Mohon tunggu...
Hardi Anugrah Santoso
Hardi Anugrah Santoso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UMAHA

Jurnalist

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaturan Kehidupan Masyarakat Adat Suku Bawean dalam Filsafat Hukum

19 April 2024   19:51 Diperbarui: 19 April 2024   20:13 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Bawean merupakan sebuah pulau yang dihuni oleh Suku Bawean. Suku ini berasal dari beberapa komunitas di luar Pulau Bawean dimana masyarakat luar Pulau Bawean dahulu berpindah ke Pulau Bawean. Diantaranya, suku Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis, dan Makassar telah hidup di Pulau Bawean selama ratusan tahun. Pulau Bawean terletak di Laut Jawa di antara dua pulau besar yaitu Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Suku Bawean sendiri mempunyai norma-norma yang mendukung nilai-nilai kekeluargaan. seperti gotong royong dalam kesenian tradisional, toleransi Pencak Bawean, menghargai orang asing, solidaritas budaya perantauan. Selain itu Pulau Bawean juga mempunyai keindahan alam yang indah dan murni. Meskipun hal ini secara universal belum populer.

Suku Bawean atau dikenal juga dengan sebutan Boyan atau Bhebien merupakan salah satu suku di Pulau Bawean yang menjadi tempat tinggal masyarakat Bawean. Dimana masyarakat Bawean mempunyai ciri khas yang unik. Ini termasuk:

  • Suku Bawean merupakan miniatur Indonesia (dikelompokkan menjadi satu suku tersendiri, namun multietnik atau bisa dikatakan terdiri dari beberapa suku yaitu suku Jawa, Madura, Bugis, dan Palembang).
  • Hobinya adalah migrasi (Orang Bawean identik dengan migrasi. Salah satu faktor pendukung migrasi adalah pencarian penghidupan yang layak, dan bagi orang Bawean sendiri, generasi muda belum dianggap dewasa jika belum merantau).
  • Penduduk perempuan lebih dominan (karena laki-laki didorong untuk berpindah, otomatis penduduk yang tinggal di Pulau Bawean adalah perempuan, itulah sebabnya banyaknya perempuan yang tinggal di pulau tersebut memberi nama Pulau Bawean Pulau Puteri).
  • Bawean sering dikatakan mirip dengan bahasa Madura (kalau sekilas mendengar orang Bawean berbicara, tutur katanya mirip Madura, namun sebenarnya mereka mempunyai bahasa Bawean sendiri. Memang ada kemiripan, sehingga orang mengira bahasanya Madura).
  • Jarang melepas kunci sepeda motor (jika berkunjung ke Pulau Bawean, sepeda motor diparkir disana dengan kunci masih menempel di sepeda motor, karena masyarakat Bawean tidak memperdulikan kunci sepeda motor yang tertinggal di sepeda motor. Hal ini disebabkan jarangnya kejadian pencurian dan mereka menganggap Pulau Bawean tempat yang aman).
  • Wanita suka memakai perhiasan (Kebanyakan wanita Bawean menghiasi dirinya dengan memakai perhiasan emas yang biasanya dibeli dari luar negeri. Masyarakat Bawean mengagumi perhiasan luar negeri karena kualitasnya lebih baik dari yang lain. Uniknya lagi, memakai emas menjadi tanda bahwa keluarga mereka termasuk keluarga sukses di luar negeri).

Norma-norma yang menjadi aturan yang dipegang teguh dalam masyarakat Bawean terlihat dari seberapa besar komitmen mereka terhadap tradisi yang mereka kembangkan sebagai berikut:

  • Gotong royong dalam kesenian tradisional (seperti tradisi amaen pengantin, gotong royong jika ada keluarga atau kerabat yang sedang punya hajatan).
  • Sikap toleransi pencak bawean (Menurut tradisi Pencak Bawean, ketika pertandingan sedang berlangsung, pihak yang menang tidak memandang rendah pihak yang kalah, sedangkan pihak yang kalah mengakui kekuatan lawannya. Hal ini merupakan tatanan sosial yang terjalin untuk menjaga keharmonisan.
  • Menghormati tamu (keyakinan mereka bahwa tamu adalah orang yang pantas dihormati. Jadi, ketika ada tamu, masyarakat Bawean memperlakukannya dengan hormat dengan menawarkan makanan dan minuman yang pantas untuk disajikan).
  • Solidaritas dalam budaya perantauan (jika suatu keluarga merantau di luar negeri maka disana ditampung dalam satu wadah suku bawean, sehingga sudah mempunyai tempat tinggal dan rumah tangga, seperti dalam kehidupan masyarakat Bawean).

Pada masa pemerintahan Inggris, Pulau Bawean menjadi anak perusahaan Surabaya dan digabungkan dengan Divisi Gresik di bawah seorang direktur. Kemudian diubah menjadi Kawedanani antara tahun 1920 hingga 1965. Pada tahun 1965, pulau ini diperintah oleh dua camat bawahan penguasa Surabaya yang bernama Vredenbergt. Baru pada tahun 1974 Pulau Bawean digabung dengan Kabupaten Gresik. Masyarakat Pulau Bawean sebagian besar adalah pendatang. Suku bangsa yang banyak menjadi identitas masyarakat Baweaan adalah suku Bugis, suku Jawa, Madura, dan suku palembang. Keindahan pulau ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar Bawean. Jumlah penduduk Pulau Bawean semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun, jumlah penduduk yang tinggal di pulau tersebut tetap tidak berubah karena banyaknya orang yang pindah ke luar daerah tersebut.

Norma hukum suku Bawean menyangkut pembagian harta warisan kepada ahli waris. Sistem pewarisan masyarakat suku Bawean pada umumnya mempunyai dua pilihan, yaitu pembagian secara merata (du'um kupat) atau (waris mayyit), yaitu warisan orang tua yang berupa rumah, yang dialihkan kepada ahli waris yang merawat orang tuanya sampai kematiannya. Warisan ini biasanya diberikan kepada anak bungsu (perempuan). Hal ini tentu saja bertentangan dengan hukum Islam yang menyatakan bahwa anak laki-laki mendapat bagian warisan yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Namun permasalahan ini biasanya diputuskan berdasarkan kesepakatan keluarga untuk mencapai keuntungan bersama.

Dalam praktiknya, warisan di Bawean biasanya dibagi berdasarkan kesepakatan antara anak sulung dan orang tuanya, yang harus dibagi rata atau tidak. Apabila anak menyetujui pembagian tersebut, maka harta warisan itu dibagi dengan cara mengumpulkan seluruh sanak saudara yang berhak mendapat harta warisan itu menurut adat, yang sebenarnya patut dipertanyakan dalam persoalan hukum waris Islam. Oleh karena itu, beberapa tokoh masyarakat Bawean menyarankan agar kelebihan bagian anak perempuan dihitung sebagai sedekah, bukan bagian anak laki-laki. Karena tidak bertentangan dengan hukum waris Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun