Note: Russia di sini merujuk kepada istilah teknik tertentu dalam Firehose of Falsehood. Bukan soal negara Russia
Tahun 2016, siapa yang menyangka Donald Trump akan dengan mudah mengalahkan Hillary Clinton? Walau kalah dari jumlah suara orang per orang, secara strategis tim Donald Trump sukses melipat Hillary di Electoral.Â
Memang, Amerika tidak mengenal sistem One Man One Vote seperti di Indonesia. Setiap wilayah punya nilai suara berbeda-beda dan sistem winner takes all.
Tapi bukan itu masalahnya. Problemnya bagaimana sampai saat ini warga Amerika Serikat kebingungan mengapa dulu mau-maunya mereka memilih Trump yang cenderung manipulatif, tak bertanggung jawab dengan pernyataan-pernyataannya sebagai kepala negara, dan senang mengenyek dan mengancam siapapun lawan bicaranya.Â
Misteri itu mulai terbuka saat Pemilu Perancis, Brazil, dan Malaysia. Dua dari pemilu itu, pihak konservatif kalah. Kekalahan dan kemenagan itu membuat banyak orang curiga, dikuatkan dengan keanehan di Pilpres USA, bahwa ada ketakutan yang diputarbalikkan sehingga orang ketakutan dan memilih calon pemimpin yang keliru. Beberapa pelakunya membuka kedoknya sendiri.Â
Namun kecurigaan itu sebenarnya telah lebih dulu muncul sejak kekalahan kubu progresif di Brexit (bisa ditonton di filmnya yang sudah keluar di HBO). Lalu kontras antara kemenangan Donald Trump dan kekalahan Marine Le Pen menjadi awal terbuka benderangnya teknik itu dan cara mengalahkannya.Â
Teknik yang mengaduk-aduk perasaan takut kita sebagai makhluk hidup. Ketakutan yang sebenarnya wajar dan ada di dalam setiap makhluk hidup karena berhubungan dengan survival instinct. Tanpa rasa takut, cemas dan jijik, kita mungkin tidak bisa menghindar dari segala bahaya. Â Dan semua orang punya kekhasan rasa takutnya sendiri-sendiri.
Tapi yang berbahaya adalah rasa takut itu kini bukan lagi wilayah privat. Mesin analisa bisa mendeteksinya dari apa yang kita bicarakan sehari-hari, dari status yang kita tuliskan di Facebook, Twitter, Instagram, apapun yang kita gunakan sebagai media berekspresi. Bahkan jika gadget sukses menginvasi kita sampai ke data detak jantung, keringat, gerakan dari satu titik ke titik lain, lalu data-data itu dikumpulkan maka sukses, tak akan ada lagi privasi sama sekali. Semua orang ketahuan pilihan politiknya, dan bisa dideteksi apapun ketakutan yang dia miliki.Â
Demokrasi terancam!
Dan celakanya, retorika Le Pen tidak lagi perlu mengandung kejujuran. Data palsu dan hoax pun dimasukkan ke dalam ramuan. Karena tujuannya bukanlah menyampaikan informasi yang benar. Le Pen ingin semua orang ketakutan, dan ia tampil sebagai pahlawan yang bisa menyelesaikan ketakutan itu. Maka pilihlah Le Pen sebagai juru selamat.
Di Malaysia pun begitu, berbagai tudingan penuh bumbu rasisme ditujukan kepada Pakatan Harapan. Andai Mat Sabu tidak pintar menjawabnya dengan joke, dan kubu Mahathir lainnya tak sigap melawan, bisa jadi sampai saat ini koruptor-korupter 1mdb masih gentayangan berkuasa di negeri jiran kita.Â
Demikian juga yang terjadi di Brazil, Mexico, hingga Kenya. Hantu kebohongan sedang mewabah di seluruh dunia. Ia telah berhasil di beberapa negara sehingga banyak politikus tergoda mempraktekkannya lagi dan lagi (dan syukurnya juga gagal di berbagai negara sehingga kita bisa mempelajari cara untuk mengalahkannya).
Apa itu Firehose of Falsehood?Â
Seperti sudah dingkap di atas, beberapa kubu dalam politik diuntungkan oleh ketakutan dan kemarahan. Dulu, poin-poin tersebut hanya bisa diterka, atau setidaknya dihitung melalui survei yang rumit.Â
Sekarang, setiap data media sosial kita yang terbuka, dengan mudah memberikan data orang per orang, individu per individu, menganai apa yang kita senangi dan kita takuti. Dari sana kemudian politikus merancang berbagai pernyataan dan informasi dengan segala cara. Dan kebanyakan dari "segala cara" itu adalah hoax dan kebohongan. Tak penting moralitas dan kejujuran, karena itu semua nanti bisa dikemas lagi setelah kemenangan diraih, dan lalu menjadi candu. Negara pun terpaksa berbohong untuk melindungi pemenang pemilu dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.
Siapa yang paling mudah terpapar dan terpengaruh isu ini? Kubu konservatif, orang-orang yang menyandarkan pandangan politiknya kepada ketakutan dan ancaman. Kelompok masyarakat dengan pandangan politik seperti ini memang selalu memimpikan sosok hero yang menjadi solusi bagi ketakutan-ketakutan mereka.Â
Mereka memang ingin sosok tegas, gagah, dan berani sebagai panutannya. Maka masuk akal jika semakin mereka ditakut-takuti, semakin mereka memimpikan sosok tersebut sebagai solusinya.
Repotnya, ketakutan itu tidak khas kaum konservatif saja. Semua orang di dunia ini, termasuk yang ultra progresif sekalipun, sebagai makhluk hidup yang butuh survive, pasti punya kekhawatiran, sekecil apapun. Jika mereka dipapar oleh ribuan isu bohong yang menakut-nakuti, setidaknya pasti ada satu atau dua persen yang berhasil mempengaruhi mereka, sehingga akhirnya mereka juga terjebak rasa takut, dan lalu juga ikut-ikutan melepas fungsi otak warasnya, mengikuti insting reptilnya untuk memilih apapun yang bisa menjadi solusi ketakutan mereka.Â
Itulah mengapa namanya semburan kebohongan, firehose of falsehood. Teknik ini bukan sekedar menciptakan beberapa hoax saja, seperti yang memang sudah kita temui di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan 2017, atau Pilpres 2014 dengan isu Jokowi PKInya.Â
Dalam teknik semburan kebohongan, satu hoax disusul oleh hoax lain dalam hitungan jam, bahkan menit. Sambung menyambung tanpa henti dan jeda, sehingga kita sendiri kebingungan untuk memeriksa kebenarannya, jangankan untuk membantahnya.
Kebenaran dan konsistensi bukan lagi hal penting bagi pelakunya. Yang penting adalah volume dan frekuensi. Tidak masalah jika ketahuan bohong, tinggal minta maaf dan balik tuduh lawan juga lakukan hal serupa atau bahkan lebih buruk.Â
Sounds familiar? Orkestrasi kebohongan Ratna Sarumpaet adalah contoh sempurna dari teknik ini...
Apa yang bisa menjadi solusi Firehose of Falsehood? Hanya peringatan dan edukasi terus menerus mengenai bahaya dan cara menghadapi teknik ini yang akan bisa berhasil melindungi masyarakat dari ganasnya ketakutan yang disebar. Mereka harus diajari untuk secara insting kritis terhadap setiap kabar berantai yang masuk melalui SMS, Whatsapp, Facebook group, bahkan arisan tetangga dan temu kangen alumni.Â
Dan yang paling penting, menghadapi ketakutan, harus kita lawan dengan mengaktifkan kegembiraan, memancing kelucuan. Karena hanya itu yang bisa meredam keaktivan amygdala dan croc brain kita, mematikan tombol-tombol ketakutan, amarah, dan rasa jijik di dalam kepala kita, menggantikannya dengan kerja aktif otak insular, tempat rasa senang dan harapan muncul.Â
Apakah di Indonesia teknik Firehose of Falsehood juga ada? Memastikannya hanya bisa nanti setelah jelas siapa pemenang dan pecundang dalam Pilpres, dan satu per satu pelakunya mengaku. Tapi tanda-tanda menyebarnya hoax dengan frekuensi kencang luar biasa memang sudah terjadi. Hoax-hoax itu bisa saling bertentangan satu sama lainnya.Â
Ia juga menyerang nilai kekeluargaan, seperti isu anak presiden married by accident dan wajib tes DNA karena bukan anak ibunya. Ia juga membangkitkan kekhawatiran kita mengenai kestabilan ekonomi negara kita, dengan menyebarkan data palsu bahwa 99 persen warga negara kita hidup susah, dan berbagai isu lainnya yang tanpa henti ditebar setiap hari, tanpa jeda!
Apakah ada bahayanya bagi bangsa kita? Banyak yang berusaha denial akan efek negatif propaganda ini. Tapi bukti sudah menunjukkan bahwa hingga kini Donald Trump yang sudah menang sekalipun harus terus menerus mengulangi kampanye ala-ala tersebut bahkan bertahun-tahun setelah ia terpilih.Â
Seorang yang sudah memulai FoF akan terus dipaksa untuk mengulangi kebohongannya tanpa henti, untuk menutupi kebohongannya di masa lalu. Dan jika kebohongan tersebut memicu rasisme, ultranasionalisme, kebiasaan persekusi untuk menjatuhkan lawan politik, maka ia akan terus berlanjut, membesar bagaikan bola salju yang jatuh dari puncak gunung, menciptakan avalanche, longsor besar yang mengancam jiwa jutaan manusia.Â
Indonesia baru saja memulai sejarah demokrasinya. Kita belum terbiasa berbeda pendapat dan berdamai dengan perbedaan. Bahkan beda pendapat soal pilihan Kades saja kita bisa saling bacok dan bunuh, apalagi pemilihan kepala negara dan perebutan kursi legislatif? Jika FoF ini diterapkan dan berhasil sekali saja memenangkan pemilu, maka sudah bisa diramalkan perpecahan di Indonesia yang memiliki beragam suku, agama, dan kelompok. Kekayaan budaya dan sosial kita bisa berbalik menjadi bumerang, menghasilkan perpecahan dan perang tanpa henti, sehingga bisa saja kita berakhir seperti Suriah.Â
Maka mari kita menyiapkan diri, orang-orang terdekat kita, tetangga-tetangga kita, untuk bersiaga menghadapi terjangan semburan dusta. Pakaikan jas hujan penangkal kebohongan, ketimbang berusaha melawannya dengan pistol air kebenaran dan sekedar fact checking.Â
Saksikan bagaimana Budiman Sudjatmiko, salah satu tokoh reformasi Indonesia, merangkul berbagai PhD, master, bakat-bakat jenius Indonesia dari seluruh dunia, yang telah lama mempelajari dan melakukan riset mengenai teknik semburan dusta ini, dan memberikan sharing pengalamannya mengenai skandal yang telah dimulai pertama kali oleh Cambridge Analytica ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H