Makanannya juga nikmat sekali. Cocok dengan lidah lokal kita. Intinya adalah masakan Aceh, mirip masakan Padang, namun tidak sepedas dan semerah gulai masakan Padang. Gulai Aceh cenderung encer, manis, dan asam. Satenya ya Sate Padang juga (untuk review sate padang, bisa baca tulisannya Thomas J Bernadus).
Untuk menikmati sate gurita terbaik, saran saya datang ke pujasera di pusat kota Sabang. Di seberang pujasera, ada warung Sate Mak Tambo. Inilah sate gurita yang asli Sabang, katanya. Bu Daud, penjualnya, memberi jaminan "Yang enak dan lembut guritanya di sinilah. Gurita kalau salah mengolahnya ya jadi seperti karet dan getas bin keras. Di sate Mak Tambo ini, dijamin lembut." Dan memang, saat mengunyah sate gurita Mak Tambo, saya seperti makan sate lidah. Lembut dan enak, nyam!
Tapi wajib tahu kalau Bu Daud hanya merekomendasikan dan menyajikan sate gurita dalam porsi kecil. Karena sekali makan sate gurita cenderung bosan, soalnya mengunyahnya agak lama. Kalau ingin porsi ekstra, maka harus bilang kepada Bu Daud, baru dia buatkan porsi 10 atau 15 tusuk seperti kita biasa makan sate di Jakarta.Â
Dan habis makan 10 tusuk ya sudah pasti kolesterol naik hahaha. Kepala saya pusing dan langsung sadar kenapa Bu Daud menyajikannya dalam porsi kecil saja. Buat yang darat tinggi macam uda Pery Monjuli jangan lupa stok statin dulu sebelum menyeberang ke Sabang yo!
Bagaimana cara mencapai Sabang yang indah luar biasa? Menyeberang aja di Pelabuhan Ulee Lheu di Banda Aceh, lalu beli tiket. Usahakan datang 4 jam sebelum jadwal keberangkatan yang diinginkan, karena kapasitas kapal terbatas dan satu dari dua kapal yang tersedia sering rusak.
Menyeberang dengan kendaraan mobil di sini berebut, bahkan bisa tertunda berhari-hari. Tiketnya pun mahal, 230 ribuan. Bolak balik berarti nyaris Rp 500 ribu. Menurut tour guide lokal yang saya temui, "Saya sarankan daripada kecewa dengan layanan pelabuhan, beli saja tiket kapal ekspress, tinggalkan kendaraan parkir di Ulee Lheu. Lalu sewa saja kendaraan Rp 300 ribuan sehari di Pulau We."
Betul, saran itu memang terbukti. Saya sendiri akhirnya menghabiskan waktu sekitar 5 hari hanya untuk menanti penyeberangan ke Sabang, keliling Pulau We, lalu balik lagi ke Ulee Lheu. 5 hari dan Rp 500 ribuan tentu sebuah kerugian luar biasa dibanding sewa mobil 2 hari. Sementara tiket penumpang non mobil di VIP saja cuma Rp 58 ribu. Kalau tak mau VIP, layanannya tetap bagus pakai kursi yang nyaman, cuma Rp 38 ribu.
Atau kalau memang berduit, sekalian saja naik pesawat, transit dari Bandara di Banda Aceh, lanjut ke Sabang. Di Sabang ada kok bandara.
Jadi kesimpulan saya, di luar masalah akses transportasi, Pulau We dengan Kota Sabangnya luar biasa! Tak rugi ke sini, ketimbang buang-buang devisa bangsa kita dengan memberikan uang ke ladyboy Thailand. Jika yang dicari bukan pemandangan bule topless, pijat plus-plus, atau kebebasan berbikini ria, maka mainlah ke Sabang.
Seminggu keliling di Pulau We dan Sabang dijamin puas!