Mohon tunggu...
HUM
HUM Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sebut saja saya HUM, panggilan inisial yang melekat ketika saya beranjak dewasa. Saat masa anak-anak yang begitu lucunya sampai masa remaja yang sedemikian cerianya, tidak pernah terbersit sekalipun panggilan HUM, tapi yang namanya takdir siapa yang bisa menolaknya kan..?!\r\n\r\nhttp://www.69hum.com\r\n email : hardono.umardani@bicycle4you.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

SARA Sebagai Kendaraan Politik Jokowi-Ahok(?)

7 Agustus 2012   06:57 Diperbarui: 5 November 2015   21:46 2767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13443219202006706410

[caption id="attachment_191810" align="aligncenter" width="502" caption="SARA (pic: Joko Luwarso - matanews.com - rep. coopasberita.blogspot.com)"][/caption]

Menyimak kasus issue SARA yang menyeret Bang Rhoma Irama membuat saya teringat pada berita ini "100 Persen Warga Tionghoa Pilih Jokowi-Ahok". Menyoal issue SARA memang susah dipisahkan dalam dunia perpolitikan di tanah air. Issue yang masih panas saat ini kebetulan mengenai pilgub DKI yang harus melanjutkan ke putaran kedua.

Tulisan saya sebelumnya Jokowi-Ahok “Orang-orangan Sawah dan Si Chucky” sempat memprediksikan bahwa issue SARA bakal sangat mudah dihembuskan untuk kubu Jokowi-Ahok yang bukan kebetulan kalau Ahok dilahirkan dari etnis Tionghoa. Bang Haji pun membantah bahwa melemparkan issue SARA dengan argumen bahwa itu merupakan bagian dari dakwah, yang "kebetulan" di"dakwah"kan dalam suasana panas menjelang putaran kedua pilgub.

Kalau menilik kembali isi berita yang menyatakan bahwa hasil exit poll yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan 100 persen warga Tionghoa Jakarta menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok, dari kacamata saya yang lagi-lagi awam politik, hal ini malah menunjukkan sikap SARA dari para pemilih tadi. Kalau memang benar bahwa 100% etnis Tionghoa memilih Jokowi-Ahok pada putaran pertama, maka bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa ada unsur SARA di dalamnya. Suku dan Ras tentunya yang membuat 100% etnis Tionghoa memilih pasangan ini dengan sosok Ahok sebagai etnis yang sama dengan mereka. Pemilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi terlihat merupakan unsur SARA yang dimasukkan ke dalamnya.

Memang dalam kultur masyarakat kita yang cukup heterogen baik dari sisi suku, agama maupun ras, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan di dalamnya. Dan untuk pencapaian tujuan politik, SARA bisa jadi dua sisi yang bertolak belakang, bisa positif maupun negatif terhadap tujuan issue yang dilontarkan. Pemilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi merupakan unsur SARA yang "menguntungkan" untuk pilgub DKI, di mana cukup banyak potensi pemilih aktif dari kalangan bisnis yang berasal dari etnis Tionghoa. Jokowi yang berasal dari suku Jawa juga merupakan komoditas SARA yang cukup potensial mengambil suara dari para banyak pendatang dari Jawa yang menetap di Ibukota. Kubu Foke pun sebenarnya tidak kalah seru dalam menghembuskan issue SARA positif untuk menggaet pemilih dari Betawi.

Jauh sebelum hiruk pikuk pilgub DKI, issue bahwa Presiden harus lah dari suku Jawa sudah sering kita dengar. Ketidakmerataan pembangunan dan pengembangan pendidikan yang pada gilirannya berpengaruh kepada kualitas SDM lah yang mendorong terjadinya kesenjangan intelektualitas sumber daya manusia di Jawa dan luar Jawa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa lebih banyak orang pintar dari Jawa dibanding luar Jawa dari sisi akademis dengan melihat kenyataan tadi. Tapi tentunya tidak cukup hanya dengan kepandaian intelektual saja untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang amanah bagi rakyat. Sebagai pemilih pun kita jangan sampai terjebak dengan nuansa SARA tadi secara harfiah. Etnis Tionghoa yang 100% memilih pasangan Jokowi-Ahok bisa jadi banyak dari mereka yang "asal milih" karena satu etnis tanpa mengetahui sebenarnya program-program apa yang diusung pasangan ini.

Dakwah yang dilontarkan Bang Haji untuk memilih pemimpin seiman pun tidak ada yang salah, yang menjadi salah kemudian ketika pemimpin yang kita pilih seiman tapi ternyata menyalah gunakan amanah yang diberikan dengan melakukan korupsi atau pun penyalahgunaan wewenang lainnya.

Politik di tanah air susah untuk tidak mengandung unsur SARA di dalamnya. Jadi sebenarnya issue SARA bisa digunakan sebagai sarana politik yang positif bagi politikus di tanah air. Cobalah para politisi di tanah air ini untuk membuktikan bahwa tidak salah memilih pemimpin seiman yang jadi calon saat ini karena jaminan akan memegang amanah yang diberikan kepadanya. Atau pun tidak salah memilih pasangan dari salah satu etnis karena program kerjanya yang bagus dan memang bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya. So..say YES or NO to SARA..?

 

Salam,

HUM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun