Waktu itu, dia tinggal bersama Ayahnya dan Ibu tirinya. Walaupun tinggal serumah, Melati tak terlalu dekat dengan Ayahnya bahkan dia jarang berbicara banyak, dia mengasuh kedua anaknya seorang diri.
Pada suatu hari, Melati berbicara dengan saya, bahwa dia lelah sama hidupnya, dan ingin bunuh diri. Tak ayal, saya langsung menghubungi salah satu ketua komunitas yang saya tidak jadi gabung. Dan jawabannya mengejutkan, lelaki itu mengatakan "Biarkan saja.
Di kota B itu banyak kok instansi yang bisa dihubungi." Padahal Melati membutuhkan seseorang yang butuh diajak bicara, dan memahami dia agar tidak terjadi kejadian terburuk, namun jawaban dari orang yang seharusnya bisa disebut aktivis itu malah meremeh-temehkan apa yang saya minta tolong waktu itu.
Sampai detik ini, saya sudah kehilangan kontak dari Melati, saya pernah mencoba menyapanya dari mulai akun Facebook hingga Instagram miliknya bahkan menghubungi nomor handphonenya yang gonta-ganti nomor. Dan hal yang paling menyedihkan, ketika saya membuka akun instagram-nya dia menulis kata-kata yang menandakan putus asa hingga RIP dalam Highlight Instagramnya.
Saya tak habis pikir dia akan melakukan hal sebodoh itu, di sisi lain, saya makin muak dengan orang yang saya minta tolong kala itu.
Terkadang, saya tersenyum miris bila melihat wajah orang itu dalam media online/cetak, sambil berbicara layaknya seorang pakar yang mengerti orang-orang yang mengalami mental breakdown.
Sejak itulah, saya menulis cerpen babak-babak dan menjadikan karakter Lala sebagai cerminan Melati.
Saya masih berharap semoga pikiran saya tentang dia salah. Dan berharap suatu hari, Melati kembali sebagai jati diri yang lebih baik.
Ya, Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H