Pemerintahan Indonesia yang baru dibawah kepemiminan Joko Widodo dan M.Jusuf Kalla sudah memberikan lampu hijau untuk menaikan harga BBM sebelum akhir tahun 2014. Sebuah kebijakan yang menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Kebijakan ini juga dinilai sangat dilematis jika melihat dari usia kepemimpinan Jokowi dan Jusuf Kalla yang baru saja dilantik yang telah mengeluarkan kebijakan yang tidak populer oleh sebagian masyarakat.
Kenaikan BBM sebenarnya bukanlah kebijakan yang baru, karena di era pemerintahan sebelumnya sudah berulang kali dikeluarkannya kebijakan untuk menaikan harga BBM. Berikut ini tabel perbandingan harga Premiun dan Solar bersubsidi dari setiap masa kepemerintahan:
Tahun
Harga Premium
Harga Solar
Masa Pemerintahan
Keterangan
1980
Rp 150
Rp 52,5
Soeharto
1991
Rp 550
Rp 300
Soeharto
Naik
1993
Rp 700
Rp 380
Soeharto
Naik
1998
Rp 1.200
Rp 600
Soeharto
Naik
16 Mei 1998
Rp 1.000
Rp 550
B.J. Habibie
Turun
Bulan April 2000
Rp 600
No Data
Gus Dur
Turun
Bulan Oktober 2000
Rp 1.150
Rp 600
Gus Dur
Naik
2001
Rp 1.450
Rp 900
Gus Dur
Naik
Bulan Maret 2002
Rp 1.550
Rp 1.150
Megawati
Naik
Bulan Januari 2003
Rp 1.850
Rp 1.650
Megawati
Naik
1 Maret 2005
Rp 2.400
Rp 2.100
SBY
Naik
1 Oktober 2005
Rp 4.500
Rp 4.300
SBY
Naik
24 Mei 2008
Rp 6.000
Rp 5.500
SBY
Naik
1 Desember 2008
Rp 5500
Rp 5.500
SBY
Turun
15 Desember 2008
Rp 5000
Rp 4800
SBY
Turun
15 Januari 2009
Rp 4500
Rp 4500
SBY
Turun
22 Juni 2013
Rp 6.500
Rp 5.500
SBY
Naik
Setelah kita mencermati lebih dalam tabel perbandingan harga BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar disetiap era kepemerintahan, Apa yang dapat anda simpulkan? Sudahkan anda pikirkan lebih mendalam lagi? saya rasa anda juga memiliki kesimpulan yang sama yaitu:
1.Harga BBM bersubsidi jenis solar dan premium naik dari tahun ke tahun.
2.Sipapun pemimpinnya, siapapun partai pengusungnya , harga BBM bersubsidi selalu naik.
3.dan kenaikan harga BBM bersubsidi yang akan terjadi di 2014 ini, BUKANLAH AKHIR DARI KENAIKAN HARGA BBM BERSUBSIDI !!! , karena 2 tahun lagi atau mungkin 3 tahun lagi,mungkin AKAN ADA KENAIKAN HARGA BBM BERSUBSIDI LAGI !!!!
Kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi dengan melakukan pengalihan dana subsidi BBM untuk warga secara langsung baik berupa uang tunai maupun program kesejahteraan lainnnya secara kasat mata sangat membantu dan sangat tepat sasaran. Namun jika dicermati lebih mendalam, kebijakan ini tidak lebih dari sekedar “Pain killer”.
Istilah Pain Killer tidaklah asing bagi sejumlah orang. Pain Killer merujuk kepada analgesik yaitu obat-obatan yang berfungsi untuk menciptakan suasana analgesia (rasa nyeri yang hilang) di dalam tubuh penderitanya. Pain killer bekerja pada pusat syaraf,namun Pain Killer “tidak menyembuhkan” penyakit yang diderita
Sejumlah elit pemerintahan, pengamat politik dan media ramai-ramai membicarakan mengenai rencana kenaikan BBM bersubsidi ini. Mereka berpendapat dengan argumennya dan selalu mengaitkan dengan rencana pengalihan subsidi BBM yang dinilai tidak tepat sasaran dengan sejumlah program kesejahteraan rakyat meliputi kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan bantuan langsung yang dinilai lebih bermanfaat dan menyehatkan APBN Indonesia.
Sekadar gambaran, anggaran subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 mencapai Rp 246,5 triliun. Per 29 Agustus, belanja subsidi BBM mencapai Rp 162,4 triliun atau 63 persen
Grafik Konsumsi BBM persektor
Masih merujuk data Kementerian ESDM pada gambar diatas, jika dilihat dari sektor pengguna sebanyak 89 persen BBM bersubsidi dinikmati transportasi darat, transportasi laut 1 persen, rumah tangga 6 persen, sektor perikanan 3 persen, dan hanya 1 persen dinikmati usaha kecil menengah. Konsumsi Premium untuk transportasi darat 53 persen justru dinikmati mobil pribadi, 40 persen dinikmati motor, 4 persen dinikmati mobil barang, dan 3 persen dinikmati kendaraan umum. Dan angka ini naik terus setiap tahunnya.
Kembali pada bahasan utama mengenai sejumlah tokoh politik yang mengusulkan kenikan harga BBM, apakah para politikus di pemerintahan ini lupa bahwa konsumsi BBM bersubsidi “Cenderung”naik setiap tahunnya mengikuti harga minyak dunia? ataukah pura-pura tidak tahu dan tidak mau mengangkat isu ini? Mengingat , Indonesia bukanlah Negara pengekspor minyak lagi. Dengan kata lain, mau ada program pendidikan gratis kek, mau ada program kesehatan gratis lah, atau mau ada program bantuan langsung sekalipun , Harga BBM ya akan tetap naik.
Inilah yang disebut dengan Politik “Pain Killer” sebuah cara untuk meredam permasalahan tapi tidak mengobatinya!!!. Kalau tahun ini BBM bersubsidi naik, dan alokasi subsidi BBM dialihkan ke sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan bantuan langsung dengan harapan APBN Indonesia akan menjadi efektif dan efisien dan rakyat akan sejahtera, COBA PIKIRKAN LAGI !!!
Di tahun berikutnya dua tahun lagi atau mungkin tiga tahun lagi, Indonesia akan digoyang lagi dengan isu kenaikan harga BBM , apakah pemerintah kita tidak pernah belajar dengan sejarah dari kepemimpinan ditahun-tahun sebelumnya?
Penyakit yang diderita oleh Indonesia sudah sangat parah namun justru hanya diobati dengan “Pain Killer” saja. Politik Pain Killer menyehatkan permasalahan Inefektifitas penggunaan APBN secara sementara saja. Seperti diketahui bahwa subsidi energi sebesar Rp 282,1 Trilyun (15.3% dari APBN) dinilai sangat membebani APBN dan terus bertambah setiap tahunnya. Jika seandainya anggaran sebesar Rp 282,1 Trilyun digunakan penuh untuk pendidikan, kesehatan dan Infrastruktur dengan catatan harga BBM tidak disubsidi, kebijakan ini hanyalah bersifat penyembuh rasa sakit saja, karena ditahun berikutnya, konsumsi BBM terus meningkat dan harga minyak dunia juga cenderung meningkat, sehingga pemerintah mau tidak mau juga akan melakukan kembali kebijakan subsidi BBM untuk menekan harga BBM dipasaran dan menghindari inflasi yang mencekik, dan kembali pada siklus lama yaitu tersandra oleh subsidi BBM seperti yang terjadi oleh era kepemerintahan sebelumnya.
Sudah seharusnya Fokus utama pemerintah adalah mengobati penyakit utamanya, karena penyakit utama yang harus diobat adalah Inefektifitas penggunaan BBM !!!. BBM kita habis digunakan di sektor transportasi darat , yaitu dibuang percuma hanya untuk mobilitas dan tidak ada nilai tambah !!.
Dalam paparannya, Dr. Heru Sutomo dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) mengenai daerah dengan konsumsi BBM tertinggi seindonesia yaitu Jakarta, menyatakan saat ini kerugian akibat macet mencapai hampir Rp 35 triliun per tahun. Hal itu didapat dari biaya bensin yang sia-sia mencapai Rp 12 triliun per tahun dan biaya operasional kendaraan Rp 23 triliun per tahun.
bayangkan saja, Berapa BBM subsidi yang habis di tengah kemacetan jalan yang panjang, habis karena digunakan oleh satu mobil pribadi dengan satu orang penumpang, habis ditengah lampu merah dan sebagainya. Tidak ada sama sekali nilai tambah yang didapatkan.
Sehingga, obat yang seharusnya diberikan oleh pemerintah untuk menghadapi krisis inefektifitas konsumsi BBM adalah komitmen untuk mau berubah dan meningkatkan efektifitas penggunaan BBM. Komitmen yang harus dibangun diantaranya sebagai berikut:
1.Merealisasikan pembangunan transportasi publik secara masif, meliputi pembangunan Monorel, MRT , dan Busway di kota besar dan pembangunan jalur kereta api di seluruh Indonesia meliputi Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Mobilitas penduduk yang sangat tinggi seperti yang terjadi di Jakarta, setiap hari terdapat 16 ribu orang melakukan mobilisasi menggunakan KRL, jumlah ini belum termasuk orang yang menggunaka Busway , angkot dan kendaraan pribadi lainnya. Selain itu mobilitas antar daerah seperti saat arus mudik berlangsung tercatat 27,9 juta penduduk berpindah di tahun 2014. Angka ini dicatat dari survey yang dilakukan oleh kementrian perhubungan di 12 wilayah yaitu: Sumatera Utara, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Karena itu “komitmen pembangunan transportasi publik yang baik dan Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Transportasi yang berkualitas” akan mendorong masyarakat untuk percaya dan mulai beralih ke transportasi publik ini. Selain mengurangi konsums BBM, kebijakan ini juga akan mengurai kemacetan dan menurunkan polusi kendaraan. Sebuah kebijakan yang memiliki banyak manfaat sekaligus
2.Membatasi jumlah transportasi pribadi, seperti Mobil Pribadi dan sepeda Motor.
Mobil pribadi dan sepeda motor merupakan konsumen BBM bersubsidi terbesar sehingga perlu ada komitmen untuk membatasi jumlahnya. Kebijakan ini dapat diterapkan dengan menaikan pajak kepemilikan kendaraan bermotor bertingkat jika memiliki kendaraan lebih dari satu, menekan produsen kendaraan untuk berubah memproduksi kendaraan ber CC rendah yang hemat BBM, melarang kendaraan pribadi keluaran terkini untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi, membatasi kendaraan pribadi keluaran lama yang beroprasi di jalan raya dan menaikan tarif parkir.
3.Meningkatkan konsusmi BBM di sektor yang memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan rakyat dan daya Saing bangsa, Seperti Industri Pupuk, Industri Perikanan, Industri logam, dan Pembangkit Listrik.
Jangan sampai mereka kekurangan BBM dan Gas sehingga menghambat kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Dalam benak setiap orang mungkin BBM hanya diperuntukan untuk kendaraan saja, ingat juga mengenai industri pupuk iskandar muda di aceh yang mulai kekurangan pasokan gas, dan juga PLN yang kekurangan solar untuk menghidupkan PLTD nya, dan masih banyak lagi kisah mengenai kurangnnya pasokan BBM ke industri strategis lainnya.
Seorang pemimpin yang baik akan memberikan komitmen tinggi berupa solusi dan terobosan terhadap jantung permasalahan. Siapapun pemimpinnya haruslah berorientasi untuk jangka panjang meskipun program yang digalakan membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun atau lewat dari jabatan kepemimpinannya.
Buruknya sistem transportasi public, Program mobil murah, dan industri yang kesulitan mendapatkan BBM menjadi catatan yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah yang sekarang. Kita berharap, semoga kepemerintahan yang sekarang dipimpin oleh Bapak Joko Widodo dan Bapak M.Jusuf Kalla memiliki pemikiran dan terobosan baru dalam menyikapi krisis Inefektifitas konsumsi BBM di Indonesia atau justru tidak ada perubahan dan tetap mempertahankan cara pandang lama di era kepemerintahan sebelumnya dan mengulangi apa yang disebut dengan Dagelan Politik “ Pain Killer”!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H