Dari jendela itu aku bisa memotret kota
Ada peradaban yang ringkih
Ada jiwa yang setiap saat butuh renovasi
Ada baja yang menghimpit selera
Dari jendela itu aku menyaksikan rutinitas jiwamu
Yang mendengus kehilangan arah
Yang letih terkulai dibenamkan waktu
Bersimbah peluh yang mengeluh
Dari jendela itu aku mendengar gemerincing nafsu
Menampar sana menampar sini
Air liur keinginan meleleh tiada henti
Menggonggongkan kepalsuan
Dari jendela itu aku saksikan orang gadaikan waktu
Untuk sejumput kebaikan, katanya
Namun ia lekas meludahkannya
Karena pahit rasanya, katanya kembali
Dari jendela itu aku menyingkap kesibukan
Orang-orang yang menghisap kenikmatan
Mereka berdesakan tunaikan hajat
Tumpang-tindih mengharap derajat
Dari jendela itu aku melihat harapanmu tumbuh
Berbunga menyebarkan sinar kehidupan
Menyatukan garis kecemerlangan
Lalu layu, pupus, kering, dan menuju kematian
Surabaya, 31 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H