Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Murah-Meriah Mengunjungi Kampung Bu Susi

11 Agustus 2019   23:08 Diperbarui: 12 Agustus 2019   00:13 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tom gue mau ke Rangkasbitung, hehe.Ikut yuk?" Saya mengajak Tommy untuk bertualang lagi. "Ntar aja" Kata Tommy. Tampaknya dia belum berminat untuk jalan-jalan lagi. Saya sendiri juga sebenarnya tidak ada niat jalan-jalan jauh karena uang tabungan sedang seret juga, jadi memilih perjalanan yang dekat-dekat saja ke Banten. 

Berdasarkan info yang saya search di internet, katanya kereta ke Rangkasbitung adalah salah satu perjalanan panjang kereta api yang terhitung murah, karena cukup dengan perjalanan Commuter Line.

Namun di tengah jalan sebelum memesan Gojek ke stasiun KRL terdekat, pikiran saya melayang. Tahun lalu pernah berniat main-main ke Pangandaran. Maka saya tanya lagi Tommy. "Kalau ke Pangandaran ada keretanya ga sih, Tom?" Saya selalu mengandalkan Tommy untuk informasi rute perjalanan dan tujuan wisata yang bagus. Karena terus terang dia lebih komplit sejarah travellingnya dibanding saya.

"Ada lho sekarang kereta ke Banjar. Tapi penuh sesak kalau weekend," Demikian info dari Tommy. Saya pun iseng mencari alternatif perjalanan darat lainnya, sebab naik pesawat kecil dan turun di landasan yang dulu dibuat Bu Susi Pudjiastuti di halaman rumahnya, jelas mahal.

Saya cek bus. Ternyata tersedia di Kampung Rambutan. Saya bolak balik, ada bus langsung, ada juga yang transit dulu di Banjar atau Tasik, baru melanjutkan lagi ke Pangandaran. Ulu Tommy menyarankan transit dulu di Banjar. 

Tapi saya menemukan bahwa ternyata yang langsung ke Pangandaran pun tersedia dan kalau ditotal biaya perjalanannya malah lebih murah. Lagi pula sudah lama saya memang ingin merasakan sedikit jalur pantai selatan Jawa.

Angkut! Ayo ke Kampung Rambutan, Pak!

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Terlalu cepat datang ke Kampung Rambutan, akhirnya saya bengong pukul 03:00 pagi hari. Hahaha. Nyebelin ya? Tapi syukurnya Terminal Kampung Rambutan tidak seburuk rupa dulu saat saya masih harus menggunakan bus untuk bolak balik Jakarta-Bandung saat masih SMA. Terminal ini kini lebih bersih dan rapi, walaupun pedagang kaki lima masih ada di beberapa sudut, namun terlihat lebih rapi. Calo-calo sudah tidak ada lagi mengerubungi. Begitu saya tanya petugas, saya langsung diarahkan ke tempat parkir bus Jakarta-Pangandaran.

Pusing duduk melamun saja, saya kemudian mencari tukang urut yang biasanya berkeliaran di sekitaran terminal. Benar saja, di pojokan, dekat ruang pengawas, ada tukang urut yang matanya buta sebelah. Pak Jeki Namanya. Mengurutnya berpengalaman, "Sudah sepuluh tahun belakangan. Dapat ilmu turun-temurun dari orangtua saya," sahutnya yakin.

Memang benar. Saat dipijit, ia meletakkan jari-jemarinya dengan tepat, sehingga saya tidak perlu menjerit kesakitan namun pegal-pegal pun hilang tiada sisa. "Bapak ini ada penyumbatan di beberapa pembuluh darah. Sini saya pijit!" Sahutnya yakin. Ajaib, hanya beberapa kali tekan, benar beberapa rasa sakit dan pegal di telapak kaki dan tangan saya hilang.

"Nanti baru ada jam 7:00. Tunggu saja dulu, kalau mau cepat naiknya yang ke Banjar dulu. Baru nyambung," kata seorang calon penumpang menyarankan ke saya. Saya masih ngotot mau naik langsung ke Pangandaran. Soalnya masih mempertimbangkan biaya. Namun saat bis yang dimaksud datang pukul 5:30, saya terus terang kecewa. Delapan jam perjalanan non stop tanpa toilet!

"Ga pak, saya trauma dulu ke Semarang juga nonstop tanpa toilet. Susah diminta berhentinya, hehehe." Saya langsung menjauh, mencari jurusan lain yang lebih baik. "Naik Budiman aja ke Banjar, ada yang super eksekutif" sahut penumpang lain. Selisih biaya perjalanannya Cuma Rp 30 ribu, sebagai tambahan bus dari Banjar ke Pangandaran. "Baiklah, tidak rugi juga singgah di Banjar, walau setelah saya tanya-tanya ternyata relatif tidak ada tujuan wisata menarik di Banjar. Tapi setidaknya bus dari Jakarta ke Banjar disediakan toilet jadi tidak perlu berhenti hanya karena keinginan alam tidak dapat ditahan-tahan lagi.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Tidak menuggu lama, bus berjalan menembus Tol Jakarta-Cikampek dan lalu berbelok ke selatan ke Cipularang. Lewat dari Purwakarta, saya tidak ingat apa-apa lagi karena tertidur. Memang saya mengantuk sekali karena sejak  tadi malam tidak tidur karena mempersiapkan perjalanan. Wuss.. tiba-tiba saya sudah terbangun saat bus berhenti di Rumah Makan Sunda Pernanjung 2 di sekitar Garut.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Rumah makan ini tampaknya memang disepakati jadi tempat berhenti Bus Budiman yang saya tumpangi, karena beberapa rute lainnya pun berhenti di sini. Nyaris tidak ada mobil lain yang berhenti. Naluri saya mengatakan makanan di sini tidak enak bahkan mungkin harganya melejit.

Ternyata saya salah. Opor ayamnya enak sekali. Ditambah sayuran sop dan orek tempe, saya menyesal sempat berburuk sangka di awal. Pelayannya juga ramah dan banyak senyum. Harga? Cuma Rp 28 ribu saja. Tidak mahal-mahal amat, walau tidak bisa dibilang murah-meriah.

Hanya diberi kesempatan 30 menit untuk makan, sehabis makan saya langsung mendengar pengumuman, "Untuk penumpang jurusan Jakarta-Banjar, segera menaiki bus anda kembali..." Kami pun berlarian ke bus.

Di Pool Budiman Tasik, saya usil ingin mengemil lagi. "Ketan bakar, Aa?" Tanya seorang pedagang asongan. Saya pesan 3 biji untuk mengganjal perut. "Sepuluh ribu aja." Kata penjualnya dengan mengacungkan jari telunjuk. 

Ketannya enak dan masih hangat, baru dibakar. Beda dengan ketan uli di Jakarta yang diberikan serutan kelapa bakar, ketan bakar di Tasik polos saja. Tapi harus diakui bahan beras ketannya lebih enak, jadi memang tidak perlu ditambahi kelapa lagi.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Beberapa jam kemudian, saya sudah sampai di Banjar, setelah menghabiskan hampir seluruh 8 jam perjalanan dalam keadaan tidur tanpa bermimpi sama sekali. Sungguh nyaman karena perjalanan bus eksekutif Budiman diberikan kursi dengan jarak kaki yang sangat lapang, bahkan ada penahan kaki yang lembut sekali. Jadi nyaris dalam kondisi berbaring seperti di tempat tidur.

Di Terminal Banjar, saya celingak-celinguk. Sama sekali tidak punya berkeliling Kota kecil mirip Cirebon ini. Tapi saya beruntung ada tukang ojek yang dengan senang hati mengantarkan berkeliling dengan bayaran Rp 15 ribu saja hingga ke pusat kota. Nyaman sekali berjalan kaki di sini karena nyaris tidak ada kendaraan bermotor, hanya ada beberapa motor berlalu Lalang, itu pun tidak ada yang ugal-ugalan.

Iseng berkeliling pasar, saya bertemu sebuah pedagang sate yang dari jauh saja bau wanginya sudah menusuk. Mang Ajun Namanya. Rahasianya adalah satenya dibakar dalam keadaan segar. Dan di sela dua daging yang ditusukkan, diselipkan gajih atau lemak. Sehingga wangi dari daging yang terbakar, bercampur dengan lemak meleleh. Lalu disiram dengan kuah kacang yang tidak kemanisan. Pas sesuai dengan lidah saya, dan lumer saat masuk mulut.

Nyam!

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Satenya memang kecil-kecil. Tapi tidak kalah dengan sate di restoran mahal. Dan harganya pun bersahabat di kantong. Rp 18 ribu sudah termasuk minuman. Seimbang dengan rasanya yang enak sekali.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Tak lama berkeliling Banjar, saya sudah harus mengejar bus berikutnya ke Pangandaran. Soalnya kalau telat, bisa-bisa saya harus menginap, yang berarti pengeluaran tambahan yang tak perlu.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Iseng saya cek, ternyata kota sekecil Banjar pun ada gojeknya. Maka saya pun memesan sambil menunggu di sebuah kafe bernama Myu,  yang letaknya agak masuk ke dalam. Awalnya saya meremehkan karena selintas seperti kafe-kafe tidak serius. 

Namun setelah masuk dan duduk, baru saya sadar interiornya digarap sangat serius. Cocok buat nongkrong. Rasa kopinya? Saya baru menikmati segelas Cappucino dingin, tapi ya okelah. Ga mengecewakan. Tapi saya tetap lebih tertarik dengan interiornya yang bagus.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Lima menit di Caf, driver Gojek sudah menjemput. Saya pun melanjutkan perjalanan ke Pangandaran dengan bus kecil. Harganya Cuma Rp 30 ribu. Dan setengah mengantuk dengan tidur-tidur ayam, sesekali memegang erat tas berisi laptop, karena tidak yakin dengan keamanannya, akhirnya saya sampai ke Pangandaran malam hari.

Karena malam nyaris tidak kelihatan apa-apa, maka saya mencoba Tutug Oncom. Masakan ini khas Sunda. "Itu nasi biasa atau uduk ditaburin oncom, terus ada ikan asin kecil di atasnya," Kata Bu Linda, pemilik warung tutug oncom dan nasi liwet, tepat di depan Rumah Makan Padang Tuah Sakato.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
"Enak Bu," Sahut saya saat mencoba. Bu Linda dan suaminya tersenyum, lalu menawarkan lagi puding leci untuk pencuci mulut. Tentu saja saya tidak menyia-nyiakannya.

Sehabis makan nasi tutug oncom yang murah -meriah, saya melanjutkan perjalanan ke arah barat, menuju Pantai Timur Pangandaran, sekalian duduk-duduk hingga pagi hari menanti Sunset. Terus terang walaupun mata merah perih, namun saya kesulitan untuk memaksakan diri tidur karena sudah pulas di bus yang nyaman tadi.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Berkeliling sebentar di Pantai Barat, saya menyempatkan diri berfoto di Patung Ikan di Taman Sunset Pantai Pangandaran. Lumayan untuk ngetes Oppo F11 Pro, saya pikir. Ternyata sesuai dengan klaim. Foto-foto malam hari dengan smartphone ini sangat bagus dan tajam. 

Tidak terlihat bintik atau pecah seperti biasanya kalau kita set ISO tinggi di malam hari.  Bosan berfoto, saya ajak ngobrol beberapa orang di sana, mulai dari penjaga kantin hotel, security, hingga tukang ojek.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
"Kalau mau nunggu di Pantai Timur, nanti menjelang pagi banyak nelayan berlabuh dan pukul 6:30 mereka balik nawarin ikan di sini, boleh masak di rumah makan sekitar, dibayar kiloan."

Demikianlah akhirnya saya pun duduk di salah satu warung Pantai Timur Pangandaran, menunggu fajar tiba dan membayangkan makan ikan yang lezat dan fresh, baru ditangkap dari laut di kampung halaman Menteri Kelautan dan Perikanan kita, Bu Susi Pudjiastuti.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Bagaimana asiknya Kota Cerita keesokan harinya? Akan saya tulis kembali di seri kedua dari cerita ini.....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun