Saya tidak terlalu ingat kapan mas Himawan Nurkanji tiba-tiba memutuskan mendukung Jokowi. Memang karakternya adalah swing voters. Dulu pernah sebentar dukung Jokowi, lalu pindah jadi dukung Prabowo. Beberapa kali kita sempat lempar-lemparan komentar panas, seingat saya. Namun pada suatu hari DM dari beliau masuk, menyatakan dukung Jokowi karena eneg dengan barisan Anies Sandi. Ia mengajak bertemu, alias kopdar.
Salah satu kesalahan Sandi menurutnya adalah terlalu banyak PHP orang lain, termasuk ke UKM-UKM. Dulu banyak menawarkan janji manis pembinaan ke UKM Jepara, katanya.
Tapi sampai sekarang tak terwujud, padahal tak sulit membantu mereka, asal niat saja, bukan berharap ditukar dengan suara saat pencoblosan. Bantu ya bantu...
Tak terlalu percaya, saya bilang saya masih dalam perjalanan #1000kmJKW, membantu pengungsi di Lombok. "Abis saya dari NTB ya," sedikit ogah-ogahan. Tapi sepanjang perjalanan dia kekeuh mengajak kopdar, lagi dan lagi.
"Ada sesuatu yang serius ini," Pikir saya. Mas Himawan juga menyatakan dia tahu kelemahan-kelemahan lawan, karena dia ada lama di barisan tetangga. "Ya bolehlah, nanti habis roasting kopi akan saya temui," pikir saya.
Janjianlah kami di sekitaran Buaran, yang ternyata tidak terkejar karena saya masih harus mengurusi pesanan kaos. Jadilah kami bertemu di Jatinegara saja, di sekitaran Gado-Gado Boplo.
Mas Himawan Nurkanji memberikan beberapa insight yang bagus mengenai lawan. Termasuk bagaimana menghubungkan kontestasi pilpres dengan kisah pewayangan.
"Jokowi itu layaknya Petruk yang jadi raja, ejekan lawan untuk jokowi, karena mengangkat brahmana, alias orang alim, perwujudan Kyai Ma'ruf Amin, menjadi orang kepercayaannya. Derajat Petruk naik jadi Arjuna. Sementara Prabowo melakukan sebaliknya, dari seorang Ksatria, merendahkan dirinya dengan mengangkat pedagang, Sandi, sebagai wakil.
"Cerita pewayangan itu pendekatan penting ke pemilih Jawa, Mas," Ungkap Mas Himawan berusaha meyakinkan. Imajinatif, tapi masuk akal, pikir saya. Tentu sebagai orang Sumatera saya tidak terlalu melihat dalamnya insight ini, karena kita terbiasa berbicara lugas, tanpa banyak permisalan. Pemimpin bagus itu ya bagus, ga pake dimisal-misalkan. Tapi tetap saya menikmati penjelasannya.
![kopi1-5bb32d0faeebe1154e0b8072.png](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/02/kopi1-5bb32d0faeebe1154e0b8072.png?t=o&v=770)
"Kopi santri aja mas. Kita wujudkan kekuatan Pak Jokowi dan Kyai Ma'ruf Amin. Kita ciptakan cerita santri dan ulama beneran. Bukan ulama-ulamaan karena kerdus, seperti tetangga sebelah."
"Waah.. cakep ini idenya," Pikir saya. Sosok Jokowi dan Ma'ruf Amin tak perlu terlalu dimirip-miripkan. Cukup sosok seorang santri kurus bersarung, menyajikan kopi ke Kyainya. Kita namai KOEPI Santri karena nanti sebagian keuntungannya disumbangkan ke pesantren. Tidak pun sukses secara komersial, kita sudah bisa membantu para santri untuk jadi hidup modern, dan petani juga tertolong karena kopinya kita beli dengan harga pasar. Plus gambar subliminal kyai dan santrinya yang hormat dan sopan bisa menyebar ke mana-mana, hahahaha.
Kita bersepakat. Saya mengembangkan kopi santri, Mas Himawan akan dibayar royalti, walau tak banyak untuk idenya. Masih panjang strategi yang kita lakukan, termasuk bermimpi ini bisa diekspor ke luar negeri. Tapi satu per satu dululah, ramaikan dulu di online, baru nanti buru pasar luar negeri.
Tapi lagi-lagi sebagai seorang Minang, tidak mudah bagi saya untuk percaya orang. Berpartner harus diuji dulu, setia dan mau bersusah payah atau tidak. Maka iseng suatu malam tanggal 12 September, saya WA Mas Himawan.
![sungai-citarum-3-5bb32c2f12ae946df630fce5.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/02/sungai-citarum-3-5bb32c2f12ae946df630fce5.jpg?t=o&v=770)
Saya terus nyetir sampai Cieunteung, menyaksikan pembangunan waduk retensi untuk mengurangi efek banjir Sungai Citarum yang rutin terjadi. Pendekatan Jokowi dan Pemprov yang baik membuat banyak warga dengan kerelaan membongkar rumahnya sendiri yang menyesaki dan menyebabkan banjir tahunan. Di sana ada sinyal 4G yang memungkinkan saya siarkan LIVE. Berbagai pujian datang atas project ini. Lalu siangnya lanjut ke arah timur untuk menyusuri Sungai Citarum ke arah hulu. Saat itulah Mas Himawan muncul.
![salak-3-5bb32ce4677ffb78b12c9775.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/02/salak-3-5bb32ce4677ffb78b12c9775.jpg?t=o&v=770)
![citarum1-1-5bb328eaab12ae2144697fd7.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/02/citarum1-1-5bb328eaab12ae2144697fd7.jpg?t=o&v=770)
Capek, penat, lapar menyerang kami karena hari itu matahari terik sekali memanggang pinggiran Sungai Citarum. Kaki saya yang masih bengkak sisa nyetir dari NTB, bertambah kesakitan.
Tapi yang penting poin kritik kita yang pertama kali, supaya Kang Ridwan Kamil fokus membenahi dan memberikan edukasi kepada warga supaya sadar memelihara kebersihan Citarum, tersampaikan.
Soalnya percuma kan, Pakde Jokowi mengerahkan tentara dan relawan untuk membersihkan Citarum, kalau akhirnya ditumpuki lagi oleh sampah warga. Soalnya dalam sekejap terjadi lagi pendangkalan, yang membuat potensi banjir kembali mengancam warga walaupun sungainya baru saja dikeruk.
Balik ke Jakarta habis makan baso, kita bicara banyak di mobil. Mulai dari cara mendekati pasukan kampret, tentang peluang bisnis #KOEPISantri, hingga event yang bisa kita adakan untuk mengangkat pedagang dan pengrajin kecil. Nantilah kalau sudah ada modal dan waktunya.
![waduk-5bb32cbb43322f5d8117e588.png](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/10/02/waduk-5bb32cbb43322f5d8117e588.png?t=o&v=770)
Selamat bergabung ke barisan Cebong, Mas Himawan Nurkanji!
*beberapa dialog diedit untuk menjaga keamanan narasumberÂ
** cerita ini sudah diupload ke hariadhi.com dan seword