Mohon tunggu...
HUM
HUM Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sebut saja saya HUM, panggilan inisial yang melekat ketika saya beranjak dewasa. Saat masa anak-anak yang begitu lucunya sampai masa remaja yang sedemikian cerianya, tidak pernah terbersit sekalipun panggilan HUM, tapi yang namanya takdir siapa yang bisa menolaknya kan..?!\r\n\r\nhttp://www.69hum.com\r\n email : hardono.umardani@bicycle4you.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Dok,  Bekerjalah dengan Hati (Refleksi Hari Dokter Indonesia)

26 Oktober 2015   00:05 Diperbarui: 25 November 2015   19:46 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Satu hari setelah keluar ICU (Doc: HUM)"][/caption]

Kemarin pagi saat mengantar si Kecil buat ikut lomba porseni,  di jalan kita sambil mendengarkan radio. Baru tahu kalau tanggal 24 Oktober adalah hari Dokter Indonesia dari sang penyiar. Jadi ingat juga pengen nulis beberapa pengalaman urusan sama dokter dan rumah sakit. Pengalaman bagus atau jelek kira-kira ya? Karena sudah terlalu mainstream kalau kita ngomongin hal jelek di media, saya pilih cerita yang baik saja deh.. :)

Ok deh,  saya mulai ceritanya ya? Seperti intro kisah-kisah inspiratif yang sering dapat dari broadcast message, saya juga kasih catatan bahwa ini adalah KISAH NYATA!! tentu dengan sedikit bumbu biar renyah dan gurih dibacanya. *senyum

Pengalaman awal urusan dokter dan rumah sakit saya alami saat masa kecil dulu. Puskesmas adalah rujukan pertama saat batuk pilek khas anak kecil. Satu hal yang membuat saya senang kalau diajak ke Puskesmas adalah karena ada penjual mainan dan kue yang digendong simbok-simbok penjual, pulang langsung main..sembuh deh.

Baru kalau agak lama nggak sembuh juga biasanya Ibu akan bawa ke dokter anak kota. Yup.. Dokter anak-anak di kota yang membuat saya kecil saat itu mengenal istilah MAMA untuk memanggil ke Ibu dan itu yang saya kecil selalu terapkan saat kunjungan ke dokter kota. Biar tidak kalah gaul sama anak yang lain. Geli juga kalau mengingatnya :D

Lompat ke masa sekarang. Punya tiga krucil tentunya sudah banyak pengalaman ketemu dokter dan berkunjung ke rumah sakit, tentunya bukan urusan sakit saja. Kami, saya dan istri punya pandangan yang sama bahwa pergi ke dokter atau rumah sakit bukan hanya untuk mencapai tujuan segera sembuh tapi juga sebagai ajang kita berdiskusi dengan dokter untuk menambah pemahaman tentang kesehatan anak dan keluarga. Cukup banyak RS dengan dokter spesialis handal di dekat rumah yang sudah pernah kita datangi sebagai bahan komparasi dalam hal pelayanan dan juga kompetensi sang dokter. Dari berbagai macam pertimbangan akhirnya kita ketemu dengan dokter dan RS yang sreg di hati.  Ya..bukan yang paling dekat rumah atau yang paling megah gedungnya,  tapi yang menurut kita bekerja dengan HATI .

Sebagai seorang ayah dari tiga krucil, pengalaman sebagai suami siaga tentunya sudah di luar kepala. Dokter kandungan selama masa kehamilan ketiganya kami percayakan pada satu orang dokter, meski tidak saat melahirkan. Lho kok? Kenapa bisa?

Dokter kandungan kami ini sudah cukup senior. Meski di usia yang sudah tidak lagi muda, semangat dan stamina ibu dokter ini nomor satu. Pasien yang banyak  tidak membuat beliau asal cek pasien biar cepat selesai. Diskusi enak tentang kondisi pasien diselingi obrolan ringan tentang berbagai hal yang bahkan tidak berhubungan dengan medis membuat prosesi berjalan santai dan close to personal.

Sampai dengan jam berapa maksimal Anda berkunjung ke dokter kandungan untuk cek berkala kondisi janin? Jam 9 malam? Atau 10 malam? Itu masih sore menurut dokter kandungan kami. Sebagai pasien terakhir pulang bareng jam 1:30 dini hari adalah rekor kami, bahkan ada pasangan temen kita yang cerita pernah rela menunggu sampai jam tiga pagi. Lanjut makan sahur deh..

Sayangnya pada lahiran anak pertama kami tanpa pertolongan sang dokter, soalnya terlanjur lahir di mobil pas jalan ke RS..upss.. Bisa dibayangkan paniknya seorang calon ayah di mobil melihat sang istri melahirkan, ditambah lagi didampingi ibu mertua, sungguh terintimidasi. Tapi ternyata tidak sepanik yang pemirsa bayangkan,  karena saya masih sempat mandi saat istri pecah ketuban dan cukup tenang ketika harus belok ke RS terdekat nyelonong ke IGD dengan membawa seorang ibu hamil, yang sudah kempes,  dan bayi mungil dengan ari-ari masih melilit yang membuat suster IGD langsung panik seketika.

Anak kedua meski tidak seheboh kakaknya saat lahiran,  ternyata lewat juga dari penanganan dokter tadi. Ceritanya saat kunjungan rutin 2 minggu sebelum HPL sang dokter bilang bahwa minggu depan dia ada acara reuni di luar kota sehingga mau cuti,  tapi kita tetap bisa cek kondisi janin karena ada dokter pengganti dan tidak perlu khawatir karena HPL masih 2 minggu lagi.  Tapi takdir berkata lain,  sang jabang bayi memaksa menghirup udara luar saat sang dokter cuti.

Tidak mau kecolongan lagi saat lahiran anak ketiga,  sang dokter mengatur strategi dan mewanti-wanti kami untuk kontak beliau kapan pun saat tanda awal lahir terasa, mengingat lahiran istri begitu cepat dan mudah merocotnya sang jabang bayi. Dan malam itu,  lebih tepatnya dini hari, saat kami menikmati week end dengan menonton film Dare Devil,  jam 2 dini hari tiba-tiba si Kecil dalam perut menendang dengan keras dan ketuban pun pecah. Panik? Tentu tidak. Kami masih ingat ketika dokter bilang bahwa salah satu kunci adalah don't panic.  Meski ketuban pecah,  kita masih bisa dengan tenang jalan ke Bandung,  begitu becandaan dokter untuk menjelaskan bahwa bayi masih cukup waktu dan nutrisi meski ketuban pecah asal tidak ekstrim kondisinya.

Singkat cerita kita sampai RS setengah jam kemudian dan langsung masuk ruang bersalin. Suster dengan sigap segera kontak bu dokter. Ternyata HP tidak aktif. Duh..gimana donk, bisa-bisa terlewat lagi ni bu dokter. Kemudian kita ingat dokter pernah bilang kalau tidak bisa hubungi nomornya bisa telpon ke nomor suaminya apalagi saat malam hari karena selalu di sampingnya, so sweet ya? Dan benar saja, telpon langsung diangkat. Tidak mau menjadi keledai yang terperosok ke lubang yang sama dengan melewatkan lagi kelahiran anak ketiga kami,  setengah jam kemudian bu dokter sudah muncul di ruang bersalin. 

Rumah yang lumayan jauh di Pondok Gede terbantu dengan kondisi lalu-lintas yang lancar di malam hari. Jam kerja dokter memang harus siap 24 jam. Tidak heran makanya ketika postingan photo dokter yang tertidur di meja kerja bukannya dapat cacian tapi malahan mendapat banyak komentar simpati karena sadar dan tahu bagaimana kerjaan seorang dokter. Akhirnya jam 05:10 pagi,  sosok mungil dengan mata sipit muncul disambut mentari pagi yang tersenyum cerah dengan pertolongan sang dokter.

Si kecil ini juga yang sempat membuat ketar-ketir karena musti masuk ICU saat usia masih berusia 8 bulan. Di sini juga sekali lagi kami bertemu dengan perawat-perawat yang bekerja dengan hati. Bisa dibayangkan ketika seorang bayi 8 bulan penuh selang infus di kedua tangan dan kaki. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) yang parah membuat kompartemen sindrom,  pembengkakan di lengan kanan kiri karena pendarahan keluar dari pembuluh darah mengisi jaringan. Selang dari hidung terpasang untuk menyedot pendarahan di dalam perut. Tidak tega rasanya melihatnya,  bahkan terpikir lebih baik saya yang merasakannya. Tapi si Kecil ternyata sangat tangguh.  Lidah mungil berulang kali menjulur membasahi bibir yang pecah-pecah akibat harus berpuasa. Terharu rasanya ketika melihat suster dengan sabar membasahi bibir mungil itu.

Meski ketika masuk ICU dokter yang menangani ganti,  dokter anak kami ternyata tidak lepas tangan . Setiap malam dokter cek ke ICU dan menyempatkan untuk diskusi dengan kami. Setiap perkembangan naik turun dari si kecil selalu update. Akhirnya setelah 8 hari di ICU, sebuah keajaiban atas pertolongan Yang Maha Kuasa si kecil dinyatakan stabil dan boleh pindah ke ruang perawatan biasa.  Sekali lagi rasa gembira bercampur haru ketika suster bergantian berphoto selfie bareng si kecil yang tertawa ceria.

Kisah di atas sebagian besar mengambil setting di RS terkenal di tempat kami,  yaitu RS Siloam Hospital. Kisah lain tentang RS ini bisa dibaca di Cara Rumah Sakit Siloam Tangani Pasien BPJS. Tulisan tentang BPJS di RS ini mempertemukan kami dengan Direksi RS Siloam Hospital,  yang sekali lagi menunjukkan kepedulian dan bekerja dengan hati. Berawal dari sebuah curhat yang ditorehkan ke tulisandi Kompasiana, ternyata dibaca langsung oleh Direksi RS Siloam.

Undangan ramah tamah di ruang VIP RS menjadi sebuah diskusi yang menarik. Tidak berhenti sampai di situ, ketika sebuah email masuk.  Orang di email memperkenalkan diri dari sebuah konsultan yang sedang melakukan survey untuk RS di Asia. Orang tersebut membaca tulisan saya di Kompasiana dan tertarik sehingga menghubungi.  Singkat cerita saya diminta sebagai salah satu narasumber dan sebagai ucapan terimakasih diminta mengirim nomor rekening. Alhamdulillah :)

Pernah baca entah dimana saya lupa yang intinya bahwa segala macam penyakit bersumber dari hati. Jadi, temukanlah RS dengan dokter  dan perawat yang bekerja dengan HATI , niscaya akan sirna segala macam penyakit di muka bumi ini.  Aamiin...

Salam,
HUM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun