Baginya, jika yang dimaksudkan poin integritas ada di wilayah kejujuran dalam karya akademis, maka hal itu sangat bisa diukur.
Kejujuran dalam karya tulis bisa dicek dengan index of similiarity, sehingga ia bisa mempertanggung jawabkannya dengan akurat dan jelas dari masalah plagiat.
Problemnya menjadi rumit dan terlalu subvjektif jika etika dan integritasnya hanya dipermasalahkan dari laporan polisi yang melibatkan dirinya.
"Buat saya tidak masuk di akal. Tersangka bukan berarti bersalah. Apalagi sekedar dilaporkan. Kalau cuma laporan, bisa saja ada yang usil melaporkan seluruh guru besar yang ada. Bukan berarti mereka bersalah kan? Bukan berarti status tersangka melanggar etika dan integritas."
Tak Seliberal yang Dibayangkan Orang
dokpri
Sebagai seorang dosen FISIP UI yang sangat dikenal berani, ia memang sering memancing kontroversi dari status-status terkait agama yang dia tulis di Facebooknya.
Bagi sebagian penganut Islam, terutama yang garis keras, ia digolongkan penganut Islam Liberal. Ia membenarkannya dalam konteks keberanian untuk mengkritisi pemikiran agama yang terlalu kaku dan tidak relevan lagi.
Namun ia juga mengakui tidak seliar itu dalam hal agama. Ia masih menjalankan perintah agama dengan taat, berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang menurutnya sudah terlalu lepas dari masalah kewajiban ibadah. Salatnya masih dipelihara lima waktu dan rukun islam lainnya masih berupaya ia jalankan.
Bahkan untuk kebebasan berpendapat sekalipun, ia tidak seliberal itu. Baginya, kebebasan berpendapat pun ada batasnya.
"Saya tidak pernah percaya kebebasan berpendapat berarti kebebasan untuk menyampaikan apapun." Â Tidak semua freedom of expression harus ditampilkan di depan publik, internet atau layar kaca.
"Hate speech itu bisa dilarang, memang harus dilarang, dalam hal kebencian yang didasari SARA, agama, ras atau etnik. Itu ga boleh.. Â Tapi beda dong kalau saya diputusin pacar, lalu benci sama si mantan. Itu bukan hate speech namanya, tapi curhat. Hahaha. " Tegasnya sembari bercanda.