Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menolong Petani dengan Membeli

19 September 2018   00:03 Diperbarui: 19 September 2018   07:31 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya ga akan pilih Jokowi tahun ini, soalnya harga-harga pada turun sejak dia jadi presiden!" Demikian teriak salah seorang petani dan pedagang produk pertanian di Ketapang, Banyuwangi. Sebut saja namanya Bapak Mamat.

Pak Mamat mengundang rasa penasaran saya, "Kenapa bisa turun, Pak? Sebabnya apa?". "Ya itu.. kemarau panjang. Cabe aja sekarang jadi murah, turun harganya. Pokoknya ganti saja presidennya. Terserah mau siapa."

Ya, jadi Presiden di Indonesia sungguh berat, cuaca pun jadi beban kesalahan yang harus dipikul. Entah kita ini sebenarnya tiap lima tahun sekali memilih kepala negara apa pawang hujan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Ada banyak problem yang dihadapi petani di seluruh penjuru Indonesia. Di Langsa, Aceh, saya menghadapi peternak tambak udang yang bercerita bahwa setiap tiga bulan ia panen, paling Rp 9 juta dari 3 hektar yang mesti ia kelola. Alias 3 juta per bulan. Berat sekali, tak sampai UMR sebulan.

"Kenapa bisa gitu Bang?" tanya saya. "Ya karena harganya ditentukan tengkulak. Mereka sudah punya list sendiri. Tapi ini jangan sampai direkam ya." Takut sekali tampaknya seolah ini adalah sebuah mafia kejahatan besar. 

Tapi ya kalau dari standar moral saya sih, praktik mencekik ini sebenarnya memang jahat. "Tapi enaknya dengan tengkulak itu, kita tidak perlu terjerat utang dan riba," lanjutnya. "Lah kok bisa? Emang abang dikasih apa?"

"Ya dikasih bibit, pakan, obat, dan yang kita perlukan. Tidak usah bayar. Jadi tidak utang, tidak riba." jawabnya yakin. Lalu saya tanyakan berapa harga kebutuhan yang diberikan oleh tengkulak-tengkulak itu. Saya cek di Google. "Wah.. itu mah 50%nya lebih besar Bang!". Lalu saya iseng bertanya bertanya harga udang yang ditetapkan di pasar. Jawabannya lucu, lebih rendah dari pasar. Saya hitung 50 persen juga.

Dari sanalah kenapa pekerjaan bertani tambak udang miliknya jadi lebih sulit, hanya tersisa Rp 9 juta sekali panen dalam 3 bulan.

"Harusnya berapa kalau Abang modal sendiri semua?"

"Rp 50 juta lah kira-kira kotor."

Oke kita tidak usah hitung terlalu rumit. Percayai saja informasi harga yang dia berikan. 50 persen lebih tinggi untuk modal tambak, lalu 50 persen lebih rendah saat menjual. Si tengkulak menjeratnya dengan hutang berbunga 100 persen dalam 3 bulan.

"Kenapa tidak ambil kredit saja di BRI, Bang? Kalau tidak salah bunganya cuma 7%, daripada dijerat begitu.."

"Ya kalau bunga kan saya sudah bilang, takut riba. Takut dikejar debt collector," jawabnya polos. Di titik ini saya ingin ketawa, keras dan panjang sekali.

"Lah kan bisa Abang minta asuransi pertanian.. aman lho Bang. Kalau gagal panen asuransi yang menggantikan. Tapi bapak memang ga boleh malas. Pasti dapat."

Dia termenung lama. Lalu saya tanya lagi "Kalau Abang gagal panen, sama tengkulak diapain?"

"Ya ga ditagih." Saya jadi penasaran, saya buru, apa iya ga ditagih. Lalu ke mana utangnya kalau tak terbayar?

"Diteruskan saja ke musim penebaran berikutnya. Dibayar ke panen selanjutnya, dicicil."

Ya ampun. Utang itu sebenarnya tidak hilang. Tapi terus berlanjut. Dan kalau dia meninggal, tentu anak-anaknya yang harus meneruskan, dengan porsi tanah makin lama makin kecil karena dibagi warisan. Kebutuhan makin besar, hutang yang harus dicicil makin besar. Bagaimana tidak makin sengsara petani kita?

Petani kita makin tertindas oleh boikot CPO yang tak pernah diurus sejak zaman Pak Mantan. Kita sama-sama mengerti sejak awal tahun 2000an, sawit produksi kita sudah diblack campaign oleh negara-negara Eropa. 

Negara ini sebenarnya kecil saja kebutuhannya, namun efeknya keseluruhan permintaan dunia terhadap CPO Indonesia turun drastis, sehingga harga pun terbanting, walaupun status kita tetap penghasil sawit nomor 1 di dunia. 

Baru tahun-tahun terakhir ini Pak Jokowi kembali promosikan ramah lingkungannya penanaman sawit di Indonesia. Tapi terlambat, harga sudah drop sampai titik nadir. Sulit mengangkat citranya kembali di dunia internasional.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Di Riau dan Jambi yang sama-sama penghasil sawit, saya temukan keluhan sama persis. Mereka kecewa dengan tidak naik-naiknya harga sawit dan karet. Sementara modal mereka menanam dan memupuk tetap segitu saja. Jangankan menanam baru untuk replanting, setelah sawit melewati puncak produksinya di umur 20 tahunan. Sawit itu dengan cepat menjadi tidak produktif lagi.

Foto pribadi
Foto pribadi

Tapi di antara berbagai petani yang saya temui, Bu Asmin yang paling menarik komentarnya. Ia mengaku petani yang bekerja sambilan sebagai penjual kopi dan makanan ringan di sekitar Air Terjun Bedegung, sekitaran Tanjung Enim, setelah negeri penghasil kopi, Empat Lawang. Jika masuk musim merawat dan memanen, ia kembali ke kebun.

"Betul pak, sawit dan karet turun. Tapi saya tetap senang dengan pemerintahan sekarang." Saya bingung. Lah kok beda sekali ini petani.. ternyata alasannya sederhana. "Soalnya kopi tetap naik pak. Minimal stabil harganya." Jawabnya mantap, sambil mengacungkan jempol.

Bu Asmin sadar presiden kita getol mempromosikan kopi ke mancanegara, menjadikannya bagian dari diplomasi antar negara. Karena itu dia cukup bersyukur, walau tetap berharap pemerintah mau berbuat sesuatu untuk memperbaiki harga sawit dan karet.

jokowiFAQ.org
jokowiFAQ.org
"Sudah bu", jelas saya. "Nanti di Kuala Tanjung dan Sei Pakning, akan dibangun industri pengolahan sawit yang lengkap. Nanti sawit dan karet ibu diantarkan ke Sumatera Utara lewat tol Sumatera. Jadi berapapun sawit dihasilkan, dan CPO diproses, akan kita olah sendiri jadi sabun, deterjen, dan produk kimia lain. Baru kita ekspor. Insya Allah kalau lancar, harga akan naik lagi."

Matanya berbinar. Sawit dan karetnya tak perlu disingkirkan. Tapi jelas kopi lebih penting sebagai secercah harapan, karena berfungsinya industri pengolahan CPO dan ekspor ke negara lain lewat Pelabuhan Kuala Tanjung masih butuh waktu untuk berjalan. Tol Sumatera juga baru komplit nanti sekitar tahun 2023.

Foto pribadi
Foto pribadi
Cerita lain di Santong, Lombok Utara. Ceritanya di internet banyak sekali yang menyebar kepanikan lewat ramalan-ramalan gempa. Hasilnya penduduk sana tidak bisa hidup tenang. Berkali-kali dibujuk kembali dari pengungsian, mereka tetap lebih memilih tidur di tenda. Sementara hidup harus terus berjalan. Maka siang mereka ada di kebun dan pasar, sore cek rumah, baru malam kembali ke tenda. Pariwisata amburadul. Melaut takut tsunami. Maka pertanianlah yang masih bisa jadi andalan. Masih ada yang coba-coba ke kebun.

Parahnya, di balik kepanikan ini, banyak tangan tak bertanggung jawab menambah kesusahan mereka. Tengkulak (lagi-lagi) menekan pengungsi yang panik. Terdesak kebutuhan hidup sementara penghasilan lain tak ada, maka mereka memaksa mengambil kopi petani dengan harga ditekan serendah-rendahnya.

Kasihan petani ini, saya pikir.

Maka saya minta mereka mencarikan dan mengumpulkan kopi. Lalu saya beli dengan harga normal, jauh di atas tengkulak. Mereka senang bukan main, "Bapak masih mau kopinya lagi ga pak?" sekaligus keheranan ngapain orang Jakarta jauh-jauh datang ke tenda mereka hanya untuk beli green bean . Saya bilang uang saya sudah habis, hanya cukup beli segitu.

Pulang dari sana, saya bingung sebanyak itu kopi Lombok mau diapakan. Dari segi kualitas jelas tidak terlalu bagus. Kopinya dikumpulkan dalam keadaan terburu-buru. Sehingga biji yang masih muda pun dicerabut dari pohonnya. Ini terlihat saat diroasting, biji kopinya berwarna-warni, tidak seragam coklat. Kopi seperti ini kalau dipaksakan digrinding, jelas hasilnya tidak akan enak. Tidak akan ada penikmat kopi yang suka.

Tapi atas niat baik, saya bawakan sampel kopi itu ke Mba Henny Vidiarina dari Kafe Koffiekan, di Blok Gaharu, Kalibata City. Kami sepakat rasanya mungkin bisa diperbaiki dengan mengolahnya jadi bentuk selain kopi seduh. Saya mengusulkan dibuat capucchino atau ice coffe, berharap gula bisa menimpali rasanya yang agak aneh. Tapi soal aromanya, agak lumayan, sebenarnya agak mirip Kopi Robusta Kepahiyang, Bengkulu. Hanya seleksi kematangan, pemrosesan biji, pengeringan yang terburu-buru yang membuat rasanya agak ngaco. Di luar itu, rasanya lumayan.

Hal serupa saya cobakan di Banyuwangi. Tentu tak masuk akal kita beli cabe berpuluh kilo. Buat apa? Tiga hari di mobil sudah busuk semua. Maka saya coba tanya, apakah dia masih menjual kopi? Karena di etalasenya saya perhatikan ia memamerkan kopi robusta dan lanang.

Ternyata boleh, kopi luwak sekalian kalau mau, dia menawarkan. Tapi kopi itu milik keluarganya, dia hanya akan memperkenalkan.

Dan inilah hebatnya kopi. Untuk mendapatkan 10 kg kopi, petani harus bekerjasama dari beberapa kebun sekaligus. Sebab dihitung kg produksi, hasilnya tidak terlalu banyak. 

Jadi membeli dari satu petani berarti membeli dari beberapa keluarga pemilik lahan sekaligus. Banyak yang tertolong dari tiap kilogram kita membeli biji kopi hijau. Petani yang mensuplai itu bernama Pak Suwandi. Sampai sekarang ia masih rutin mensuplai kopi karena memang terbukti enak dan biji kopinya kualitas tinggi. Ga rugi memberikan kepercayaan kepada para peteni ini

"Foto dulu pak.. foto dulu." kata mereka bersemangat saat melihat ternyata saya pakai kaos JKW. Kebencian Pak Mamat kepada pemerintah saat ini langsung sirna, hanya karena kopi milik rekannya dibeli. Saya masih belum menemukan cara membeli cabe petani di Banyuwangi, tak jelas bagaimana cara mengolahnya. Tapi jelas kopi yang dibeli sudah membuat mereka senang.

Foto pribadi
Foto pribadi
Di Empat Lawang beda lagi problemnya. Kopi-kopi dari Sumatera bagian selatan dan tengah banyak yang sudah terlupakan. Orang tahunya Kopi Lampung. Tapi itu katanya hasil campuran berbagai kopi dari Sumatera. 

Akibatnya di sentra-sentra produksi kopinya sendiri harganya anjlok. Sebab tak ada yang mau promote dan sampai di Lampung rantainya kepanjangan. Akhirnya yang ditekan harga petani. Saya bertanya-tanya, "Kok bisa ya.. padahal setahu saya dulu kopi Sumatera itu primadona.

Foto pribadi
Foto pribadi
Mendekati sekitaran hulu Sungai Musi, saya dapatkan jawabannya. Berehenti di situ, nyetir sendirian, mobil Pelat B pula. Mereka bermuka ramah, tapi bukan ucapan selamat datang yang saya dapatkan.

"Bapak nyetir ke sini sendirian dari Jakarta?" Tanya mereka keheranan. "Iya, kenapa?" Saya balik heran.

"Tadi ga dirampok, Pak?" Jeger!

Hahahaha buseet.. aneh bener ya ucapan selamat datangnya. Jadi by default, orang dari Jakarta datang ke situ besar kemunginan dirampok. Dan saat saya minta nomor telepon pengepul kopi setempat, ucapannya tak kalah aneh,

"Alah ndak usah kasih-kasih nomor telepon. Dulu ada juga yang janji mau pesan dari Jakarta. Bohong aja itu!" Serunya. Saya bingung Pak Eka (bukan nama sebenarnya), saat saya menanyakan kontak istrinya. Pak Eka sendiri tampak tidak terlalu akrab dengan gadget. Hanya duduk di ujung gudang. Tampaknya mereka pernah tertipu beberapa kali dengan janji manis orang Jakarta seperti saya.

Tapi tak ada yang salah dengan kopi Negeri Empat Lawang. Kopinya setrong. Awalnya saat saya mencicipi di Empat Lawang, saya pikir memang roaster lokal yang salah sehingga rasanya begitu pahit. Namun begitu dibawa ke roaster di Jakarta dengan request kehangusan medium, rasa pahit itu tetap tinggal di langit-langit.

"Kopi Empat Lawang memang untuk kita ngupi bersama Bang, sambil nobar, duduk-duduk di warung sampai larut malam." kata preman setempat, sehabis saya mandi di dinginnya hulu Sungai Musi sampai menggigil. "Untuk mengimbangi pahitnya, harus sambil makan durian di sini!" 

Saya comot secuil durian yang dibawakan. Memang enak sekali. Pahitnya kopi mengimbangi manisya durian. Dan entah kebetulan atau bagaimana, produsen kopi enak di Sumatera seperti Takengon, Sidikalang, Bengkulu, Kepahiyang, dan Empat Lawang, pasti juga memproduksi durian enak. Mungkin berhubungan dengan kelembaban dan kesuburan tanah.

Lalu saya bertanya "Itu di pertigaan depan harusnya lurus apa belok yang aman?" Mbak-mbak warung sana tidak menjawab langsung, "Ya kalau lurus lewat bukit, sepi ga ada orang. Kalau belok lewat beberapa desa."

Secara logis, kalau sudah diingatkan daerah ini rawan masalah keamanan, siapapun akan takut melewati jalan sepi toh? Maka dengan spontan saya bertanya lagi "Jadi bagus saya belok saja?"

Si Mbak-mbak ketawa.

"Lho kenapa?" tanya saya masih belum mengerti.

"Ya di desa itu banyak tinggal banyak rampoknya!" Seisi warung ngetawain saya.

Oke. Itulah salah satu problemnya dengan Kopi Empat Lawang. Walaupun nikmat, pas untuk yang senang begadang, namun tampaknya pedagang ketakutan melalui daerah ini. Dan adapun pembeli warga pun kapok menjualnya kalau tidak bisa dipercaya benar. Karena itulah mungkin kopi Empat Lawang jadi kurang dikenal, padahal tidak ada yang salah dengan rasanya. Wanginya enak betul, dan rasanya pahit, cocok untuk lidah orang Indonesia.

Itulah sebab kenapa harusnya jalan lintas, terutama yang tengah dan barat, harus dipelihara supaya mulus terus. Supaya bisa ngebut. Kalau bisa ada jalan tol juga. "Ya kalau ada jalan tol, mana ada lagi orang berani jadi bajing loncat? Loncat dari mana? 

Terus loncat ketabrak mobil 100 km/jam, mau jadi apa itu badan?" kata Pak Felix, bukan nama sebenarnya, di Sumatera Selatan, terkekeh-kekeh bangga bahwa sebentar lagi tol Jokowi, eh Tol Sumatera akan melintasi belakang rumahnya.

Foto pribadi
Foto pribadi
Ya, perjalanan antara Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung memang terkenal sebagai titik rawan sedari dulu. Tapi saya punya cara unik sendiri untuk membuktikan sebaliknya. 

Di tegah perjalanan antara Sungai Penuh, Jambi ke Tapan, Sumatera Barat, atau dari Kepahiyang ke Empat Lawang, yang disebut-sebut rawan, saya menyengajakan diri istirahat sebentar di tengah rimbunnya hutan, dini hari.

Nyatanya tidak ada yang mengganggu. Ini bukti bahwa jalan yang mulai mulus (kecuali menjelang Tapan memang banyak sekali yang longsor dan amblas karena tergenang air dari gunung) mengurangi secara signifikan tindak kriminalitas.

Itulah pentingnya infrastruktur.

Omong demi omong. Jadi apakah benar kalau kita mau membeli produk petani, kita bisa membantu mereka? Tentu! Sembari mengajari mereka dengan sabar untuk terus meningkatkan kualitas produknya. Jangan dimanja untuk terus-terusan diambil dengan kualitas yang tidak bisa dijaga konsisten. Itu tentu buruk bagi mentalitas petani.

Sebaliknya, saat kita mengambil produk mereka dengan harga wajar di atas harga tengkulak, bukan main kebahagiaan dan motivasi yang dimiliki petani. Semakin sering produknya dibeli, semakin mengerti dia arti standar kopi yang baik.

Ini terbukti di Takengon, daerah kampung kedua Pak Jokowi. Kopi di sini beda dengan Kopi Gayo kebanyakan. Karena ruangannya lebih terbuka dan letaknya tidak terlalu tinggi di sekitar Danau Lot Tawar, maka kopi bisa dijemur lebih lama dan kering. 

Tingkat keasamannya jadi berkurang, sehingga kopi takengon gayo yang saya bawa dari sini mendapat pujian tiap kali saya bawa ke kafe-kafe di Jakarta. Baunya wangi seperti gula aren namun rasanya tidak terlalu keras.

Foto pribadi
Foto pribadi
Kopi Takengon Gayo ini dipilah sendiri oleh petani sekaligus pedagang, sekaligus pemilik kafe. Karena memiliki kafe, ia tahu betul kopi mana yang layak distempel kopi kualitas ekspor, mana yang tidak. Kopinya nyaris perfect 100 persen tanpa cacat, bulirnya besar.

Saat diroasting, seluruh kopi takengon gayo yang saya dapatkan coklat seragam, tanda seluruhnya matang sempurna. Karena mulai dari pemetikan, pemrosesan, hingga penjemuran diawasi sendiri oleh pemilik kafe tersebut. 

Setiap biji kopi ia teliti satu per satu, tak boleh cacat! Harganya? Jangan tanya, dia berani patok ratusan ribu per kilogram. "Kalau abang nemu cacat," katanya, "Saya berani jamin boleh dibalikin." Demikian Bang Ino, bukan nama sebenarnya, berani memberikan jaminan kualitas.

Foto pribadi
Foto pribadi
Bandingkan dengan seorang Ibu bernama Winda, anggap saja namanya begitu. Saya temukan di pegunungan setelah Meulaboh, beberapa kilometer sebelum Takengon. Masih tanah Gayo, hitungannya. 

Berry yang menghitam diserakkan begitu saja di tengah jalan, seperti kebiasaan petani kopi di Sumatera pada umumnya. Tak punya uang menyewa atau membeli mesin penggiling, kopi-kopi itu berharap kepada ban mobil atau motor yang lewat untuk menggilingkan. Hasilnya biji kopi yang pecah dan bercampur kerikil dan pasir.

Harga kopi Bu Winda drop, sampai seperempat kopi Bang Ino. Ya apa yang diharapkan dari kopi yang diproses dan dikeringkan seperti itu? Padahal kopi yang dihasilkan sama saja. Namun ketidaktahuan Bu Winda membuat ia kehilangan pendapatan potensial. Andai ia tahu cara mengolah kopinya dengan benar, kopinya akan setara kopi-kopi premium yang banyak dijual mahal sekali di Kemang untuk setiap cangkirnya.

Selama ini, Bu Winda berharap kepada pengepul atau tengkulak yang mengambil kopi-kopinya dengan harga seadanya. Maka saat saya datang, ia begitu kegirangan kopinya saya borong semua dengan harga Rp 40 ribu rupiah. 

Walaupun sesampai di Jakarta, kualitas kopi Bu Winda ditertawakan, dan kopi Bang Ino dipuji luar biasa, namun setidaknya saya sudah berusaha memberikan Bu Winda yang menjemur kopinya dengan susah payah di lerang Gunung Singgah Mata, Beutong, Aceh Tengah.

Harapan itu tetap akan ada, selagi kita mau peduli untuk datang ke petani, membeli produk-produk mereka.a...

#1000kmJKW

* Dialog di atas tidak sepenuhnya akurat. Sebagian diolah atau dikurangi atau ditambahi supaya tidak disalahpahami dan membuat keributan, dengan tujuan melindungi petaninya.

** Seperti biasa, tulisan ini bersambung, akan saya save sementara untuk menghindari hilang koneksi. Jika ada waktu akan saya teruskan kembali

***Semua gambar di atas adalah dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun