Sejenak kemudian, dari kejauhan kutatap lekat-lekat wajah perempuan berwajah oval itu. Ada kesedihan di sana. Tapi ia masih saja menari. Ahh, mungkin entah berapa kali Satpol PP dan dinas sosial menariknya pulang. Dan kuyakin, ia akan selalu datang kembali.
Setelahnya, sesudah hujan mulai meninggalkan jalanan. Aku pun berlalu menuju sekolahan.
....
Sudah hampir tiga bulan, hujan tak kunjung datang. Bukan hanya perihal Cik Asma yang tak lagi menari, tapi juga perihal kekeringan yang semakin menjadi-jadi. Orang-orang dibikin geram dan linglung. Sebab, sumur-sumur mengering, sungai-sungai hampir tak berair setetes pun, sedang segala ternak dan tanaman kian mengeriput, mengerut, lalu kalut menghadap maut. Huh!
Terlebih debu di mana-mana, beterbangan hingga ke pangkal tenggorokan. Membikin batuk, sakit tenggorokan, dan segala macam gangguan saluran pernapasan. Benar-benar kacau dunia saat ini. Tak ada lagi udara bersih, yang ada hanya polusi.
Ahh, mendadak aku rindu hujan. Orang-orang mau hujan. Cik Asma menunggu hujan.
Hingga suatu waktu, tepatnya siang bolong. Saat itu, aku tengah melintasi jalanan tempat di mana Cik Asma biasa bernaung. Kulihat, Cik Asma berulah kembali.
Ya, kali ini meski tanpa siraman hujan, perempuan berkulit kusam itu mulai menari di antara debu jalanan dan deru kendaraan. Dengan teramat gemulai, penuh ketekunan.
Benar, orang-orang mulai berang. Jalanan macet total. Sebab, orang-orang mulai menghentikan kendaraannya atau malah memperlambar laju demi menghindari menabrak tubuh ringkih Cik Asma.
Beberapa turun dan mulai menarik paksa Cik Asma. Namun, perempuan itu rupanya terlalu digdaya. Hingga tangan-tangan yang mencoba menjegalnya tersingkirkan dengan mudah. Kemudian, dengan santainya Cik Asma melanjutkan tariannya.
Aku diam saja, orang-orang diam-diam saja. Tapi langit rupanya tak pernah diam. Â Diam-diam langit menumpahkan airnya hingga orang-orang benar-benar diam.