian dilakukan. Seringkali tidak utuh lagi karena sebagian anggota tubuhnya sudah dimakan binatang liar." Katanya melanjutkan. 

Saya lalu bilang teringat nasib saya sendiri andai nekat naik tanpa peralatan apapun sesuai petunjuk Abah Anwar. Bisa-bisa juga mati kedinginan dan ditemukan tidak utuh lagi.

Dokpri
Dokpri
"Lho sama hantunya tidak takut?" Tanya Kang Riswan keheranan.

"Hantu mah ada di mana di mana-mana Kang, dan bentuknya bisa aneka rupa, tergantung pikiran kita." Kata saya tertawa. Setelah berbaring sejenak di warung Kang Riswan, saya melanjutkan perjalanan turun. 

Beberapa kali kabut embun memeluk, bahkan hujan gerimis membuat dingin semakin menusuk tulang. Untungnya matahari juga cukup terik mengimbangi. Dan dalam sejam berikutnya saya sampai kembali di Basecamp Abah Anwar.

"Selamat ya!" Kata Abah Anwar tersenyum dari belakang, menawarkan tangannya untuk bersalaman.

Saya jabat tangannya sambil tertawa-tawa. "Buat apa, Bah?" Dia ikut terkekeh. "Ya selamat buat keberhasilan turun."

Dokpri
Dokpri
Ternyata cerita bahwa saya kram di ketinggian tersebar hingga bawah. Bahkan tim SAR pun sempat mendengar. Namun karena saya sempat menitipkan pesan untuk tidak usah mengevakuasi saat ada yang menanyai di tenda tadi malam, maka mereka mungkin hanya bisa menunggui dengan khawatir. 

"Ya saya kan tujuannya cari kesenangan, Bah. Kalau dipaksain sampai puncak pasti celaka, bukannya jadi senang, malah dapat celaka. Lagian saya ga ada tujuan sampai puncak kok. Sudah hampir sampai pos empat pun saya udah bangga."

Di Basecamp Abah Anwar malam itu, kami semua yang bertukar cerita pendakian, soal kaki saya yang kram, pendaki yang memaksakan diri sehingga berujung cedera dan tak bisa turun, berbagai hantu, sampai tiga pohon pisang yang berputar-putar tanpa adanya angin yang tadi saya temui menjelang pos bayangan Tanah Merah.

Dokpri
Dokpri
"Ya begitulah di tiap pendakian, ada saja cerita mistisnya." Jawab Abah Anwar tersenyum bijak. Inilah kesenangan yang luar biasa dari sebuah pendakian. 

Semua yang naik dan turun membawa ceritanya masing-masing. Sampai subuh kami terus menularkan cerita masing-masing, sampai saya menyeletuk, kalau dikumpulkan dan diterbitkan jadi buku, pasti akan jadi buku yang menarik. Semua tertarik dan setuju.

Dan akhirnya setelah tidur sebentar, pagi kembali menjelang di Basecamp Abah Anwar di Gunung Putri. Abah menawarkan dua sticker kepada saya. "Ini buat kenang-kenangan sudah pernah ke sini. Saya menerimanya dengan penuh terima kasih dan menempelkannya di HP saya.

Alhamdulillah, sungguh sebuah pengalaman berharga bisa mengikuti pendakian ke Gunung Putri. Walaupun tidak sampai ke puncak dan harus menerima kegagalan saya menjelang pos empat, namun itu pun sudah menjadi pengalaman berharga untuk diceritakan.

Terima kasih Gunung Putri, terima kasih untuk semua pendaki!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun