Tarif yang Mahal
"Murah kok njaluk slamet", begitu mungkin ungkapan sarkastik yang kadang harus kita telan. Biaya medis dan obat-obatan untuk kesehatan kita ternyata mahal harganya. Padahal pemerintah kita sedang gembar-gembor tentang jaminan kesehatan gratis, semoga bisa terwujud ya? Aamiin. Yang saya coba angkat di sini adalah harga obat atau tarif RS yang "lebih mahal" dari seharusnya. Bisa dengan komparasi pelayanan atau kelengkapan alat-alat yang digunakan maupun harga obat-obatan. Dengan mudah kita bisa browsing segera obat-obatan yang ada di resep dokter dan tahu harganya. Pengalaman kami dan beberapa teman di salah satu RS yang pernah saya kunjungi ketika dibandingkan ternyata harga obatnya lebih mahal dan bukan kebetulan di sebelah RS persis ada sebuah apotik umum.
Jadi yang kami lakukan adalah berobat, bayar dokter kemudian ambil resep dan beli di apotik sebelah. Alih-alih mengevaluasi harga obat-obatan di RS tersebut, pihak manajemen malah menerapkan sistem satu pintu, jadi bayar dokter sama obat jadi satu untuk mencegah pasien kabur ke apotik sebelah. Kami pribadi memilih untuk tidak kabur ke apotik sebelah, tapi kabur tidak periksa ke RS itu lagi #hihi. Padahal di RS tadi ada satu dokter anak yang cukup bagus dan komunikatif. Mengenai birokrasi RS dan mahalnya obat-obatan di RS ini pernah kami diskusikan dengan Bu Dokter tersebut yang bingung juga jawabnya #haha. Kabar terakhir Bu Dokter ikut kabur juga dari RS tersebut. Kemarin sempat menyapa saat ketemu di RS yang kami kunjungi saat periksa mata Si Jagoan Kecil.
Fasilitas yang Minim
Fasilitas di sini bisa saya kategorikan menjadi fasilitas medis dan non medis. Fasilitas medis misalnya peralatan untuk cek dokter maupun lab. Ketika diskusi dengan dokter biasanya kalau perlu kami juga minta uji lab sebagai referensi dan untuk lebih yakin kondisi yang dialami. Hal ini juga mempermudah dokter dalam diagnosa sekaligus bisa jadi bahan diskusi. Fasilitas pendukung medis yang kurang lengkap menjadi salah satu pertimbangan kami untuk pindah ke RS yang lebih komplit. Meskipun kelengkapan sarana penunjang medis juga tergantung dari besar kecilnya tingkat RS.
Fasilitas lain yang masuk kategori non medis misalnya tempat parkir. Dari pengalaman, hampir setiap RS yang pernah kami kunjungi bermasalah dengan tempat parkir. Entah karena saking banyaknya pengunjung atau memang lahan yang terlalu sempit. Pernah pengalaman saat nengokin teman yang lahiran anak, agak shock ketika harus parkir muter-muter naik gedung dengan alur yang sempit dan kapasitas tiap lantai parkir sangat minim. Terlihat tembok di tiap tikungan ada bekas baret-baret kecium bumper mobil #hadeh. Ternyata dari cerita teman yang kami kunjungi, dia memilih parkir di gedung sebelah bukan di RS tersebut meski nginapnya di RS tersebut #loh
Dokter yang Kurang Komunikatif
Pelayanan pelanggan merupakan kekuatan dari RS meskipun fungsi utama yang lebih berperan pada gilirannya adalah tenaga medisnya baik dokter maupun perawat. Ada pengalaman dulu saat si Kakak masih bayi. Kalau bernapas grok...grok seperti pilek. Kita bawa ke dokter anak di RS dekat rumah. Setelah dapat giliran masuk ruangan periksa, dokter langsung cek ini itu trus tulis ini itu juga...kasih resep tanpa babibu... Sudah....
Lha anak saya ini sakit apa? Kami mau diskusi Dok....bukan minta obat trus...selesai. Bisa jadi setelah minum obat sembuh, tapi edukasi buat proteksi selanjutnya bagaimana? Apa memang mesti ke dokter lagi? Dengan bengong dan memang sudah illfil, kita nggak pengen tanya-tanya lagi. Lihat resep trus browsing, ternyata dikasih obat pilek. Yo wis lah....mungkin flu biasa.
Setelah seminggu lebih kok belum ada tanda-tanda sembuh akhirnya kita konsultasi ke dokter ke RS lain. Dokter kali ini berbeda. Diskusi panjang lebar mewarnai sesi cek Si Kakak. Dari hasil diskusi, diagnosa dokter mengarah ke alergi susu sapi. Dan sekali lagi dokter tidak men-judgement langsung, jadi perlu observasi dan bukan dokter yang akan melihat tapi kita sendiri sebagai orang tua yang akan lebih tahu karena terlibat langsung berinteraksi dengan si Kecil. Ternyata orang tua itu lebih hebat lho dari dokter spesialis sekalipun. Itu kata dokter kami tadi.
Dokter Cowboy - Hajar Bleh..
Cerita lain ketika saya masih jomblo, dulu saat awal kerja. Secara history saya punya alergi kulit terhadap lingkungan baru. Hampir sama saat dulu pertama kali kuliah dan kost, kulit tiba-tiba luka sana-sini mengelupas. Singkat cerita datang ke dokter kulit tapi bukan konsultasi kelamin lho ya.. :D
Dengan berapi-api dokter langsung nyerocos. Ini kena serangga. Anak kost ya? Tidur kasur di lantai? Males bersih-bersih? Jarang mandi.?
Meski pernyataan sang dokter banyak benarnya tapi ya jangan gitu donk, kasih kesempatan pasien buat menjelaskan keluhannya. Karena kurang puas dengan sang dokter beberapa hari kemudian coba ke RS lain. Pas dapat giliran masuk ruangan... Ohh.. No.. Ternyata dokternya sama dengan yang kemarin #tutupmuka. Tapi ternyata sang dokter lupa dengan saya karena langsung beraksi sama, bicara panjang lebar..dan sekali lagi sama persis diagnosanya... Serangga..!!
Akhirnya coba pindah lagi ke RS lain. Kali ini lebih hati-hati dan teliti melihat siapa dokternya #kalem. Ketemulah dengan dokter spesialis kulit dan kelamin... Ibu Dokter.. :) Dengan ramah dan sistematis Bu Dokter berdiskusi untuk mendiagnosis penyakit saya. Untuk memperkuat diagnosa disarankan untuk melakukan skin test. Dari hasil diskusi dengan Bu Dokter tadi akhirnya sampai sekarang saya tahu trend yang muncul dan bisa mengantisipasi ketika keluhan datang. Sayang masalah yang mesti di cek Bu Dokter tadi bukan kulit di bagian kelamin yak... #ehh