Pendemi Covid-19 yang melanda berbagai penjuru dunia telah membuat sengsara banyak orang. Dunia seakan diselimuti kecemasan, rasa was-was dan ketakutan.Â
Setiap hari terdengar kabar mengenai kedukaan keluarga yang kehilangan orang-orang yang dicintai, kesedihan para pekerja yang kehilangan mata pencaharian, dan kepedihan orang yang kesulitan untuk mencari sesuap nasi.Â
Pada skala lebih ringan, terdengar juga berita kegundahan manusia yang harus menahan nalurinya untuk bersosialisasi, kegalauan manusia yang harus melawan keinginannya untuk melakukan berbagai aktivitas, dan keresahan manusia yang harus berjuang mengatasi kejenuhan di rumah. Dampak pandemi ini memang terasa melemahkan berbagai aspek kehidupan, baik secara individual maupun kolektif.
Pandemi ini bisa diakhiri dengan sebuah perjuangan bersama-sama. Kaki para traveler pasti sudah sangat amat 'gatal-gatal' untuk melangkah ke suatu tempat. Tapi apa daya, hari-hari ini hampir mustahil untuk bepergian, baik di dalam negeri apalagi ke luar negeri.Â
Perjalanan dalam kota masih mungkin dilakukan, tetapi traveler pasti paham bahwa manusia yang paling bermafaat saat ini adalah manusia yang di rumah saja, kecuali memang ada tugas yang tidak dapat ditinggalkan.Â
Traveler adalah pembawa kebaikan dan penyebar manfaat, sehingga tentu akan memilih di rumah saja. Selagi berada di rumah, mungkin traveler mempunyai waktu luang yang lebih banyak. Waktu ini dapat dimanfaatkan untuk memberi kesejukan bagi masyarakat, dengan melahirkan karya-karya tulis yang dipublikasi di berbagai media.
Apakah tepat, menulis kisah yang sarat dengan kesenangan di saat orang-orang sedang kesusahan? Jika kita bergembira di tengah tangisan orang lain tentu merupakan perbuatan yang buruk, tetapi menghibur orang yang berduka merupakan perbuatan yang baik.Â
Jadi, perspektifnya yang harus dijaga, dan cara menyajikannya yang harus tepat. Tidak dapat dipungkiri bahwa traveling memang penuh dengan kesenangan, dan memang ditujukan untuk mencari kesenangan. Walau harus mendaki gunung bersalju, menjelajahi hutan belantara, atau mengarungi sungai berarus deras, diakhir perjuangan sebuah kesenangan menanti.Â
Oleh karena traveler dipandang sebagai 'pencari kesenangan' semata, maka sebagian orang memandang 'miring' kegiatan ini, karena dianggap sebagai perilaku menghabur-hamburkan uang, sarana untuk pamer, dan terkadang dikatakan sebagai sebuah kesombongan. Kalau pandangan ini sudah melekat, maka tulisan para travel juga akan dinilai sama.
Salah satu penyebab kesalahan dalam menilai aktivitas seseorang atau sekelompok orang adalah ketidaktahuan yang memberi penilaian. Ahli ekonomi tidak akan mengetahui banyak nilai seni Patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, dan seorang ahli biologi tidak akan tahu banyak nilai kemegahan Piramid di Mesir.Â
Makanya traveler tidak perlu baper kalau ada orang yang berpandangan negatif terhadap kegiatan traveling, sebab kita tidak bisa menyumpal mulut semua orang.Â