Segelas kopi atau teh cukup Rp 5.000. Dan segelas air mineral Rp 15.000. Tampaknya memang ada kesepakatan di antara untuk harga makanan dan minuman. Sekali lagi saya tidak bisa protes juga karena upaya untuk membawa semua dagangan itu ke atas pasti berat sekali.
Karena hanya sendirian, beberapa kali saya tersesat di jalan kecil yang ternyata buntu, berujung jurang. Terpaksa saya memutar kembali sehingga memperlambat waktu saya kembali ke posko dua dan satu. Tapi tetap masih jauh lebih cepat dibanding saat naik.Â
Dan saya tidak perlu terlalu khawatir karena suasana sudah sangat terang. Sesekali saja ada serbuan kabut embun. Daripada celaka, tiap kali ada kabut, saya memutuskan berhenti sejenak dan menunggu sampai terang kembali menjelang.
Mungkin yang agak horor dari pengalaman saya di hutan ini adalah saat menyaksikan tiga pohon pisang yang sebelumnya tidak pernah saya lihat saat perjalanan naik. Dari kejauhan, daun ketiganya berputar.Â
Ya berputar, bukannya hanya condong ke arah tertentu seperti kalau ditiup angin. Dan saya perhatikan dedaunan lain di sekitarnya diam saja, tanpa gerakan sedikit pun.Â
Dan dasar saya agak sableng, bukannya kabur, malah saya kejar pohon pisang tersebut yang tumbuh secara aneh tersebut, sebab di tempat lain di hutan ini, rasanya tidak terlihat ada pohon pisang lain. Dan ketiganya tumbuh berjejer, seolah ada yang mengatur. Begitu dekat, ketiganya langsung berhenti bergerak.
Hiiiy!
"Kenapa emang Kang?" Saya balik bertanya.
"Ya di situ rada horor. Paling banyak zaman dulu mayat korban hipotermia di sana ketemunya." Bulu kuduk saya merinding. Ya tentu saja di pendakian manapun akan ada korban bagi yang tak hati-hati dan menjaga kondisi.