Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cik Asma dan Tiga Tarian Hujan Miliknya || Cerpen Dian Chandra

24 September 2023   20:50 Diperbarui: 24 September 2023   22:44 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CIK ASMA DAN TIGA TARIAN HUJAN MILIKNYA

Entah siapa nama lengkapnya, tetapi orang-orang memanggilnya dengan sebutan Cik Asma. Ia gemar duduk-duduk di emperan toko, sembari menunggu hujan turun. Kadang-kadang, ia berkeliling desa. Sendirian saja dengan bertelanjang kaki. Kadang-kadang pula, ia hanya berdiri berjam-jam menatap air bandar yang tak pernah bening.

Ahh, aku ingat saat-saat pertama kali bertemu dengannya. Saat itu pagi-pagi, mendadak hujan turun sangat deras. Padahal aku sedang dalam perjalanan menuju MTsN 2 Situbondo, tempatku mengajar. Lekas kutepikan motorku ke dekat toko kelontong. Huh! Tak biasa-biasanya aku lupa membawa jas hujan. Astaga.

Setelah mendapatkan tempat berteduh, mataku liar mencari-cari apa saja yang kuanggap menarik. Salah satunya perempuan paruh baya yang pelan-pelan mendaratkan kakinya pada linangan air di trotoar jalan. Kakinya lincah menari-nari. Meski kuyup tubuhnya, sedang payudaranya kulihat mulai menerawang.

Ahh, perempuan ini sudah gila kah? Ia sungguh-sungguh tak peduli dengan tajamnya cipratan hujan. Ia terus saja menari dengan gemulai, dengan tanpa keraguan sedikit pun.

Tak hanya aku yang melihatnya, ada puluhan pasang mata yang turut berteduh melihatnya dengan berbagai macam ekspresi wajah. Entah khasian, entah bodo amat, entah tak suka, entah malah meminati tarian hujan yang ia bawakan dengan sungguh-sungguh.

Sesekali sambil melihat-lihat gawai, aku mencuri-curi pandang kepadanya. Kuhitung, ia telah membawakan tiga tarian berbeda yang sangat asing bagiku. Namun, entah mengapa tarian itu begitu memukau. Seakan-akan sebagai pelengkap dalam suasana yang dingin dan minim percakapan ini.

Aku menggeliat, mataku mulai melirik ke kiri dan ke kanan. Bak penari Bali. Namun, lekas-lekas kukontrol diri. Berharap hujan segera berhenti dan aku segera bertemu dengan murid-muridku.

"Khasian, yaa, Cik Asma. Sejak ditinggal mati anaknya dan suaminya kawin lagi, dia jadi gila begini. Setiap hari dia menunggu hujan turun."

"Kenapa begitu?"

"Kabarnya, dengan menari di bawah hujan ia akan mendapatkan kembali suaminya. Sayangnya, itu tak pernah terjadi."

Samar-samar, kudengar suatu percakapan yang membikin iba hati. Ahh, rupanya begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun