Nah kembali kepada problem edukasi, mengajari Suku Anak Dalam bukan hanya tekniknya yang sulit. Problem besarnya: Mereka terpisah2 berkilo-kilometer tiap temenggung (temenggung adalah kepala suku lebih kecil yang membawahi beberapa kepala keluarga)! Saya sudah lihat cara mereka kumpulkan anak utk belajar. Satu sesi pengajaran butuh 3-4 jam mengumpulkan! Warbiyasak..
Saya langsung berpikir, saat terjadi bencana kelaparan yang akar masalahnya adalah edukasi, "Bukankah spirit Indonesia Mengajar harusnya bisa diterapkan di sini waktu Pak Anies Baswedan masih jadi menteri yak? Kok yang diberikan malah bantuan konsumtif lagi dan lagi?"
Tapi ya sudahlah kata Anies Baswedan kan mari tidak mengutuk kegelapan. Ayo turun tangan, jangan sibuk urun angan.. maka saya coba mengambil hati mereka dengan beberapa bantuan alat pendidikan dan kasi makan ikan asin.
Kok bikin #3lauk10ribu pakai ikan asin? Hariadhi bakil pelit bin kikir!!! Nah fakta unik ini saya temukan saat belanja di pasar sebelum Sarolangun, sekitaran Betung. Ceritanya saya terlambat dan tidak bisa membeli lagi ikan segar.Â
Yang tersisa hanya ikan asin. Mau tak mau saya tanya apa sopan ya memberikan Suku Anak Dalam? Si Ibu penjual ketawa terkekeh-kekeh. "Ya justru Suku Anak Dalam itu paling senang diberikan ikan asin! Kalau segar mereka bisa cari sendiri." Oh iya saya lupa bahwa mereka jauh dari peradaban. Maka seharusnya menu sederhana namun tidak bisa mereka ciptakan sendiri jauh lebih berharga ketimbang beli ikan segar yang mahal. Maka saya memesan sekitar 6 kg ikan asin serta 6 kaleng sarden untuk dimasak dan dibagikan kepada Suku Anak Dalam.
Maka di sana terlihat pengaruh Jenang Jala Ludin ke Suku Anak Dalam memang terasa, dalam waktu relatif singkat ia bisa mengumpulkan sekitar 30 orang Suku Anak Dalam. Dan setelah basa basi dan sopan santun dan melalui beberapa diskusi yang ditemani pula oleh Tommy Bernadus, kami jadi paham masalah Suku Anak Dalam sesungguhnya: pendidikan! Intinya mereka muak dieksploitasi jadi sarana foto-foto. Perubahan yang dibawa Jenang Jala Ludin membuat mereka ingin diajari untuk maju!
Pak Presiden Jokowi memang banyak bantu saat kelaparan 2015/16. Bahkan beliau Presiden pertama yang bersedia jumpa langsung dengan Suku Anak Dalam. Buat mereka, itu luar biasa..namun akar masalah pendidikan yg harusnya waktu itu dibereskan pak Anies Baswedan entah seperti apa penanganannya. Membuat sekolah formal jelas bukan solusi, karena mereka saja tinggal nomaden, "Justru harus kita mendatangi mereka supaya mau diajar." kata Jenang. Ya, harus jemput bola supaya Suku Anak Dalam ini mau mengupgrade pengetahuan dan pola pikirnya!
Jadi kata Pak Jenang Jala Ludin, yang dibutuhkan sebenarnya bukan bantuan bersifat konsumtif. Bebaskan mereka dari belenggu kebodohan. Ganti bantuan kopi dan rokok dengan buku dan relawan pengajar! Maka saya dan teman-teman pun urunan membelikan mereka buku tulis, alat pendidikan, bahkan laptop karena menurut Pak Jenang, mereka kesulitan menata administrasi dan mengajukan permohonan bantuan. Lalu bersyukur ada Hamba Allah yang mengirimkan uang seketika yang cukup untuk membelikan laptop baru branded yang lumayan, HP merknya..
Laptop akan dipakai pak Jenang dan relawan-relawannya untuk membuat proposal permohonan bantuan dana untuk gaji pengajar, susun kurikulum, dan hal-hal administratif lainnya. Sebenarnya sudah banyak pihak yang janjiin. Tapi janji tinggal janji. Cuma berujung OMDO.Â
Jadi mari wujudkan impian pak Jenang para pengajar punya akses ke leptop. Cus.. Â Suku Anak Dalam kini punya laptop. Buku? Juga urunan relawan, dalam sekejap terkumpul 300 buku bacaan anak dan 50 buku tulis dan alat tulisnya. "Selesai, setidaknya 3 bulan ke depan mereka akan bisa membaca berbagai buku tanpa harus bosan," pikir saya.
Buku dan laptop terbeli, tinggal memecahkan problem 3-4 jam mengumpulkan Suku Anak Dalam untuk belajar. Mau tidak mau harus punya kendaraan. Si anak dikasi sepeda, guru dan perpusnya diantar jemput pake motor roda tiga. Inginnya..