INDONESIA MERUPAKAN NEGARA HUKUM / RECHTSSTAAT.
Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum (Rechtsstaat), yang mana hal ini tertuang didalam Undang-Undang Dasar 1945, didalam pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa "Indonesia adalah negara hukum", sehingga konsekuensi dari frasa yang termaktub didalam pasal ini mengharuskan dan mewajibkan terciptanya suatu rules of law dan law enforcement yang egaliter. Selain konstitusi kita yang mengamanahkan terwujudnya penegakan hukum dan aturan hukum yang sama / tidak pandang bulu, hal tersebut juga mengakibatkan harus terwujudnya sistem hukum dan cara menjalankan hukum yang sesuai dengan konteksnya. Karena apabila tidak diwujudkan sistem hukum dan cara menjalankannya yang sesuai dengan konteks maka akan terciptanya penyimpangan dan penyelundupan terhadap hukum itu sendiri. Maka dari itu saduran hukum-hukum Indonesia juga disandarkan kepada teori-teori hukum yang hampir seluruhnya berasal dari Eropa dan Amerika. Teori itu sendiri memiliki pengaruh yang cukup besar di bidang hukum, karena teori merupakan gagasan penting yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan. Hal ini disebabkan karena teori dapat memberikan penjelasan dan pemecahan masalah. Dalam masing-masing subbidang yang menyatu membentuk bidang ilmu hukum, teori dapat berfungsi sebagai pedoman praktis yang menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang mendekati topik yang sedang dipelajari.Â
Prof. Lambertus Johannes van Apeeldorn didalam bukunya yang berjudul In Leiding Tot De Studie Van Het Nederlands Recht menjelaskan hukum itu merupakan himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib di dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, namun bila peraturan tersebut dilanggar maka pemerintah akan bertindak. Lebih lanjut Professor Sejarah Hukum dan Dosen Pengantar Ilmu Hukum di Amsterdam dari tahun 1921 itu menegaskan apabila hukum  memanglah alat dan kekuasaan dari Negara sehingga sifatnya Memaksa dan melekat pada sebuah kekuasaan.Â
Namun berbeda pendapat dengan Prof. van Apeeldorn, Menteri Kehakiman Jerman (tahun 1933) yaitu Prof. Gustav Radbruch seakan mematahkan teori baku dari Prof. van Apeeldorn, yaitu Prof. Gustav Radbruch menitik beratkan penegakkan hukum kepada 3 (tiga) teori yaituÂ
1. Kepastian Hukum (Rechtmatigheid),Â
2. Menciptakan Keadilan (Gerechtmatigheid)Â danÂ
3. Kemanfaatan (Doelmatigheid).Â
Keberadaan hukum menurut Profesor madya di Knigsbergs (tahun 1914) itu harus mampu memberikan rasa keadilan, kepastian hukum serta hukum mampu sebagai sarana pengintegrasian kepentingan sosial. Pembentukan hukum harus mampu menjamin kepentingan rakyat dan penegakan hukum harus mampu mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum. Dalam catatan bahan ajarnya yang berjudul Rechtsphilosophische Tagesfragen: Vorlesungsmanuskript, Kiel, Sommersemester beliau berpendapat kepastian hukum merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat fundamental, sedangkan harapan hukum yang adil hanya dapat terpenuhi atas dasar kepastiannya melalui positivisasi hukum, atas pemahaman tersebut maka kepastian dan keadilan merupakan hakikat hukum dalam arti bahwa terselenggaranya hukum secara baik maka hukum positif harus merupakan realisasi dari prinsip-prinsip keadilan yang merupakan dasar tuntutan asasi manusia untuk dipenuhi.
Namun saat ini Indonesia seperti terjebak kedalam suatu 'black hole' yang melemahkan sistem penegakkan hukum, ditambah dengan mental penegak hukumnya yang berada dititik nol terhadap kesadaran membangun sistem hukum yang bersih. Bahkan ditambah ketidakmampuan para pembuat undang-undang untuk segera mengganti produk kolonial yang saat ini masih dilestarikan dan digunakan oleh para segenap aparatur penegak hukum. Masih berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / Wet Van Straftrecht yang diberlakukan berdasarkan pasal 2 aturan peralihan pada tahun 1946 serta Burgeleijk Wet Book / KUH Perdata dan Wet Book Koophandel Voor Indonesie / Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.Â
Kondisi ini diperparah dengan praktik penegakkan hukum yang transaksional serta jauh dari penggunaan norma dan azas (teori hukum) sehingga penerapannya di kehidupan Masyarakat jauh dari rasa adil dan jauh dari harapan segenap Rakyat Indonesia yang sangat merindukan keadilan dan kepastian hukum. Sebagai contoh kasus bisa kita lihat Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 454/Pid.B/2024/PN.Sby dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur yang divonis BEBAS oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo. Putusan tersebut menggemparkan kehidupan Masyarakat Indonesia yang mana Masyarakat menganggap putusan tersebut sarat akan dugaan praktik transaksional dan adanya dugaan suap - menyuap antara para aparatur yang memeriksa perkara tersebut, sehingga terdakwa dapat diputus bebas dari segala dakwaan. Lalu kita juga dihadapkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Cirebon No. 16/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Cirebon dengan terdakwa Saka Tatal yang divonis 8 (delapan) Tahun penjara dengan tidak dipertimbangkannya dugaan kejahatan dalam jabatan yang dilakukan oleh salah satu oknum Kepolisian Republik Indonesia didalam mengejar keterangan / pengakuan dari terdakwa, namun diketahui sekitar tahun tahun 2024 terdakwa itu / Saka Tatal diduga bukanlah pelaku dari apa yang telah divonis oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Penulis berpendapat apabila teori-teori hukum yang sudah dipelajari di pelbagai fakultas hukum digunakan, diaplikasikan dan diterapkan didunia praktik maka hal-hal tersebut diatas mungkin tidak akan terjadi. Karena pada dasarnya kita mempelajari teori hukum difakultas hukum bertujuan agar nanti pada saat kita berpraktik didunia hukum, maka praktik tersebut tidak akan jauh melenceng dari apa yang sudah disepakati oleh pembuat undang-undang (dari aturan mainnya). Maka kembali penulis mengingatkan kepada seluruh elemen masyarakat dan seluruh aparat penegak hukum untuk senantiasa kembali kepada teori-teori hukum, teori-teori keadilan dan norma serta asas yang telah disepakati.Â