Selesai berkeliling Pangandaran, saya merasa sayang sekali kalau tidak sekalian saja ke Cilacap, kampungnya seorang aktivis 98, Mas Budiman Sudjatmiko. Beliau memang lahir di kota ini dan kemudian maju dan terpilih menjadi anggota DPR dari daerah yang sama.
"Berapa ke Cilacap, Pak?" Saya bertanya kepada seorang penjual gorengan di Terminal Pangandaran. "Cuma 30 ribuan. Naik bus tigaperempat saja," Jawabnya. Yang saya ketahui kemudian, bus tigaperempat adalah istilah untuk bus kecil sekelas kopaja atau metromini di Jakarta.Â
Berbeda dengan bus super executive yang saya naiki dari Jakarta ke Pangandaran, bus tigaperempat dari Pangandaran ke Cilacap adalah bus tua yang tidak ber AC. Saya menyangka perjalanan tidak akan nyaman karenanya.
 Rasanya manis dan gurih, mirip Soto Padang, namun versi lebih ringan, dan daging yang digunakan daging ayam. Saya jadi merasa harus nambah karena rasanya enak sekali dan memang harus diakui saya kelaparan hehe.
Saya buka Google Map, posisi Teluk Penyu ada di bagian timur dari Cilacap. Memang timur lah bagian yang menghadap laut lepas, sementara di bagian barat adalah muara sungai dan ditutup langsung oleh pulau Nusakambangan.
Tapi saya tidak langsung percaya begitu saja. Di bagian barat ini muara sungainya cukup melebar, dan ada pelabuhan sungai yang cukup besar. Pasti akan bagus dan berwarna-warni menunggu sore hari di sini. Lagipula saya sampai di Cilacap sudah agak sore. Rugi sekali rasanya menunggu selama itu untuk menunggu matahari terbit.
"Saya edit ya Pak. Kita ke Pemakaman Karang Suci," Tentu saja dia kebingungan karena request ini. "Mau nyekar ya Pak?" Saya ketawa. "Bukan, pokoknya ke sana aja dulu. Nanti saya tambahkan tipsnya. Dan kami pun meluncur ke TPU Karang Suci di bagian barat Kota Cilacap.
Benar saja, begitu sampai di muara sungai di bagian barat, di balik TPU Karang Suci yang sedikit menakutkan, tersimpan keindangan matahari yang sedang beranjak turun, menghasilkan sinar kekuning-kuningan. Sementara perahu dan speed boat berwarna-warni lalu lalang. DI latar belakangnya, daratan seberang dan secuil Pulau Nusa Kambangan. Langitnya dihiasi sedikit awan tipis. Semuanya menyatu menjadi sebuah komposisi yang sangat kaya!Â
Menjelang magrib, saya pindah ke Pantai Teluk Penyu. Memang masih lama menunggui fajar pagi, tapi setidaknya di sana katanya ada tempat makan ikan yang enak. Dan saya lihat salah satunya adalah Warung Ikan Bakar Citra Rasa.
Selintas saya lihat di menunya ada yang aneh, Kepiting Ngapak, "Apa itu mba, kepitingnya kalau ngomong ngapak-ngapak gitu, ya?" Tanya saya polos. Mba pelayannya ketawa. "Bukan, itu semacam kepiting dengan saos padang, terus ditaburi jagung." Aneh juga masa kepiting ditaburi jagung. "Pesan satu boleh?" Saya berminat mencobanya. Sayangnya menu tersebut tidak tersedia. "Lagi ga musim, ga ada jagungnya. Maaf ya." Saya pun kecewa dan memilih Ikan Bawal Bakar saja. Lumayan enak dan mengobati kekecewaan saya akan kepiting bertabur jagung.
Â
"Di Cilacap sini memang banyak orang stres mas," Jelas pelayan di sana yang tadi dibentak-bentak. "Kadang kalau udah mabuk gitu emang bawaannya ribut dan ga peduli hukum." Saya pun jadi mengerti dan bersyukur tidak nekat melawan segerombolan orang tadi. "Apalagi daerah sini memang banyak karaokenya, banyak yang jam segini pulang dalam keadaan mabuk," Tambahnya lagi meminta permakluman.Â
Ya sayapun akhirnya ijkhlas saja menyerahkan meja yang harusnya saya tempati lebih dahulu dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Rugi sekali melawan sekumpulan orang mabuk.
Mernjelang subuh, azan menjelang. Saya pun pindah kembali ke Pantai Teluk Penyu. Alhamdulillah Gojek selalu saja memberi berbagai diskon sehingga dengan uang Rp 2.000 di Gopay saya bisa berjalan-jalan keliling kota sepuasnya, walaupun kemudian saya tambahkan tips agak banyak juga. Â
Maksud awal saya ke Caf Teluk Penyu yang sempat saya singgahi tadi malam. Namun suasana di sana masih gelap, tidak ada orang sama sekali. Kang Gojek menawarkan supaya saya menunggu di dekat Pos Polisi menjelang Benteng Mendem saja. "Di sana lebih aman, kalau kenapa-kenapa bisa langsung lapor," katanya. "Di sini kalau rampok atau tukang nodong bisa dijamin ga ada," Katanya berusaha meyakinkan. "Taoi orang mabuk dan tukang palak banyak," Saya terkekeh. "Ya sama aja atuh, Pak. Berarti kurang aman."
Spot itu tersembunyi dan sepi. Tapi penerangannya lumayan dan ada pengawasan petugas, sehingga saya merasa aman menunggui mentari pagi menjelang. Dan benar saja, menjelang pukul 6:00, matahari tersingkap dari balik awan dan menghasilkan warna-warni luar biasa.Â
Namun sesampai di terminal, saya menjumpai bus berikutnya adalah pukul 16:00 sore. Akibatnya tentu saya harus menunggu lebih lama lagi dengan membuang waktu.
Akhirnya saya putuskan transit dulu ke kota tujuan selanjutnya. Ke mana? Ikuti saja serial perjalanan darat saya menyusuri jalur Pantai Selatan Jawa berikutnya!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H