Dikutip dari harian Lampung Post (9/3), Asosiasi Petani dari Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan impor beras. Bukan tanpa alasan permintaan ini, kebijakan impor di awal tahun yang bersamaan dengan masa panen raya tentu perlu dikaji ulang.
Sebelum memutuskan impor, sebenarnya ada tiga indikator yang perlu diperhatikan, yakni produksi beras di dalam negeri tidak mencukupi, stok beras di Badan Urusan Logistik (Bulog) masih kurang, dan harga di pasaran mengalami kenaikan. Jika dua saja dari indikator tersebut terpenuhi, kebijakan impor sudah sewajarnya dilakukan. Semua pihak akan memahami dan tidak menimbulkan perdebatan, tetapi apakah kondisi di lapangan memenuhi kriteria tersebut?
Selama ini, keputusan impor beras selalu menjadi polemik salah satunya karena data yang digunakan. Pengembangan metode Kerangka Sampel Area (KSA) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa lembaga lain telah mampu menjawab permasalahan ini dari sisi produksi. Keakuratan untuk menghitung produksi dan memperkirakan potensi panen sudah bisa digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan.
Berdasarkan data BPS, produksi Gabah Kering Giling (GKG) nasional tahun 2020 Â sebanyak 54,65 juta ton, mengalami kenaikan sebesar 45,17 ribu ton (0,08 persen) jika dibandingkan dengan produksi tahun 2019. Sedangkan untuk potensi produksi gabah pada Januari--April sebanyak 25,37 juta ton lebih tinggi 26,88 persen dibandingkan tahun lalu.Â
Provinsi Lampung sendiri masuk sebagai sepuluh besar produksi padi nasional. Tahun 2020 produksi mencapai 2,65 juta ton GKG, naik 486,20 ribu ton atau sebesar 22,47 persen. Â Sedangkan potensi produksi Januari--April 1,36 juta ton GKG, naik 61,57 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Keberhasilan ini tentu menjadi berita baik untuk Indonesia di masa pandemi ini. Kerja keras petani dan peran pemerintah untuk mendukung kedaulatan pangan mulai menunjukkan hasil. Namun, apakah para petani menikmati keberhasilan ini?
Mulai dari Maret hingga Mei 2021 petani padi memasuki masa panen raya. Saat itu produksi mencapai puncaknya. Sebagaimana hukum pasar, melimpahnya ketersediaan membuat harga turun. Jika melihat data tahun lalu, harga gabah di masa penen raya ada dibawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Â yang ditetapkan pemerintah dengan peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 tahun 2020. Contohnya, pada bulan Mei 2020 harga gabah di salah satu kecamatan di Provinsi Lampung hanya Rp3.700 per kilogram jauh dibawah HPP yaitu sebesar Rp4.200 per kilogram.
Secara nasional, pada Februari 2021 rata-rata harga Gabah Kering Penen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.758 sudah menunjukkan penurunan 3,31 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya. Harga terendah ada di Provinsi Sulawesi Utara yang hanya Rp3.450. Berkaca dari tahun sebelumnya, bukan tidak mungkin harga akan kembali turun di bulan-bulan mendatang selama panen raya.Â
Penurunan harga tentu berdampak langsung pada tingkat kesejahteraan petani. Indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan petani akan tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP). NTP lebih besar dari 100 dapat dimaknai pendapatan petani lebih besar dari pengeluarannya. Sebaliknya, jika kurang dari 100, pendapatan petani lebih kecil dari pengeluarannya.Â
Secara nasional, NTP tanaman pangan pada Februari sebesar 99,21, mengalami penurunan sebanyak 0,84 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan Provinsi Lampung mengalami kenaikan 0,06 persen menjadi 93,30. Walaupun naik, tapi masih jauh dari 100. Artinya, petani belum sejahtera.
Petani adalah pejuang pangan yang sepatutnya diapresiasi. Tetesan peluh dan kelelahan saat di sawah akan terbayar saat harga gabah di pasaran sesuai harapan. Faktanya, panen raya selalu dihadapkan pada harga yang rendah.