Mungkin ini adalah bagian paling religius dan sekaligus penuh perenungan dari seluruh tulisan saya mengenai #1000kmJKW. Sebuah perjalanan yang begitu panjang, melelahkan, namun sekaligus paling bermakna dari semua fragmen.Â
Ya, saya bisa mengerti mengapa Pak Jokowi begitu mencintai Tanah Aceh Gayo. Karena Aceh adalah negeri Serambi Mekah, Aceh adalah negeri ke mana Tuhan menghadap. Dan di sanalah saya menemukan Dia.
Kopi dan wine, walau bertolak-belakang, sama-sama mengarah kepada trance, sama-sama sebenarnya soal pencarian akan Tuhan dan sama-sama dimanfaatkan oleh orang yang tenggelam dalam Agama.
"Takengon itu sumbernya nenek moyang orang Gayo, di sanalah peradaban Aceh Tengah berasal." Dan benar saja, saat akhirnya saya sampai ke Danau Lot Tawar di Takengon, saya menemukan jalan masuk menuju kumpulan artifak di Aceh, gua berisi tulang belulang dan rumah primitif nenek moyang mereka. Sayang saya tidak punya banyak waktu untuk menjelajahinya.
Seorang petani yang saya temu setelah melewati Hutan Lindung, menuju Tekengon, menawarkan biji kopi yang cukup murah, hanya Rp 40 ribu per kilogramnya.Â
Namun setelah saya bawa ke penggilingan kopi di Coffee Boutiqe di Jalan Antasari, terbukti kualitasnya pun mencerminkan harganya, asal-asalan, dari berbagai varietas yang tidak konsisten, dan bercampur banyak kerikil. Hasilnya kopi yang juga kurang keruan rasanya.
Seperti inilah Kopi Gayo yang mendunia, yang tahun ini mencapai harga tertinggi sepanjang masa, berkat pembinaan dan kedisiplinan petani kopi dan para pedagang pengumpulnya.
Nah Kopi Aceh Gayo ini yang sering dipromosikan oleh Pakde Jokowi ke mana-mana. Bahkan kopi kini menjadi semacam alat diplomasi "resmi" yang dipertukarkan dengan bangsa lain saat ada kunjungan luar negeri.
Lalu di mana pengalaman religiusnya? Jadi begini, menjelang Aceh pun mobil saya yang Toyota Calya Matic mulai menunjukkan gejala aneh, lampu dashboard mulai redup saat setir ditarik ke kanan kiri atau rem diinjak.Â
Mobil ini mengandalkan electric power braking dan electric power steering, sehingga rakus dengan daya baterai. Maka saat akinya mulai soak, maka daya pun tersedot ke dua fasilitas tersebut, sehingga lampu pun meredup saat keduanya aktif.Â
Pertanda lain adalah air aki terlihat seperti mendidih, bila dibuka uapnya akan keluar dan aki berkali-kali kering. Gejala ini mirip dengan Agya Matic yang dulu juga pernah saya miliki.
Dasar bandel, saya bukannya segera mengganti baterai, namun malah terus memicu laju mobil melewati Betung Ateuh, yang ternyata benar-benar dilarang dari pendirian rumah, dan anehnya Warga Aceh begitu patuh.Â
Dari sejak pintu masuk Betung Ateuh hingga 10 kilometer menjelang Takengon, memang tidak ada sama sekali rumah tinggal. Sekedar WC umum pun tak adaRencana saya sih tidak akan mematikan mobil hingga sampai di Medan, karena asumsi saya membeli di Takengon akan mahal sekali karena daerah pedalaman. Cukup dengan tidak pernah menstarter ulang, harusnya aman. Harusnya..
Tapi semua rencana kan dibuat saat masih waras dan dalam lingkup pikiran sadar. Saat kebelet kencing sudah ditahan selama 3 jam, barulah pikiran bawah sadar bekerja. Tak juga menemukan toilet, maka mau tak mau pipislah di jalanan, ketemu sudut yang agak tertutup di puncak Singgah Mata, sekitaran Nagan Raya. Syuuur...
Dari atas, saya bisa lihat kembali jalan berkelok-kelok dan tanjakan naik turun yang tadi sudah susah payah saya lalui dengan kecepatan rendah. Walaupun nyetir mobil matic, tapi ngegasnya dan remnya justru lebih berat ketimbang sekedar menginjak kopling.
Nah errornya adalah, saat menahan terkencing-kencing tadi, tanpa sadar saya memutar kunci ke kiri dan mencabut kuncinya! Waktu balik baru tersadar kalau mesin sudah dalam keadaan mati, tak bisa distarter lagi...Â
Gobl....!
Namanya mobil matic pasti tidak bisa didorong. Kalau sudah mogok karena aki soak ya sudah mogok saja, pasrah sampai ada yang bisa memberi bantuan.Â
Alhamdulillah saya selalu membawa peralatan darurat minimal, yaitu kabel jumper, karena sudah memprediksi hal seperti ini pasti suatu saat terjadi di tengah perjalanan.
Maka terdiamlah saya di tengah-tengah puncak Singgah Mata, dengan suasana hening, hanya semilir angin yang menusuk. Menunggu dan menunggu.. selama 2 jam. Namun terus terang saya menikmati kesendirian itu, memandangi indahnya tanah Aceh Gayo dari ketinggian... Saya mulai merasa yakin bahwa Tuhan akan menolong saat kita berserah diri, tak lagi mengkhawatirkan diri akan selamat atau tidak.
Hingga akhirnya mobil pickup yang mengantar logistik ke Takengon lewat, dan setengah heran ia bertanya "Bapak sendirian ke sini Dari mana?". "Dari Jakarta," jawab saya yakin.Â
Saya masih belum mengerti apa yang salah dengan pergi ke Takengon sendirian. "Bawa barang?" Tanyanya. Ya tentu saja dengan polos saya jawab, "Ya bawalah." tanpa mengerti maksudnya. Si Abang supir itu tertawa dengan muka takjub "Hati-hati lah ya kalau gitu." Ia pun meminjamkan akinya untuk sekedar jumper agar bisa start lagi.
Di Takengon, masih setengah bandel, saya berusaha sekedar mengganti air aki dengan air keras, atas saran seorang tukang dinamo. Menurutnya, paling tidak baterai masih bisa bertahan beberapa kali pakai sebelum distarter lagi.Â
"Nanti beli aja di Medan, Bang. Tapi jangan lebih jauh dari itu ya. Saya takut akinya mendidih seperti ini lama-lama meledak." Ya sudah, saya ikuti sarannya dan mengajak mobil tersebut jalan-jalan sebentar keliling Danau Lot Tawar, mancing, dan mandi. Beberapa kali starter saat berkeliling, masih normal.
Sambil bertukar cerita, dia terkaget-kaget pula mendengar cerita bahwa saya hanya berdua dari Lampung ke Medan, lalu nyetir sendirian sejak dari Kuala Namu, berputar-putar keliling Aceh, lalu menyeberang ke Sabang, lalu balik lewat Meulaboh, hingga akhirnya ke Takengon.
"Apa tujuannya itu jalan-jalan" tanya Pak Hamdani.
"Ya iseng saja Pak, cari petualangan," sahut saya sekenanya. "Wah sama juga seperti saya itu. Senang juga jalan-jalan bawa anak cucu jalan-jalan," tukas Pak Hamdani. "Tapi saya sih senangnya coba-coba beberapa jalur tidak biasa, Pak," saya memotong.
Pak Hamdani melihat saya sejenak. Tampak bingung dan heran. "Ajaib nih orang," Mungkin begitu pikirnya. Dan entah kenapa, tiba-tiba matanya berbinar dan tersenyum bijak, "Kalau ingin mencoba bertualang, cobalah jalur tengah ke Kutacane," Sarannya.
"Di mana itu, Pak?" Saya kebingungan.
"Susuri Danau Lot Tawar ini, memutar sampai ke selatan. Lalu ikut saja sampai nanti di Kutacane, masuk ke wilayah perkebunan sekitar Karo, keluar-keluar di Sidikalang." Kata Pak Hamdani. Karena tertarik mengumpulkan berbagai jenis kopi, maka tak ragu saya sambut petunjuknya.
Memang petualangan yang saya cari.
Namun ternyata petualangan yang dimaksud Pak Hamdani bukan petualangan yang biasa saya dapat di Pulau Jawa. Pak Hamdani tidak mengatakan sama sekali kondisi di Jalur Tengah Aceh. Memang jalannya bukan kerikil lagi, tapi sudah diaspal mulus sejak zaman Jokowi.Â
Ada sedikit longsor di kanan kiri, sehingga bila tidak konsentrasi atau mengantuk, kita bisa masuk jurang seketika. Di sanalah saya mulai berserah diri, untuk kali pertama menyetir hanya mengikuti jalan tanpa analisa apapun.Â
Soalnya biasanya kalau nyetir pikiran saya melayang-layang menganalisa ini dan itu. Kali ini beda, saya menyerahkan diri kepada Allah sang maha pencipta.
 Belok kanan ya ikuti kanan, belok kiri ikuti kiri, lurus ya lurus. Tanpa banyak berpikir. Toh ga ada gunanya berpikir melewati jalanan sejauh dan sesunyi itu. Sama sekali tidak ada rumah, masid, atau toilet umum. Hanya keheningan, dan sesekali hewan liar menyeberang.
Ngomong-ngomong jarak, hingga mulai keberangkatan, saya masih mengira akan banyak rumah penduduk, warung makan, dan SPBU di jalanan menuju Kutacane. Maka setelah sebentar mencari Bandara Rembele dan foto-foto, saya berputar ke selatan, dalam keadaan bensin sudah habis dua strip, saya pikir tenang saja paling tidak nanti akan ada Pertamini atau warung penjual bensin botolan seperti biasa saya temui di Sabang.
Nyatanya keliru.
Praktis sekali untuk perjalanan jauh. Tapi saya lupa mengecek jarak dari Takengon ke Kutacane. Sambil menikmati indahnya matahari terbenam di Bukit Barisan, warnanya persis seperti di film Hollywood, warna warni kontras, saya baru tersadar.
Petunjuk Google Map menyatakan saya masih harud berjalan 220 KM lagi.. minus 30 kilometer. Sementara untuk balik ke Takengon terus terang saya malas. Buang-buang waktu...
Panik, saya coba cari SPBU di sepanjang jalan menuju Kutacane. Nihil. Ada di sekitar Blangkejeren. Tapi dari perkiraan ETA (estimated time of arrival), keduanya akan tutup saat saya sampai di sana.Â
Maka saya putuskan putuskan berhenti di Blangkejeren menunggu pagi hari, mengisi perut dulu dengan membakar udang galah yang saya beli murah seharga Rp 30 ribu sekilo di Danau Lot Tawar.
Dia menatap saya agak lama. "Wah hati-hati lah, Bang. Di depan itu ada pos pemeriksaan." Ia lalu bercerita bahwa jalur tengah ini memang sering menjadi tempat menyelundupkan ganja dari Aceh ke Provinsi lain di Indonesia, dan ada kemungkinan saya bisa dijebak dengan menyisipkan narkoba di antara barang-barang yang dibawa. Tentu saja saya tidak percaya, tapi jelas kepikiran juga.
"Terus solusinya bagaimana?" Tanya saya cemas.
"Begini saja, usahakan saja bapak lewat di depan kantor jam 2 subuh, biasanya petugasnya tidur. Ini kan jam 11. jangan menunggu lama-lama. Kalau beruntung, bisa lewat dengan aman. Tapi kalau sudah siang jelas diperiksa."
Maka saya punya dua pilihan, jalan dengan bensin hanya cukup separuh jalan, minus 30 KM, soalnya di Google Map tertulis 100 km, sementara dashboard menunjukkan tinggal 70 KM. Atau menunggu SPBU Blangkejeren buka dan meresikokan diri tertangkap, difitnah, dan kena ancaman hukuman mati sebagai pengedar.
Saya pilih menyerahkan diri kepada Tuhan, saya pilih yang pertama.
Dengan dag dig dug, saya putar kunci starter mobil. "Kalau memang Allah mengizinkan, mau minus 100 KM pun, pasti sampai. Dan kalau Allah tidak mengizinkan, cukup pun bensinnya, akan kena jebakan di pos di depan." Sisanya bismillah...
Maka sekitar seratus kilometer ke depannya, yang saya ingat cuma berserah diri. Membiarkan keputusanNya mengambil alih seluruh analisa dan pemikiran saya.
Di tengah perjalanan dari Takengon menuju Kutacane, saya akan bertemu denganNya. Tentu saja bukan dalam konotasi negatif alias meninggal. Tapi sebuah pengalaman relijius dan spiritual. Berawal dari seliter bensin.
Hingga 10 KM terakhir perjalanan, bensin tinggal untuk 1 KM saja, atau kurang lebih kalau dikonversi ke volume bensin, tinggal seliter. Lampu kuning peringaatan bergambar stasiun pengisian bensin berkedip-kedip.Â
Sungguh, tidak masuk akal sama sekali saya bisa sampai ke Kutacane. Tapi saya tidak hendak menyerah. Mobil hanya berputar langsam, memgandalkan jalan menurun, menukarkan seluruh energi potensial jadi energi mekanik. Saya membiarkan tangan Tuhan yang bekerja.
Saya sadar mobil ini hanya menggunakan tetes-tetes terakhir BBM yabg masih tersisa di tangki. Terus menggelinding dan menggelinding, mengiringi doa dan kecemasan saya setiap detiknya.
Hingga akhirnya, tepat si depan SPBU Kutacane, mobil berhenti bergerak. Benar-benar kehabisan tetes bensin. Alhamdulillah...]
Kelelahan, usai memvideokan gerak terakhir mobil saya di depan SPBU sambil tertawa-tawa, akhirnya saya tertidur sampai pukul 8:30 pagi. Suara klakson becak motor yang terhalang membangunkan saya.Â
Setelah mengisi bensin kembali dan tertawa keras saat petugasnya mengucapkan "Mulai dari Nol  ya pak...", saya meneruskan perjalanan hingga warung sarapan terdekat, menghabiskan sisa udang galah yang masih tersisa 3/4 nya dan mencoba durian setempat yang disajikan. Tak lupa secangkir kopi Gayo yang saya bawa sebagai sampel dari Takengon.Â
Slurptt... ahhh..
Maka setelah menemukan Kopi Gayo di Takengon, aku menemukanMu di Jalur Tengah Aceh, Tuhan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H