Sudah 8 tahun saya merantau di Jakarta dan masih jomblo, tapi jomblo bermartabat kok. “Ma…saya pingin lanjut kuliah di jawa.” Itulah yang saya katakan kepada ibu saat itu. Saya pikir merantau itu enak, ternyata uueeenakkk (untuk beberapa hal tertentu J). Nah ane pergi merantau tuh setelah lulus SMA. ‘Kebetulan’ saat itu saya mendapatkan beasiswa disalah satu institute pendidikan.
Dalam benaknya saya nih, merantau itu asyik, bisa sukses kayak para tetangga di kampungku. Asyiknya lagi kalau merantau, bisa hidup bebas, bisa ngelakuin apa saja, jauh dari aturan-aturan keluarga. Tapi kan “teh manis itu tidak selamanya manis, manisnya di lidah doang”. Seperti pengalaman saya, asyiknya merantau sebagai mahasiswa hanya diawal-awal doang, banyaknya ‘sengsara’
Salah satu kesengsaraannya adalah “ketika elu lagi laper, kiriman belum dateng, uang saku ludes, dan elu ingat masakan emak dan kebersamaan dengan keluarga di meja makan”, disitu rasanya pingin pulang kampung dan nyanyi lagu “sakitnya tuh disini” (sambil nunjuk hati dan perut).
Makan bersama keluarga adalah moment yang sangat berharga. Karena saat makan bersama tersebut, bukan hanya sekedar makan, tapi juga bisa bertemu keluarga dan berbagi bersama. Saya berasal dari keluarga yang kurang intim. Menyatakan kasih dalam kata-kata adalah hal yang asing dalam keluarga. Bilang “I Love u” sama sesama anggota keluarga itu aneh, ganjil bin ajaib rasanya (tapi klo sama doi bisa, malah bisa bertubi-tubi tuh bilang I Love u_nya. Aneh kan??? Manusia kk)
Meskipun demikian, saya masih ingat saat-saat kami kumpul dan makan bersama (jarang banget tapi…). Ayah dan ibu mengambil potongan lauk dipiring mereka dan membagikannya ke kami anak2nya. Dan biasanya si bungsu yang dapat potongan besar (dan itu adalah saya). Meskipun terkadang lauknya tidak istimewa tapi anak yang pernah diperlakukan seperti itu sangat senang. Tahun kemarin pas pulang kampung, ternyata kebiasaan itu masih ada. Tapi hanya ibu yang melakukannya, karena ayah pulang ke rumah Bapa di sorga.
Kebersamaan makan bersama dengan keluarga, tidak selalu terjadi dalam keluargaku. Tapi saat moment itu ada, meskipun jarang sekali, saya tetap bersyukur. Karena moment-moment seperti itu tidak akan terulang lagi. Waktu bisa ter-ulang tapi moment itu hanya sekali. Kalau kamu tidak memanfaatkan moment tersebut, maka semuanya tidak ada artinya. Mungkin waktu makan bersama keluarga ada, tapi apa gunanya kalau masing-masing sibuk dengan gadget masing-masing.
Sebagai anak perantauan, mungkin kita bisa merasa sukses dengan pencapaian yang kita raih, tapi terkadang ada kekosongan karena kerinduan akan kebersamaan kumpul bersama keluarga di kampung halaman sana.
Salam Anak Rantau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H