Sayangnya belum.
Setelah saya cek, harga berry, buah kopi yang belum dikupas dagingnya, masih di level ribuan per kilogram. Lalu Bu Wawan memperlihatkan hasilnya jemurannya. Putih kekuningan dengan biji yang besar-besar. Sempurna. "Ini baru gabah," katanya. Lalu dengan bangga ia menyebut angka sekian puluh ribu.Â
Tak enak saya sebutkan di sini karena kasihan sekali sebenarnya kopi bagus begitu murah. Saya cek apakah mereka mampu menghasilkan green bean? "Oh beras.. ada di dapur," sahut Bu Wawan yakin sekali. Lalu ia tunjukkan hasil tumbukan gabah tadi, sudah jadi butiran hijau, yang sayangnya hampir pecah semua. Ditumbuk manual, kata Bu Wawan memberi keterangan cara mengolahnya. Memang sudah benar-benar mirip beras sih, haha.
Saya tepok jidat. Seperti ini dibawa ke roaster di Jakarta akan ditertawakan. Nilainya dari puluhan ribu drop ke angka nol. Mereka harus dibina lagi bukan hanya untuk menghasilkan berry berkualitas tinggi, tapi juga mengolahnya menjadi greenbean yang jadi rebutan kafe. Saya tanyakan seperti apa rasanya saat disangrai oleh Bu Wawan.
"Asem.. asem banget. Teu berasa kopinya. Ada orang Sumatera pintar gorengnya, baru beneran jadi kopi." Jawab bu Wawan. Wajar sih, orang Sumatera biasanya senang karakter kopi pahit. Dugaan saya disangrai sampai hangus dan masuk kategori very dark, seperti yang juga saya temukan di Bengkulu, disangrai sampai hitam gelap sekali. Wajar, bagi orang Indonesia, keasaman kopi itu dianggap aib. Musuh bagi pemilik penyakit maag.
Padahal justru memang rata-rata kopi di Pulau Jawa punya karakter agak asam. Namun biasanya karena penanamannya didampingi dengan buah-buahan yang tepat di sekitar, baunya juga enak. Fruity, kalau anak-anak muda sekarang menggolongkan rasanya.
"Kalau mau yang mendingan rasanya, kita ada kopi luwak, luwak liar," Kata Bu Wawan mengetahui bahwa dari segi pengolahan ke green bean masih kurang sekali. Ia lalu tergopoh-gopoh membawa berbagai kopi berukuran kecil dan ada motif belang, khas bekas kotoran luwak. "Biasanya pagi ada banyak kotoran luwak berserakan. Tidak kita pelihara, datang begitu saja karena tertarik dengan kopi sini yang bagus-bagus." Jawab Bu Wawan saat saya tanya apakah luwaknya luwak peliharaan. Ternyata luwak liar.
Akhirnya ngobrol punya ngobrol barulah saya tahu, "Ini hasil panen terakhir tahun ini," Jelas Pak Wawan. "Setelah ini masuk musim hujan. Waktunya kembali memelihara tanaman kopi. Nanti 6 bulan lagi, waktunya panen lagi."
Maka saya berusaha memborong seluruh persedian mereka, tentu juga dengan kondisi dan kualitas seadanya dulu. Yang penting nanti dibawa ke roaster di Jakarta, bisa ketahuan apa kelebihannya dibanding Kopi Garut biasa.
Untuk mengurangi rasa asam, saya sarankan warga Desa Cinta mengubah pengolahannya dari semi washed jadi natural. Jadi ada kesan sedikit manis, menutupi keasamannya yang juga berkurang karena tidak melewati proses fermentasi dengan air untuk melepas daging buah dari bijinya. Kopi dijemur dengan daging buahnya sekalian. Hasilnya waktu pengeringan lebih lama, bahkan akan makin lama karena dijemur di puncak gunung yang dingin.
Bu Wawan langsung melihat anaknya, tampaknya pernah mencoba proses seperti itu. Dan tebakan saya benar. "Iya dulu pernah dicoba buat seperti itu, memang agak hilang asamnya." Bagus. mereka mengerti cara menutupi kelemahan kopi yang dihasilkan, dan semoga berakhir dengan harapan naiknya harga biji kopi yang dihasilkan.