Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan Bang Ade?

7 Agustus 2019   23:44 Diperbarui: 7 Agustus 2019   23:51 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya terus terang terkejut saat Ade Armando mengabarkan di group kalau ia digagalkan menjadi Guru Besar. Dari tulisan berantai yang ia sebarkan, alasannya katanya adalah masalah etika dan kebiasaannya menyinggung (katanya) orang lain.

Penasaran, saya mendatangi langsung Bang Ade, demikian panggilannya, di tempat ia biasa mengajar Fisip UI. Apakah benar ia dihalangi menjadi guru besar hanya karena masalah etika.

Sore itu, 7 Agustus 2019, Bang Ade bersedia menerima saya untuk membuat sebuah wawancara singkat untuk mengklarifikasi apa yang terjadi.

"Tidak pernah ada penjelasan secara tertulis. Tapi ketika saya sempat 'disidang' oleh para guru besar itu, mereka katakan bahwa 'Anda tahulah tulisan-tulisan ada yang bicara tentang agama itu'. Itupun saya kejar, 'memang ada peraturan ya, bahwa seorang guru besar di UI, di FISIP, tidak boleh bicara agama?'"

Bang Ade merasa bahwa dalam bidang ilmu FISIP, tidak ada pembicaraan yang bisa dihalangi.

"Agama adalah salah satu bidang yang kita kaji dalam ilmu sosial, sebagai subjek dalam ilmu sosial. Jadi tidak ada masalah seharusnya." Ia membandingkan dengan profesor teknik dan kedokteran adalah orang-orang yang kencang berbicara mengenai politik di Indonesia.

Saat saya tanyakan, apakah ada aturan etika yang tertulis dan dirumuskan di UI yang melarang kebiasaannya menulis hal-hal kontroversial.

Bang Ade menjawab, rasanya tidak ada, "Tidak ada, itu yang jadi masalah. Makanya saya tanya. Tolong sebutkan contoh, tulisanlah, contoh bukti yang menunjukkan bukti saya memang melanggar standar etika dan integritas. Yang menarik adalah tidak pernah bisa diberikan kepada saya bukti tersebut."

Kalaupun ada etika yang selama ini berlaku, Bang Ade menyebutkan bahwa pelanggaran etika dosen itu terlalu normatif, misalnya plagiat.

Bang Ade mengkonfirmasikan bahwa pada tahun 2018 ia memang pernah diminta menandatangani pakta integritas guru besar. Namun ia menyatakan bahwa hanya dibebani pakta tersebut bila sudah menjadi guru besar.

Ia menyatakan tidak keberatan menandatangani pakta tersebut, walaupun merasa aneh karena sebelumnya tidak pernah ada guru besar yang diharuskan menandatangani pakta semacam itu.

Ia juga tidak merasa apa yang ia lakukan ada yang salah dengan menentang HTI, FPI, atau gerakan-gerakan pro syariah.

Ia menganggapnya sebagai sebuah pertarungan pribadi dan bukan hal yang dilarang di lingkungan akademisi. Ia menganggapnya sebagai sebuah freedom of expression.

Pentingnya Fairness dalam Pencarian Kebenaran

dokpri
dokpri
Bagi Bang Ade sendiri, hak semua orang untuk memiliki preferensi politik dan religi tertentu. Ia beranggapan semua orang punya hak yang sama, termasuk lawan diskusinya sendiri.

"Persoalannya adalah freedom of expression, seberapa bebas seseorang bicara di depan publik mengenai hal-hal yang sensitif. Saya selalu percaya freedom of expression itu adalah hal yang penting, yang harus diperjuangkan. Terutama mengenai agama!"

Baginya, keterbelakangan peradaban terjadi saat orang tidak diperbolehkan mengungkapkan pikirannya dan kritiknya terhaap pemerintah, penguasa, agama, ulama, dan sebagainya.

Kebebasan untuk berpikir kritis ini harus berlaku bagi kedua pihak. "Hak mereka untuk berpihak kepada Prabowo atau Anies." Katanya menerangkan.

"Tidak ada masalah. Itu kan hak mereka," Jawabnya saat ditanya seperti apa ia akan memperlakukan lawannya saat ia di posisi sebaliknya. Ia bahkan menjamin, andai ia menjadi dewan etik, pasti akan meloloskan orang tersebut.

"Harus boleh dong! Karena ini kebebasan berekspresi, apalagi (menjamin) kebebasan akademik." Bang Ade meyakinkan."Kalau sebuah perguruan tinggi yang memang menjunjung tinggi pencarian kebenaran, maka pencarian kebenaran harus selalu dimulai dari skeptisisme. Skeptis artinya kita tidak pernah tahu mana yang paling benar, tidak ada satupun di dunia ini yang paling benar. Karena itulah kita percaya arti penting berbicara sebebas-bebasnya, dalam proses pencarian kebenaran."

"Ia bebas bicara, tidak boleh dihambat kariernya sebagai dosen, hanya karena pemikirannya," Tegasya.

Bila dosen tersebut memiliki syarat-syarat menjadi guru besar yang baik secara akademik, maka ia tidak boleh dihambat menjadi guru besar. Ia menganggap penghalangan akan menciptakan setback dalam dunia pendidikan. "Bahaya bila kebebasan berpikir dihambat."

Fairness, bagi Bang Ade adalah hal yang paling penting dari kasusnya, "Tunjukkan di mana letak kesalahan saya yang melanggar etika dan integritas. Jika saya dilarang menggunakan kata 'bodoh', saya akan terima itu. Tapi semua dosen dan profesor di UI juga harus tidak diperbolehkan menggunakan kata bodoh."

Etika dan Integritas Harusnya Terukur

dokpri
dokpri
Bang Ade sendiri merasa, di luar masalah etika yang hanya melibatkan rasa suka dan tidak suka, ia sebenarnya memenuhi persyaratan yang diwajibkan untuk menjadi Guru Besar.

Baginya, jika yang dimaksudkan poin integritas ada di wilayah kejujuran dalam karya akademis, maka hal itu sangat bisa diukur.

Kejujuran dalam karya tulis bisa dicek dengan index of similiarity, sehingga ia bisa mempertanggung jawabkannya dengan akurat dan jelas dari masalah plagiat.

Problemnya menjadi rumit dan terlalu subvjektif jika etika dan integritasnya hanya dipermasalahkan dari laporan polisi yang melibatkan dirinya.

"Buat saya tidak masuk di akal. Tersangka bukan berarti bersalah. Apalagi sekedar dilaporkan. Kalau cuma laporan, bisa saja ada yang usil melaporkan seluruh guru besar yang ada. Bukan berarti mereka bersalah kan? Bukan berarti status tersangka melanggar etika dan integritas."

Tak Seliberal yang Dibayangkan Orang

dokpri
dokpri

Sebagai seorang dosen FISIP UI yang sangat dikenal berani, ia memang sering memancing kontroversi dari status-status terkait agama yang dia tulis di Facebooknya.

Bagi sebagian penganut Islam, terutama yang garis keras, ia digolongkan penganut Islam Liberal. Ia membenarkannya dalam konteks keberanian untuk mengkritisi pemikiran agama yang terlalu kaku dan tidak relevan lagi.

Namun ia juga mengakui tidak seliar itu dalam hal agama. Ia masih menjalankan perintah agama dengan taat, berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang menurutnya sudah terlalu lepas dari masalah kewajiban ibadah. Salatnya masih dipelihara lima waktu dan rukun islam lainnya masih berupaya ia jalankan.

Bahkan untuk kebebasan berpendapat sekalipun, ia tidak seliberal itu. Baginya, kebebasan berpendapat pun ada batasnya.

"Saya tidak pernah percaya kebebasan berpendapat berarti kebebasan untuk menyampaikan apapun."  Tidak semua freedom of expression harus ditampilkan di depan publik, internet atau layar kaca.

"Hate speech itu bisa dilarang, memang harus dilarang, dalam hal kebencian yang didasari SARA, agama, ras atau etnik. Itu ga boleh..  Tapi beda dong kalau saya diputusin pacar, lalu benci sama si mantan. Itu bukan hate speech namanya, tapi curhat. Hahaha. " Tegasnya sembari bercanda.

Begitupun dalam persoalan pornografi. "Pornografi boleh dilarang. Walaupun di tiap negara, definisi pornografi itu bisa berbeda-beda. Pornografi itu bukan freedom of speech, bukan freedom of expression. Ia bagian dari ekspresi yang boleh dibatasi."

"Salah banget! Saya liberal dalam arti saya menganggap semua manusia diberi kemerdekaan untuk berpikir dan menafsirkan agamanya, dunia, apapun. Harus dibebaskan! Tidak boleh ada larangan untuk itu, di level gagasan, pikiran, pernyataan, dan gagasan yang dinyatakan dalam sebuah pernyataan. Tapi bahwa di dunia ini ada kesepakatan tentang apa yang boleh dan tidak boleh ditampilkan, itu boleh saja." katanya. 

"Tapi harus diperhatikan bahwa pornografi tidak boleh, lalu tampil seksi lalu jadi ga boleh. Maksud saya dalam hal pornografi, berarti yang masuk dalam kategori mengeksploitasi seks secara berlebihan, apalagi di medsos yang bisa diakses oleh anak kecil dan remaja."

"Saya justru care untuk masalah-masalah tersebut!" katanya saat dikonfirmasi ulang pandangannya mengenai pornografi. "Memang di seluruh dunia juga, walau kita membela freedom of expression, bukan berarti mengizinkan pornografi, ketelanjangan, vagina diumbar, segala macam." Baginya pornografi, hate speech, sara, pelecehan gender, dan fitnah, sudah seharusnya ditolak bersama-sama.

Sebagai penutup wawancara sore yang diiringi angin semilir tersebut, sebagai akademisi, bagi Bang Ade memang sudah tugasnya untuk mengkritisi apapun yang dirasa tidak beres. Dan pastinya dalam tugas tersebut ia akan membuat tidak nyaman pihak tertentu.

Maka tidak fair seorang dosen dihalangi menjadi guru besar hanya karena alasan membuat tidak nyaman orang lain.

"Bisa saja misalnya, saya mengganggu kenyamanan mahasiswa saya yang tidur di kelas. Harus saya tegur dong...  Itu menggangu kenyamanan mahasiswa saya. Wah langsung ga bisa jadi guru besar! Hahahaha," Katanya bercanda.

Dibantah Universitas Indonesia

Universitas Indonesia sendiri, melalui Rifelly Dewi Astuti, Kepala Kantor Humas dan KIP UI pada Jumat, 2 Agustus 2019, sebagaimana dimuat oleh Tempo, memberikan bantahan telah menolak Ade Armando menjadi guru besar.

"Karena setiap pengusulan yang belum memenuhi syarat dikembalikan untuk diperbaiki hingga dipenuhinya persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan entang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Profesi dan Karir Dosen Ul," jawab Rifelly Dewi Astuti melalui keterangan tertulis.

Rifelly juga menegaskan Ade Armando telah menandatangani Pakta Integritas Sivitas Akademika UI pada 16 Maret 2018. Pakta itu antara lain berisi ikrar untuk menjunjung tinggi Kode Etik dan Kode Perilaku Sivitas Akademika yang berlaku di UI.

Menurutnya, penandatanganan itu juga berarti Ade berjanji akan menjaga martabat UI dengan menjunjung tinggi norma kesusilaan dan berkomunikasi secara santun, menghormati dan berperilaku yang tidak mengganggu kenyamanan orang lain.

UI menyatakan berkomitmen terus menambah jumlah guru besar dengan syarat sepanjang memenuhi persyaratan akademik dan non akademik yang ditetapkan, termasuk masalah integritas, etika dan tata krama. Demikian dimuat oleh Tempo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun