Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cegah Stunting, Pak Jokowi Hadiahkan 20 Sepeda untuk Suku Anak Dalam di Hari Anak Nasional

27 Juli 2018   14:58 Diperbarui: 27 Juli 2018   15:15 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kok bisa mengatasi gizi buruk pake sepeda? Emang sepeda bisa dimakan?

Jadi begini ceritanya.. setelah berkali-kali keluar masuk dan bantu Suku Anak Dalam, saya dan teman relawan lainnya jadi makin mengerti sebab 2015/16 kemarin Suku Anak Dalam kelaparan. 

Atas pertolongan relawan di Jambi, Pery Monjuli, saya berhasil menemui Jenang (kepala suku besar penghubung) Suku Anak Dalam di Air Hitam, Sarolangun Jambi. Jenang Jala Ludin namanya. Jika teman-teman search di Google, ada berbagai versi Jenang Suku Anak Dalam akibat kesembronoan pemerintah mencampuri adat istiadat mereka. Tapi itu bagian dari masa lalu yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi. Tapi yang jelas Jenang Jala Ludin ini cukup bertanggung jawab dengan tugasnya, mengurusi segala keperluan Suku Anak Dalam, terutama yang berhubungan dengan dunia luar.

Sebelum saya masuk pun, saat saya bertanya kepada warga setempat, seorang Ibu pedagang di Pasar, anggap saja namanya Bunga, mengingatkan dengan muka prihatin. "Wah sekarang SAD itu lah idak bisa cuma dikasi rokok. Sudah mulai pintar mereka!" Saya jadi terheran-heran, "Lho kok masyarakat tertinggal bisa lebih maju malah dianggap problem? Bukannya bagus kalau mereka jadi lebih pintar?

Setelah diberi briefing singkat oleh Jenang, barulah saya paham bahwa Suku Anak Dalam Jambi selama ini menjadi korban eksploitasi, dijadikan pajangan dan tontonan, serta objek untuk dikasihani oleh warga pendatang. Secara rutin mereka diberikan bantuan konsumtif, seperti beras, kopi, rokok, ikan, tapi ujungnya dijadikan bahan foto-foto. Selesai diberikan, ya sudah, pulang, merasa sudah beramal besar. Padahal itu semua menghasilkan bencana dahsyat yang ujungnya adalah kelaparan di Suku Anak Dalam.

Ya, bantuan-bantuan itu secara perlahan mengubah pola konsumsi makanan dan gaya hidup Suku Anak Dalam. Dari pemburu dan pengumpul makanan (hunter and gatherer) jadi mulai bergantung kepada hasil pertanian yang mereka sendiri kesulitan memproduksinya. Mereka yang selama ini terbiasa mencari sendiri makanan di hutan, mulai duduk-duduk di pinggir jalan, menunggu kapan bantuan berikutnya datang.

Dan seperti juga yang dihadapi Butet Manurung di sekitar Tebo dan TNBT, bahasa adalah kendala utama Suku Anak Dalam..sulit sekali mengajari mereka membaca karena cara bicara dan spelling mereka jauh beda dgn kita. Butuh ahli bahasa yg jago. Mengajari mereka harus serius, harus yang segigih Butet. Tak bisa sekali lewat lalu berharap mereka pintar semua.

Selain itu ada stigma terhadap Suku Anak Dalam yang tidak adil seperti malas, banyak maunya, tidak mau maju, bahkan bau tak mau mandi. 

Sebelum saya masuk, ibu-ibu sekitar mengingatkan "Hati-hati kalau dekat sama mereka, banyak yang berbulan-bulan tidak mandi, sehingga dari jarak 10 meter saja baunya nempel." Sebuah cap stempel yang kejam, yang membuat mereka selalu ditekan sebagai pihak yang inferior. Padahal saat saya temui, mereka sudah mandi sore, dan bedakan, walaupun tetap tinggal di hutan dan hidup di tenda alam, beratapkan dahan dan dedaunan.

Lebih lanjut, dengan kesulitan mereka berbahasa indonesia, jangankan baca dan tulis, sementara mereka mulai berubah gaya dan tuntutan hidupnya, membuat mereka mulai butuh uang. Apalagi sumbernya kalau bukan tanah mereka?

"Banyak yang tidak mengerti ditawari kontrak, lalu tanda tangan, lepaslah tanah tempat mereka berpindah-pindah," kata Jenang.

Ya memang dengan kondisi gaya hidup sudah berubah, butuh uang, kelaparan, tak mengerti cara menanam, lalu datanglah oknum-oknum yang tawarkan mereka uang dengan keharusan menandatangani kontrak-kontrak tertentu yang mereka sulit baca.

Maka tergadailah sepetak demi sepetak lahan mereka, yang mereka sendiri tak mengerti. Hutan mulai terkonversi jadi kebun sawit. Mereka ingin menuntut balik, tak mengerti hukum. Cuma bisa gigit jari saat hutan mereka menghasilkan uang dari sawit.

Jadilah sekarang hutan mereka yang harusnya memberikan sumber makanan berganti jadi prahara.  Awalnya mereka tinggal di hutan, sekarang perlahan tergeser menjadi di tepi-tepi kebun sawit dan karet, tanpa boleh memungut apa-apa. Tanahnya yang awalnya subur, ikan dan buah di mana-mana, sekarang cuma ada sawit dan karet yang mereka juga dilarang disentuh. Bahkan dicuri pun keduanya tak bisa dimakan. Bagaimana mau berdagang? Membaca dan berhitung saja sulit.

Bahkan pemda pun ogah ngurusin jalan masuk akses mereka sudah belasan tahun terakhir. Saya udah coba offroad di sana pake Toyota Calya. Alhamdulillah beberapa kali kakinya nyangkut dan selip. Tapi beruntung mobil ini cukup tangguh.

Luar biasa bikin ingin nangis, berasa bukan Indonesia!

Tapi mereka beruntung memiliki Jenang dalam struktur adatnya. Jenang adalah semacam kepala suku tertinggi yang dihormati semua temenggung (kepala suku lebih kecil) yang anehnya justru diangkat dari warga non Suku Anak Dalam. "Saya ini lulusan SMEA, dan memang punya passion tinggi mengajar anak-anak itu," Betul! Karena jenangnya dipilih dari warga luar, maka mereka lebih maju pemikirannya dan bisa mengajari Suku Anak Dalam untuk berbenah diri, memperbaiki nasib.

Dulu jenang sering dianggap remeh, sekedar penghubung Suku Anak Dalam dengan dunia luar. Padahal posisinya vital dan sangat disegani. 

Setiap ada masalah di SAD seperti konflik lahan, kemalangan, sakit, dan lain-lain, pasti baik aparat maupun warga SAD akan mengadu kepada Jenang. "Sayangnya saya tidak memiliki pengakuan sebagai Jenang, sehingga sulit bagi saya mengupayakan bantuan dari perusahaan-perusahaan. Saya hanya butuh itu saja! Selembar surat yang menyatakan saya adalah Jenang Suku Anak Dalam. Karena toh yang sebenarnya sibuk mengurusi mereka ini saya. Kalau kesulitan dan kemalangan mengadunya pun ke saya."

Di kesempatan kedua saya mendatangi Suku Anak Dalam bersama Tommy, Jenang bercerita bahwa banyak pihak yang menjanjikan ini dan itu namun kenyataannya tidak diwujudkan, hanya jadi janji belaka, termasuk janji membuatkan gedung untuk belajar. Nyatanya bertahun-tahun janji itu dinanti, nihil. 

Sekedar bantuan rutin beras, sarden, dan lainnya yang akan dipakai nantinya untuk memberikan penghiburan bagi warga SAD yang kemalangan pun sekarang sudah jarang diterima. "Dulu bantuan seperti itu banyak, sekarang sudah menghilang."

Nah kembali kepada problem edukasi, mengajari Suku Anak Dalam bukan hanya tekniknya yang sulit. Problem besarnya: Mereka terpisah2 berkilo-kilometer tiap temenggung (temenggung adalah kepala suku lebih kecil yang membawahi beberapa kepala keluarga)! Saya sudah lihat cara mereka kumpulkan anak utk belajar. Satu sesi pengajaran butuh 3-4 jam mengumpulkan! Warbiyasak..

Saya langsung berpikir, saat terjadi bencana kelaparan yang akar masalahnya adalah edukasi, "Bukankah spirit Indonesia Mengajar harusnya bisa diterapkan di sini waktu Pak Anies Baswedan masih jadi menteri yak? Kok yang diberikan malah bantuan konsumtif lagi dan lagi?"

Tapi ya sudahlah kata Anies Baswedan kan mari tidak mengutuk kegelapan. Ayo turun tangan, jangan sibuk urun angan.. maka saya coba mengambil hati mereka dengan beberapa bantuan alat pendidikan dan kasi makan ikan asin.

Kok bikin #3lauk10ribu pakai ikan asin? Hariadhi bakil pelit bin kikir!!! Nah fakta unik ini saya temukan saat belanja di pasar sebelum Sarolangun, sekitaran Betung. Ceritanya saya terlambat dan tidak bisa membeli lagi ikan segar. 

Yang tersisa hanya ikan asin. Mau tak mau saya tanya apa sopan ya memberikan Suku Anak Dalam? Si Ibu penjual ketawa terkekeh-kekeh. "Ya justru Suku Anak Dalam itu paling senang diberikan ikan asin! Kalau segar mereka bisa cari sendiri." Oh iya saya lupa bahwa mereka jauh dari peradaban. Maka seharusnya menu sederhana namun tidak bisa mereka ciptakan sendiri jauh lebih berharga ketimbang beli ikan segar yang mahal. Maka saya memesan sekitar 6 kg ikan asin serta 6 kaleng sarden untuk dimasak dan dibagikan kepada Suku Anak Dalam.

Maka di sana terlihat pengaruh Jenang Jala Ludin ke Suku Anak Dalam memang terasa, dalam waktu relatif singkat ia bisa mengumpulkan sekitar 30 orang Suku Anak Dalam. Dan setelah basa basi dan sopan santun dan melalui beberapa diskusi yang ditemani pula oleh Tommy Bernadus, kami jadi paham masalah Suku Anak Dalam sesungguhnya: pendidikan! Intinya mereka muak dieksploitasi jadi sarana foto-foto. Perubahan yang dibawa Jenang Jala Ludin membuat mereka ingin diajari untuk maju!

Pak Presiden Jokowi memang banyak bantu saat kelaparan 2015/16. Bahkan beliau Presiden pertama yang bersedia jumpa langsung dengan Suku Anak Dalam. Buat mereka, itu luar biasa..namun akar masalah pendidikan yg harusnya waktu itu dibereskan pak Anies Baswedan entah seperti apa penanganannya. Membuat sekolah formal jelas bukan solusi, karena mereka saja tinggal nomaden, "Justru harus kita mendatangi mereka supaya mau diajar." kata Jenang. Ya, harus jemput bola supaya Suku Anak Dalam ini mau mengupgrade pengetahuan dan pola pikirnya!

Jadi kata Pak Jenang Jala Ludin, yang dibutuhkan sebenarnya bukan bantuan bersifat konsumtif. Bebaskan mereka dari belenggu kebodohan. Ganti bantuan kopi dan rokok dengan buku dan relawan pengajar! Maka saya dan teman-teman pun urunan membelikan mereka buku tulis, alat pendidikan, bahkan laptop karena menurut Pak Jenang, mereka kesulitan menata administrasi dan mengajukan permohonan bantuan. Lalu bersyukur ada Hamba Allah yang mengirimkan uang seketika yang cukup untuk membelikan laptop baru branded yang lumayan, HP merknya..

Laptop akan dipakai pak Jenang dan relawan-relawannya untuk membuat proposal permohonan bantuan dana untuk gaji pengajar, susun kurikulum, dan hal-hal administratif lainnya. Sebenarnya sudah banyak pihak yang janjiin. Tapi janji tinggal janji. Cuma berujung OMDO. 

Jadi mari wujudkan impian pak Jenang para pengajar punya akses ke leptop. Cus..  Suku Anak Dalam kini punya laptop. Buku? Juga urunan relawan, dalam sekejap terkumpul 300 buku bacaan anak dan 50 buku tulis dan alat tulisnya. "Selesai, setidaknya 3 bulan ke depan mereka akan bisa membaca berbagai buku tanpa harus bosan," pikir saya.

Buku dan laptop terbeli, tinggal memecahkan problem 3-4 jam mengumpulkan Suku Anak Dalam untuk belajar. Mau tidak mau harus punya kendaraan. Si anak dikasi sepeda, guru dan perpusnya diantar jemput pake motor roda tiga. Inginnya..

Maka jadilah saya pusing sendiri dgn PR carikan sepeda&motor roda tiga. Eh.. semesta berkonspirasi, Tuhan memberkati. Usai termenung di mobil setelah berdiskusi dengan Suku Anak Dalam, tiba-tiba masuk telepon dari  salah seorang relawan, Marina Kusumawardani menelepon.

Menyuruh datang ke Istana Bogor, sekarang juga! Wah kesempatan besar untuk datang langsung Pak Jokowi, kan beliau senang memberikan sepeda ke anak-anak!

Jurus saya adalah diplomasi. Tau teori The Gift? Orang yang tinggal di sekitar Samudera Pasifik, tentunya termasuk kita, punya kebiasaan saling menghadiahkan sesuatu. Jadi Suku Anak Dalam juga harus punya sesuatu untuk dihadiahkan ke Pakde Jokowi supaya Pakde juga selalu ingat mereka. Kebetulan mereka sedang mengumpulkan buah pinang sebagai bagian dari ritual sirih. Saya bawa sebungkus dan terbang ke Jakarta!

Selain buah pinang, tidak lengkap kalau tidak ada sirih, kapur, dan bagian yang paling penting: Mengingatkan beliau kalau Gunung Kerinci yg jadi favoritnya saat muda terletak di Jambi. Provinsinya Suku Anak Dalam!

Sangat penting untuk berculinary-diplomacy, maka saya kejar 24 jam lagi bolak balik ke Gunung Kerinci untuk membeli Teh Kayu Aro. Dan nyatanya memang daerah tersebut luar biasa indahnya. Kebun teh mirip puncak, tanpa vila-vila yang merusak pemandangan! Pak Jokowi senang mendaki gunung ini pada waktu mudanya, maka pasti satu atau dua kali dia pernah mencicipi teh kayu aro!

Maka saat masuk Istana Bogor saya selipkan oleh-oleh Teh Kayu Aro. Teh ini salah satu kebun teh tertua di dunia. Saya harus cari cara supaya bisa lolos pengawasan ketat. Teh tersebut kotaknya dilepas, masukin saku, lolos pemeriksaan paspampres!

Ada teman yang bertanya dengan setengah iri "Kok Hariadhi mulu yang diundang ketemu Pakde Jokowi?" Karena setiap kali bertemu, saya selalu tidak segan memberi kritik & masukan ke Pakde Jokowi. 

Maka saya memberikan kritik kepada Pak Jokowi kalau kunjungan 2015/16 itu ga tuntas bereskan problem suku Anak Dalam sampai ke akar masalah pendidikan, bahkan jika diolah oleh haters berpotensi menjadi bahan fitnah baru bagi Pak Jokowi. Saat masuk pembahasan harus berbuat apa, maka saya sebutkan bahwa request saya sederhana saja dan harusnya tidak nerepotin Pak Jokowi. "Minta sepeda untuk SAD pak!"

Pak Jokowi kan memang senang memberikan sepeda. Nah maksud saya pakde jokowi cukup berikan satu sepeda secara simbolis. Nanti sisanya diumumkan ke relawan untuk dilengkapi. Eh.. tak disangka-sangka Pakde nanya "Butuhnya berapa?" Ihiyyy!!! Yes yes! Langsung aja saya jawab "Dua Puluh Pak!" Seisi ruangan ketawa. Eh... dikabulkan lho!

Tapi pastinya tidak bisa sembarangan minta. Saya dikasih PR lengkapi dulu data anak2 penerima sepeda. Buktikan mereka ada dan memang butuh sepeda. Bolak balik lagi deh ke Suku Anak Dalam.. sekadar informasi, untuk sekali keluar masuk ke area Suku Anak Dalam, butuh sekitar 10 jam dari Jambi.

Tapi percayalah, bahwa sekali Pak Jokowi sudah mengiyakan, ia tidak akan pernah ingkar janji. Itulah yang membuat saya percaya dan mau bela-belain beberapa kali masuk lagi ke daerah Suku Anak Dalam di Air Hitam. Dalam sebulan, data anak-anak sudah ada, nama, lokasi, umur, bahkan lengkap sampel video mereka beneran minta sepeda kepada Pak Jokwi.. Semua saya kerjakan karena yakin Pakde akan memenuhi janjinya.

Dan akhirnya kemarin sepulang dari tur Sumatera #1000kmJKW, dalam keadaan kaki saya bengkak dan menjerit-jerit karena sakit sekali, ada hiburan dari Tuhan datang: Pak Jenang Jala Ludin tiba-tiba kirim FB messanger!! Mengabarkan kalau bantuan sepeda dari Pak Presiden sudah datang. "Alhamdulillah... saya sangat terima kasih banyak sama pak Haridhi..sepada utk anak udah di antar tadi sore" demikian katanya. Tak yakin, saya tanya balik "ada foto sepedanya yang jelas Pak?" Beliau menyanggupi untuk mengirimkan. Ternyata benar.. di Air Hitam sudah berjejer 20 sepeda dengan berbagai bentuk ukuran.

Pak Jokowi menepati janjinya!

Olah Pribadi
Olah Pribadi
Dan ini rasanya adalah REKOR TERBANYAK sepeda dihadiahkan oleh pakde @jokowi dalam satu kesempatan: 20 SEPEDA! Yes yesTerima kasih Pakde!!

Gara-gara sepeda ini, kata Pak Jenang Jala Ludin, ada orang yang cari-cari saya di Sarolangun sana. Haha buat saya tidak usah dipublish pak. Yang penting anak-anak Suku Anak Dalam bahagia diperhatikan presidennya, Joko Widodo. Pengakuan dan wawancaranya silakan untuk pak Jenang. Saya cari tempat lain yang perlu dibantu saja, itu lebih baik.

Saya ingin memberi penghargaan terbesar bagi Jenang karena memang selama ini berkeringat dan keluar banyak duit untuk mengurusi Suku Anak Dalam itu Pak Jenang Jala Ludin. Saya mah cuma main-main dan megantarkan buku titipan relawan.. Pak Jenang, seperti yang sudah saya jelaskan, mengurusi mulai dari lahir, belajar, sakit, mati, bahkan kalau SAD berkonflik dengan warga lain atau perusahaan.

Lalu gimana? Selesaikah perjuangan saya dengan rekor jumlah pemberian sepeda oleh pakde Jokowi? Belum sama sekali.. gurunya masih harus jalan kaki berkilometer temui Suku Anak Dalam dan bawain buku/alat ajar

Itulah request bin PR dari pak Jenang Jala Ludin yg sampai sekarang masih saya usahakan. Perpustakaan mobile! Bentuknya bisa motor dimodif jadi becak roda tiga, motor roda tiga, atau minibus murahan harga 30an juta! Krn itulah saya bikin fundraising kopi Sumatera!

Olah Pribadi
Olah Pribadi
Sebanyak 8 jenis kopi Sumatera dari 7 Provinsi akan kita paketin supaya teman2 bisa icip kekayaan alam Sumatera!
  1. Takengon, Aceh Gayo
  2. Sidikalang
  3. Sumatera Barat
  4. Kayu aro, Kerinci
  5. Bengkulu Kota
  6. Kepahiyang, Bengkulu
  7. Empat Lawang, Sumsel
  8. Lampung

Selain kopi Takengon Aceh Gayo yg syedap&kopi dari sumatera lainnya. Ada

  1. Bumbu pliek, Aceh
  2. Andaliman atau Badak, Sumut
  3. Keripik nanas dan wajik, Riau
  4. Kopi kawa daun Sumbar
  5. Rakik Macho Sumbar
  6. Teh kayu aro kerinci
  7. Teh prenjak riau

Sekardus oleh-oleh cukup bayar Rp 1 juta!

Untuk lengkapnya alasan saya melakukan fundriasing, lihat kembali cerita di atas ya. Rp 1 juta untuk satu kardus oleh-oleh berisi 8 kopi dari berbagai titik di Sumatera, plus berbagai snack, bumbu, teh dan lainnya. Fundraising digunakan utk membelikan Perpus Mobile utk Suku Anak Dalam.

Tertarik memajukan Suku Anak Dalam? Hubungi saya di WA 081808514*** untuk ikut serta dalam fundraisingnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun