"Katanya bokek... Kok ngajak jalan lagi" ejek Tommy Bernadus sambil tertawa-tawa saat saya mengajaknya main ke Banten. Beberapa waktu lalu saya memang curcol ke dia kalau ga punya duit. "Lah,Cuma modal tiket KRL, apa susahnya Tom." Saya tertawa-tawa. "Ya udah tungguin ya, siap-siap baju dulu." Katanya.Â
Pagi itu, sekitar pukul 05:00 kami bergerak ke Stasiun Tanah Abang. Naik Go Car adalah opsi paling mahal sepanjang perjalanan kami seharian ini. Tiket kereta ke Rangkasbitung hanya Rp 8.000. Murah sekali untuk sebuah jalan-jalan demi pelarian dari rasa suntuk bekerja di ibukota.
Sayangnya karena sudah kecapean karena kemarin mengurusi pertemuan Inovator 4.0 Indonesia, antara pak Jokowi dan Mas Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan, saya jadi tidak tidur seharian. Dan akhirnya karena ayunan nyaman dari KRL, mata saya tiba-tiba jadi berat dan tidak bangun lagi sampai diteriaki Tommy.
Dengan kecepatan dan kenyamanannya, KRL mengantarkan kami hingga stasiun terakhir di Rangkasbitung, disambut tukang ojek dan becak.Â
Stasiun ini, walaupun penampilannya juga bagus, namun di sekelilingnya masih banyak mangkal tukang ojek dan becak yang berebut menawarkan jasanya. Lagipula tepat di samping stasiun ini ada pasar.
"Kue pasung, mau?" seorang Ibu menawarkan. Tentu saja karena sudah lapar, maka saya meminta dibungkuskan masing-masing sepasang kue yang nikmat. "Ada yang aneh-aneh ga Bu, jualannya?" Si Ibu mengerinyit. "Aneh gimana maksudnya?" Ia bertanya. "Yang kira-kira jarang di Jakarta.
Baru kali ini saya jumpai belut dipepes. Lagipula ukurannya kecil sekali, tidak meyakinkan. "Nih, makannya bareng Urap Daun Pepaya," Walaupun disebut urap, namun menurut saya lebih tepat disebut tumisan bunga dan daun pepaya.
"Tuh ada es campur Tom!" Seru saya di penghujung pasar becek. "Ya udah yuk cobain." Maka kami pun memesan tempat dan dua gelas es campur.
"Wuih beda banget ini rasanya, enak.." Bapak penjualnya langusng menjelaskan. "Itu pakai kacang hijau di atasnya." Rasa manis yang tidak terlalu kentara, bercampur dengan rebusan kacang hijau yang keset dan agak manis kepahit-pahitan, membuatnya ideal membuka hari bagi para pengelana rasa.
 Tommy mencoba sedikit dan setuju kalau pepes belut Rangkasbitung memang enak sekali. "Makannya sambil cubitin urap daun kelapanya nih."Â
Saya menawarkan seplastik kecil urap daun pepaya. Karena ditumis dengan banyak minyak, rasa pahit dari daun pepayanya hilang, berganti rasa gurih dari minyak goreng.
"Deket kok Cuma 700 meter dari sini." Katanya menyarankan. Cukup dekat, maka kami memutuskan jalan kaki saja sambil membakar kalori. "Asli jalan-jalan murah meriah. Ga keluarin duit banyak, bisa puas jalan-jalan keliling kota hehehe," Kata Tommy sambil menghidupkan kamera kecilnya.
Beberapa peninggalan perdagangan masa lalu ditampilkan, lengkap dengan narasi-narasi yang dimunculkan melalui interaksi multimedia. Bagus sekali! Serasa berkunjung ke museum di Kota Tua, Jakarta.
Bahkan saya juga baru tahu sebenarnya terbitnya buku ini adalah sebuah kecelakaan. Max Havelaar disunting dan diterbitkan tanpa sepengetahuan penulisnya.Â
Karena topiknya kontroversial, berupa penindasan rakyat Indonesia yang waktu itu tabu dibicarakan, buku ini kemudian menjadi buah bibir dan mendorong politik etis dan pergerakan pemuda Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
"Seorang politikus yang tidak pernah mengenal Multatuli bisa menjadi politikus kejam. Pertama karena dia tidak kenal sejarah Indonesia dan kedua karena dia tidak mengenal humanisme modern," Ya, Multatuli memang menjadi salah satu inspirasi Pramoedya Ananta Toer dalam menulis.Â
Bedanya Multatuli, sebagai keturunan Belanda agak berjarak dalam menganalisa beratnya kehidupan sebagai pribumi pada masa itu, sementara Pram jauh lebih dekat dan lugas karena menjadi bagian dari kisah-kisahnya sendiri.
Bukan hanya Pram.. Kartini, Bung Karno, Ahmad Soebardjo, adalah sekian banyak dari tokoh di Indonesia yang menjadikan tulisan-tulisan Multatuli sebagai inspirasi dalam berjuang. Museum Multatuli menyajikan fakta-fakta ini. Ada banyak sekali testimonialÂ
Namun effort dari pemerintah daerah untuk merestorasi rumah dinasnya setelah terbengkalai sekian lama patut diberikan pujian. Lebih dipuji lagi dengan isi yang begitu mewah, museum ini tidak memungut bayaran apapun. Apapun
Keluar dari pintu belakang, kami berpindah ke Perpustakaan Saidjah Adinda yang sebenarnya juga bagian cerita dari karya Max Havelaar.
Bedanya orangtua Saidjah tertangkap dan meninggal, sementara Adinda dan orangtuanya gugur dan diperkosa dalam pertempuran melawan kesewenang-wenangan yang terjadi di Banten saat itu.Â
Saidjah, kecewa karena gagal menikahi pujaan hatinya, akhirnya nekat menyerbu dan mengamuk. Ia pun akhirnya menyusul Adinda, cinta sejatinya.
Sementara saya lebih senang membaca buku sambil terkantuk-kantuk di dalam ruangan perpustakaan. Lagi-lagi, tidak diminta bayaran apapun untuk menikmati fasilitas ini. Kalaupun ingin menjadi anggota, cukup menitipkan fotokopi KTP. Tapi itu tidak wajib.
Nyaman sekali rasanya kursi di perpustakaan ini, sambil diselingi hembusan AC yang dingin. Bau buku yang khas menambah kenyamanan tersendiri. Sejak kecil saya memang penggila buku dan sering nongkrong di perpustakaan.
"Pak, mau bantu kami syuting kecil-kecilan ga?" Tanya seorang petugas cantik berjilbab membangunkan saya. Tentu saja rugi rasanya kalau melewatkan tawaran itu, sekalian ngeksis hehe.Â
"Tapi saya cuci muka dulu ya mba. Ngantuk sekali." Ia lalu menunjukkan toilet terdekat. Bersih sekali seperti layaknya toilet di hotel, membuat saya lupa bahwa gedung ini fasilitas umum dan dikelola pemerintah.
Usai suting, saya meminta kesempatan berfoto berdua dengan teteh cantik ini, yang sayang sekali lupa saya ajak berkenalan. Ya sudahlah, paling tidak kami sudah dalam satu bingkai foto yang bisa dijadikan kenang-kenangan.
Masih lapar, saya minta tambahan sepiring kupat tahu, yang juga enak. "Ga rugi ya Tom, jalan-jalan murah banget ke sini, Cuma Rp 8000?" Tommy tertawa-tawa sambil mengangguk, melahap sotonya sampai suapan terakhir.
Syukurnya di kota ini sudah tersedia layanan transportasi online sehingga dalam waktu singkat, kami sudah kembali ke Stasiun. Pukul 03:00 sore, sambil menggenapkan jam tidur saya yang kacau balau, kami kembali ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H