Terus terang selain nasi tutug oncom, saya tidak melihat ada sesuatu yang unik yang bisa dimakan di Pangandaran. Ikan dan udang yang ditawarkan di sini kurang lebih mirip seperti yang sudah saya makan di Muara Baru. Bedanya di sini langsung dialurkan dari laut dan masak saat itu juga, jadi sedikit lebih fresh.
Pagi-pagi saat terbangun di Pantai Timur Pangandaran, barulah saya menyadari kalau Pangandaran ini surga tersembunyi. Pantai pasir putih, dengan sedikit campuran karang, sehingga keindahannya tetap terlihat alami. Kemudian dari kejauhan tampak perahu nelayan mulai mendekat, pulang.
"Lobster, Aa?" Tanya seorang Ibu. Saya senyum saja, krena yang ia tawarkan adalah udang galah. Bentuknya agak mirip karena udang galah juga kulitnya tebal seperti lobster, dan ujungnya juga ada semacam sirip.
Yang membedakan keduanya hanyalah capitnya, karena sebenarnya rasanya nyaris sama saja. Tapi bagian perut dan kepala lobster tidak bisa dinikmati karena bau busuk. Hanya bagian ekor dan capitnya saja yang bisa dimakan. Sementara udang galah masih bisa diseruput, nyaris seluruh bagian badannya bisa dinikmati, selain kulitnya, tentu saja. Kalau memang cari yang enak, saran saya udang galah saja, karena menurut saya udang jauh lebih manis daripada lobster yang cenderung hambar.
Tak mau bertengkar lama, saya beli saja udang galahnya si Ibu. Seporsi besar ini kira-kira Rp 100an ribuan. Kira-kira di Pasar Ikan Muara Baru dan Muara Karang pun segitu. Â Saya tanya di restroan pun harganya kurang lebih segitu. Jadi hitung-hitung beramal.
Hanya saja bagi yang memang ingin menikmati Lobster Pangandaran, bukan udang galah, saya sarankan berhati-hati jangan beli yang dijajakan di trotoar dengan dibalur pasir hitam. Apalagi saat diangkat ternyata tidak ada capitnya. Itu udang, bukan lobster. Kalau butuh gengsi makan lobster demi momen instagrammable, carilah di restoran yang menjual ikan segar. Harganya sama saja seperti lobster di Jakarta, namun biasanya masih segar, atau cari saja di Jakarta. Sama saja kok.
Sambil menikmati mentari mengintip dari ufuk timur, saya makan dan duduk-duduk melanjutkan membaca buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Menggelinding 1. Lalu speaker bluetooth saya hidupkan sembari memutar spotify. Sungguh sebuah liburan yang intelek. Hahaha.
Saya baru sadar mereka tampaknya belum terbiasa dengan turis lokal backpacker. Padahal beberapa kali saya lihat bule-bule yang pelesir murah meriah lumayan banyak di sini.Â
Soalnya beberapa kali saya ditawari ojek, saya selalu menolak dengan halus. Saya lebih pilih berjalan kaki. Wong daerah pantai timur dan barat Pangandaran itu sebenarnya kecil sekali, lebih mirip kompleks perumahan. Dari timur ke baratnya Cuma 200-300 meter. Tentu sebuah pemborosan kalau naik ojek ke mana-mana.
Tapi saya tetap senang Gojek hadir juga di Pangandaran. Artinya kalau malam-malam kelaparan, saya tinggal pesan Gofood. Dan bagusnya saya jadi bisa menelusuri di mana saja tempat makanan yang kira-kira enak dan unik.Â