Tapi atas niat baik, saya bawakan sampel kopi itu ke Mba Henny Vidiarina dari Kafe Koffiekan, di Blok Gaharu, Kalibata City. Kami sepakat rasanya mungkin bisa diperbaiki dengan mengolahnya jadi bentuk selain kopi seduh. Saya mengusulkan dibuat capucchino atau ice coffe, berharap gula bisa menimpali rasanya yang agak aneh. Tapi soal aromanya, agak lumayan, sebenarnya agak mirip Kopi Robusta Kepahiyang, Bengkulu. Hanya seleksi kematangan, pemrosesan biji, pengeringan yang terburu-buru yang membuat rasanya agak ngaco. Di luar itu, rasanya lumayan.
Hal serupa saya cobakan di Banyuwangi. Tentu tak masuk akal kita beli cabe berpuluh kilo. Buat apa? Tiga hari di mobil sudah busuk semua. Maka saya coba tanya, apakah dia masih menjual kopi? Karena di etalasenya saya perhatikan ia memamerkan kopi robusta dan lanang.
Ternyata boleh, kopi luwak sekalian kalau mau, dia menawarkan. Tapi kopi itu milik keluarganya, dia hanya akan memperkenalkan.
Dan inilah hebatnya kopi. Untuk mendapatkan 10 kg kopi, petani harus bekerjasama dari beberapa kebun sekaligus. Sebab dihitung kg produksi, hasilnya tidak terlalu banyak.Â
Jadi membeli dari satu petani berarti membeli dari beberapa keluarga pemilik lahan sekaligus. Banyak yang tertolong dari tiap kilogram kita membeli biji kopi hijau. Petani yang mensuplai itu bernama Pak Suwandi. Sampai sekarang ia masih rutin mensuplai kopi karena memang terbukti enak dan biji kopinya kualitas tinggi. Ga rugi memberikan kepercayaan kepada para peteni ini
"Foto dulu pak.. foto dulu." kata mereka bersemangat saat melihat ternyata saya pakai kaos JKW. Kebencian Pak Mamat kepada pemerintah saat ini langsung sirna, hanya karena kopi milik rekannya dibeli. Saya masih belum menemukan cara membeli cabe petani di Banyuwangi, tak jelas bagaimana cara mengolahnya. Tapi jelas kopi yang dibeli sudah membuat mereka senang.
Akibatnya di sentra-sentra produksi kopinya sendiri harganya anjlok. Sebab tak ada yang mau promote dan sampai di Lampung rantainya kepanjangan. Akhirnya yang ditekan harga petani. Saya bertanya-tanya, "Kok bisa ya.. padahal setahu saya dulu kopi Sumatera itu primadona.
"Bapak nyetir ke sini sendirian dari Jakarta?" Tanya mereka keheranan. "Iya, kenapa?" Saya balik heran.
"Tadi ga dirampok, Pak?" Jeger!