Signore Umberto merupakan pemilik apartemen tempat kami menginap di Roma. Dia mempunyai beberapa kamar pada satu lantai dan menyewakannya pada wisatawan. Mempunyai satu lantai apartemen di tengah kota Roma tentu dia bukan orang biasa, tetapi dia mengelola bisnisnya sendiri.Â
Dalam melayani kami, dia berlaku tak ubahnya pegawai hotel, bahkan salah satu yang terhangat dan teramah. Dia menjelaskan beberapa aturan di hotel, fungsi peralatan di kamar, fasilitas apartemen yang dapat kami manfaatkan, bahkan tentang destinasi wisata di Roma. Tutur kata dan sikapnya yang merefleksikan penghargaan dan penghormatan sangat berkesan di hati kami. Apalagi setelah dia mengatakan, kalau ada apa-apa, dimana saja dan kapan saja, silahkan hubungi dia. Tiba-tiba kami merasa mempunyai saudara di Roma.
Pagi ini udara cerah, tetapi tetap dibutuhkan sweater untuk menangkal rasa dingin. Kami langkahkan kaki perlahan menuju Colloseum sambil menikmati udara segar Roma.Â
Setelah menapaki jalan kecil, sebagaimana arahan yang diberi pak Umberto semalam, kami bertemu jalan besar, yang dari sana hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai di Colloseum. Suasana tidak ramai begitu ramai di minggu pagi itu. Tidak lama melangkah, bangunan yang kami tuju telah nampak. Betul kata pak Umberto, hanya butuh waktu kurang dari 15 menit saja kami telah tiba di Colloseum.
Bangunan monumental ini tampak telah rapuh termakan usia, tetapi 'hawa' keangkerannya tetap terasa. Bagaimana tidak, entah berapa ribu manusia dan binatang meregang nyawa di tempat ini. Dari perspektif manusia modern, mengadu manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, bahkan hewan dengan hewan, merupakan perilaku yang tidak beradab. Akan tetapi, apakah demikian perspektif manusia yang hidup dalam budaya Romawi di waktu itu?Â
Colloseum ini dirancang untuk menampung 50 ribu orang penonton, berarti banyak masyarakat yang ikut menyaksikan pertunjukan yang dianggap masyarakat moderen tidak berprikemanusiaan itu. Jangan-jangan di saat itu, pertarungan gladiator merupakan pertunjukan yang lazim. Sama halnya dengan suku Maya yang mengorbankan manusia untuk Dewa mereka. Bagi masyarakat modern pasti dianggap perbuatan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, tetapi bagi mereka sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Melihat manusia modern yang tidak dapat menerima pembunuhan sebagai bagian dari budaya, menunjukkan bahwa secara perlahan-lahan, dari satu generasi ke generasi berikutnya, manusia semakin mengarah pada hati nuraninya. Dalam diri setiap manusia tersimpan cahaya kasih sayang, simpati dan empati. Nurani manusia penuh dorongan untuk menolong, dan hasrat menggapai kedamaian.
Sekalipun demikian, tidak sedikit manusia yang menutup bahkan menghancurkan hati nuraninya sendiri. Bangga menyakiti orang lain dan menyebarkan kebencian di mana-mana. Mereka sesungguhnya telah menjual hati nurani mereka dengan harga yang murah. Lebih mengerikan lagi, sejarah mencatat bahwa di dunia pernah hadir manusia-manusia yang mampu membantai manusia dengan jumlah yang tidak terhitung banyaknya. Kalau sekedar mendapat kekuasaan, kenapa harus mengorbankan ribuan bahkan jutaan nyawa manusia?
 Mungkin ada yang berbeda di otak mereka, sehingga dia hidup dengan 'budaya' pribadinya. Mahluk seperti itu hingga hari ini masih ada. Makanya perebutan kekuasaan berdarah dan perang masih terus berlangsung.
Colloseum dipandang masyarakat moderen sebagai tempat pembantaian manusia. Oleh karena itu, Colloseum tidak dapat diterima oleh budaya masyarakat moderen. Kenyataannya, masyarakat moderen juga menyaksikan pembantaian manusia di berbagai penjuru dunia. Ini artinya, masyarakat moderen tidak dapat menerima Colloseum di Roma, tetapi membuat banyak 'Colloseum' di berbagai tempat di dunia ini. Jadi, apakah budaya kita memang berbeda dengan budaya Romawi kuno? Atau hati nurani akan selalu kalah dari kekerasan?