Saya pilih menyerahkan diri kepada Tuhan, saya pilih yang pertama.
Dengan dag dig dug, saya putar kunci starter mobil. "Kalau memang Allah mengizinkan, mau minus 100 KM pun, pasti sampai. Dan kalau Allah tidak mengizinkan, cukup pun bensinnya, akan kena jebakan di pos di depan." Sisanya bismillah...
Maka sekitar seratus kilometer ke depannya, yang saya ingat cuma berserah diri. Membiarkan keputusanNya mengambil alih seluruh analisa dan pemikiran saya.
Di tengah perjalanan dari Takengon menuju Kutacane, saya akan bertemu denganNya. Tentu saja bukan dalam konotasi negatif alias meninggal. Tapi sebuah pengalaman relijius dan spiritual. Berawal dari seliter bensin.
Hingga 10 KM terakhir perjalanan, bensin tinggal untuk 1 KM saja, atau kurang lebih kalau dikonversi ke volume bensin, tinggal seliter. Lampu kuning peringaatan bergambar stasiun pengisian bensin berkedip-kedip.Â
Sungguh, tidak masuk akal sama sekali saya bisa sampai ke Kutacane. Tapi saya tidak hendak menyerah. Mobil hanya berputar langsam, memgandalkan jalan menurun, menukarkan seluruh energi potensial jadi energi mekanik. Saya membiarkan tangan Tuhan yang bekerja.
Saya sadar mobil ini hanya menggunakan tetes-tetes terakhir BBM yabg masih tersisa di tangki. Terus menggelinding dan menggelinding, mengiringi doa dan kecemasan saya setiap detiknya.
Hingga akhirnya, tepat si depan SPBU Kutacane, mobil berhenti bergerak. Benar-benar kehabisan tetes bensin. Alhamdulillah...]
Kelelahan, usai memvideokan gerak terakhir mobil saya di depan SPBU sambil tertawa-tawa, akhirnya saya tertidur sampai pukul 8:30 pagi. Suara klakson becak motor yang terhalang membangunkan saya.Â