Kesejahteraan petani harus menjadi perhatian serius jika ingin mencapai kedaulatan pangan. Harapan tentang hasil yang akan didapat pasti menjadi dorongan tersendiri untuk merawat tanamannya sebaik mungkin. Sebaliknya, harga yang turun akan menyulitkan petani untuk modal produksi periode berikutnya. Jangankan untuk membeli pupuk, untuk keperluan sehari-hari saja sulit terpenuhi.Â
Jika dibiarkan terus-menerus, hal ini akan berdampak pada regenerasi petani. Perlu tangan-tangan anak muda terampil yang memiliki pengetahuan dan inovasi untuk meningkatkan sektor pertanian. Akan tetapi, jika masih saja prospek ke depannya kurang baik, siapa yang akan tertarik? Bertani karena memilih menjadi petani berbeda dengan menjadi petani karena tidak ada pilihan lain.
Cadangan Beras Pemerintah (CBP) idealnya berkisar antara 1 juta ton hingga 1,5 juta ton. Hingga akhir Februari, stok CBP Bulog mencapai hampir 1 juta ton. Jika khawatir dengan cadangan beras dalam negeri, Bulog dapat menyerap beras secara optimal dari petani. Bukankah lebih baik menyejahterakan petani negeri kita sendiri daripada petani dari negeri lain? Tentu saja dengan lebih memperhatikan distribusi dan proses penyimpanannya.
Solusi dari polemik ini adalah kaji ulang kebijakan impor beras. Baru sebatas informasi akan ada impor sudah membuat harga gabah turun. Apalagi jika impor benar dilaksanakan pada saat panen raya.
Keputusan perlu atau tidaknya impor akan lebih pas jika sudah mengevaluasi data pada Juli hingga Agustus. Panen raya sudah berakhir dan ketersediaan pangan bisa dilihat. Mudah-mudahan saja hasilnya tetap tidak perlu impor. Jika hal itu terjadi, rasanya mewujudkan kedaulatan pangan dan petani berjaya bukan lagi sekedar angan.
Bandar Lampung, 20 Maret 2021
Sudah dimuat di media online Infra Merah pada tanggal 24 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H