Mohon tunggu...
Suharto
Suharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Penulis blog http://ayo-menulislah.blogspot.co.id/, http://ayobikinpuisi.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kata “TIDAK” yang Bertuah  

30 Oktober 2015   11:01 Diperbarui: 1 Januari 2016   01:42 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

( Sebuah Apresiasi Puisi )

 

 

 

Orang Mati

Oleh: Ahda Imran

 

Aku dibunuh setelah mengatakan “tidak”

 

Orang sekaumku percaya

kata itu diciptakan iblis di depan lelaki

pesolek kesayangan Bapak. Di tengah

sidang suci lancang ia mengucapkannya

 

Sejak itu, tuan, kata “tidak” adalah tulah

pengusiran, kematian, dan darah

 

Sejak hari pertama aku mengucapkannya

langit bergetar, pepohonan mati, udara basi

dan bau kuburan, ular-ular tanah menyelinapkan

bisa ke dalam umbian

 

Seperti saat pengusiran iblis;

pada hari kematianku, air, tanah, dan langit

begitu lengang. Tuan menyelinap ke dalam

rumahku, ke dalam tubuhku; tuan mencari-cari

kata “tidak”

 

Tuan mengerat lidahku

kata itu kuteriakkan di sorot mata

tuan mencukil mataku

kata itu kujerang dalam darah

tuan menumpahkan darahku

kata itu kusembunyikan dalam ruh

ketika tuan mengeluarkan ruhku

 

kata itu telah kutuliskan di seluruh tembok kota   

 

(dimuat di Kompas, Minggu, 25 Oktober 2015)

 

Puisi di atas adalah cerminan fenomena yang terjadi sejak dulu hingga sekarang dalam peradaban kehidupan manusia. Kata "tidak" diseru oleh perorangan atau kelompok karena ketidaksepahaman terhadap suatu permasalahan. Dan kata "tidak" ini terkadang mempunyai harga yang sangat mahal, bahkan harus ditebus dengan taruhan nyawa! Puisi berjudul "Orang Mati" ini tanpa basa-basi langsung dibuka dengan sebuah kalimat Aku dibunuh setelah mengatakan "tidak"

 

Menurut Si Penyair, kata "tidak" ... itu diciptakan iblis. Dalam literatur Agama Islam, yakni di kitab suci Al Quran, Iblis adalah sosok pembangkang sejati karena berani melawan perintah Tuhan yang telah menciptakannya. Ihwal pembangkangan bermula saat Tuhan menyuruh Iblis agar bersujud kepada Adam, manusia pertama ciptaan Tuhan yang terbuat dari tanah. Alasannya, Iblis merasa diri lebih mulia karena dibikin dari unsur api. Meski Tuhan telah bertitah bahwa "Aku Maha Tahu", tapi tetap saja Iblis ingkar.

 

Sang penyair merasakan kekuatan kata "tidak" ketika diucapkan. Energi yang dikeluarkan sungguh luar biasa sehingga mampu membuat langit bergetar, pepohonan mati, udara basi. Dan penyeru kata "tidak" bahkan terkadang berhadapan dengan maut dan dipaksa mencium ... bau kuburan!

Kata "tidak" adalah sebuah penentangan arus. Ketika mayoritas bilang "ya", dan ada sejumput orang atau bahkan cuma seorang yang bilang "tidak", maka sulit rasanya berbicara soal keadilan. Prasangka-prasangka seperti ular-ular tanah menyelinapkan bisa ke dalam umbian. Akal sehat menjadi keruh. 

Minoritas harus mempersilahkan Tuan yang menyelinap ke dalam rumahku, ke dalam tubuhku; tuan mencari-cari kata "tidak". Kerja Tuan ini tidak kepalang tanggung! Ia akan mencari kata "tidak" yang telah terucap sampai ketemu. Lihatlah, Tuan ini akan mengerat lidahku

Dalam ilmu gestur yang mempelajari bahasa tubuh, kata "tidak" ternyata juga terlontar dari sorot mata! Maka saat Penyair bilang kuteriakkan di sorot mata / tuan mencungkil mataku. Si Tuan berambisi ingin mendapatkan kata "tidak" sampai tuntas bahkan ketika kata itu ku jerang dalam darah / tuan menumpahkan darahku, ku sembunyikan dalam ruh / tuan akan mengeluarkan ruhku

Sungguh luar biasa dahsyatnya pengaruh kata "tidak" bagi si Tuan, karena Tuan menyadari kata ini akan menjadi virus bagi orang yang telah berkata "ya". Bagi si Tuan, tidak ada kata lain selain menemukan penyeru kata "tidak" untuk dibumihanguskan! Si Tuan tidak ingin kata "tidak" menjadi udara busuk bagi dirinya. Si Tuan tidak ingin penyeru kata "tidak" bebas merdeka menyuarakan hati nuraninya. Akhirnya Si Penyair dengan manis menutup epilog yang "happy ending", karena kata itu telah kutuliskan di seluruh tembok kota sehingga semua orang tahu kenapa Aku dibunuh setelah mengatakan "tidak"

 

 

Surabaya, Jumat, 30 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun