Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Malapetaka 2176 || Cerbung Dian Chandra

21 September 2023   19:04 Diperbarui: 25 September 2023   00:45 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah ... apakah? Oh, tidak! Aku harus segera menelpon Kolonel Rei. Namun, belum sempat aku memencet anting-anting di telingaku yang menjadi alat komunikasi di jaman ini, mendadak dua manusia renta berkulit keriput itu memukul-mukul kaca jendela dengan sebilah besi khusus.

Uh, menyusahkan saja. Secepat daun-daun yang gugur, kusingkirkan besi terkutuk itu, hingga terlempar jauh entah ke mana. Sedang, si pemiliknya menatapku penuh amarah.

"Kau Serdadu Bumi, bajingan! Tak berhati, matilah kau di rahim bumi!" Sumpah serapah bergema, penumpang kereta yang hanya berjumlah 13 orang ini mulai menatapku dengan bermacam ekspresi wajah. Bagaimana pun, kecuali aku dan dua pasangan renta, penumpang lainnya adalah berasal dari kalangan elit --mitra bumi.

Benar saja, orang-orang kaya itu membelaku. Terbukti dengan kehadiran tim pengaman yang dalam sekejap meringkus dua pengacau. Uh!

"Kau akan menyesal, Nona! Sebentar lagi bumi akan hancur. Orang-orang Tak Mandi akan menang. Hahaha ...."

Huh, mana kutakut dengan segala omong kosong dari mulut lelaki renta itu. Bumi telah memilihku, ia pasti akan menjagaku baik-baik.

Aku mengatur napasku. Orang-orang kaya itu masih menatapku dengan berganti-ganti ekspresi. Pelan, keraguan mulai terbit di pikiranku. Hingga kemudian, kereta telah tiba di Stasiun MTsN 2 Situbondo, tujuanku.

Seperti perkataan Kolonel Rei, sekolah ini begitu menjulang tinggi, dililiti akar-akar pohon dan tanaman merambat lainnya. Bak berada di dalam istana rimba.

Kedatanganku langsung disambut oleh seorang guru laki-laki. Ia memperkenalkan namanya sebagai Pak Heri, guru kimia. Aku yang memang sejak semula tak membawa apa-apa, dengan ringan menuju ke dalam sekolah. Kulalui barisan murid-murid yang menatapku dengan penuh harap. Entah, harapan apa itu. Entahlah.

Aku terus saja berjalan di dampingi oleh Pak Heri.

"Sekolah ini telah berdiri selama ratusan tahun. Dan selama itu kami terus berinovasi dengan menciptakan murid-murid berprestasi yang mampu mengungguli kemampuan orang-orang kaya. Hingga kini, sekolah kami menjadi pusat kekinian ... yang paling terkini dalam berinovasi mencegah kepunahan umat manusia dan memperpanjang usia bumi ...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun