"Kenapa tidak ambil kredit saja di BRI, Bang? Kalau tidak salah bunganya cuma 7%, daripada dijerat begitu.."
"Ya kalau bunga kan saya sudah bilang, takut riba. Takut dikejar debt collector," jawabnya polos. Di titik ini saya ingin ketawa, keras dan panjang sekali.
"Lah kan bisa Abang minta asuransi pertanian.. aman lho Bang. Kalau gagal panen asuransi yang menggantikan. Tapi bapak memang ga boleh malas. Pasti dapat."
Dia termenung lama. Lalu saya tanya lagi "Kalau Abang gagal panen, sama tengkulak diapain?"
"Ya ga ditagih." Saya jadi penasaran, saya buru, apa iya ga ditagih. Lalu ke mana utangnya kalau tak terbayar?
"Diteruskan saja ke musim penebaran berikutnya. Dibayar ke panen selanjutnya, dicicil."
Ya ampun. Utang itu sebenarnya tidak hilang. Tapi terus berlanjut. Dan kalau dia meninggal, tentu anak-anaknya yang harus meneruskan, dengan porsi tanah makin lama makin kecil karena dibagi warisan. Kebutuhan makin besar, hutang yang harus dicicil makin besar. Bagaimana tidak makin sengsara petani kita?
Petani kita makin tertindas oleh boikot CPO yang tak pernah diurus sejak zaman Pak Mantan. Kita sama-sama mengerti sejak awal tahun 2000an, sawit produksi kita sudah diblack campaign oleh negara-negara Eropa.Â
Negara ini sebenarnya kecil saja kebutuhannya, namun efeknya keseluruhan permintaan dunia terhadap CPO Indonesia turun drastis, sehingga harga pun terbanting, walaupun status kita tetap penghasil sawit nomor 1 di dunia.Â
Baru tahun-tahun terakhir ini Pak Jokowi kembali promosikan ramah lingkungannya penanaman sawit di Indonesia. Tapi terlambat, harga sudah drop sampai titik nadir. Sulit mengangkat citranya kembali di dunia internasional.