Banyak yang bilang puisi adalah ungkapan hati penulisnya. Segala kegelisahan, berbagai suasana hati, pun pandangan penulis tertuang ke dalam sekerat puisi. Banyak pula yang bilang puisi identik dengan kasmaran dan patah hati. Tak jarang, orang menyebut puisi sebagai bentuk curhatan terselubung.
Tak sepenuhnya salah. Meski akan lebih baik jika dalam pembentukannya melibatkan kelima indera. Sehingga akan diperoleh sekerat puisi, yang tak hanya sekadar susunan kata indah atau curhatan saja. Namun, juga berbobot. Ada pengetahuan yang dapat diperoleh oleh para pembacanya.
Seperti puisi berikut:
Â
FITOREMEDIASI
malam-malam engkau merokok. menghabiskan tembakau. yang masih ingin menyucikan cemaran. yang bermukim di sana sini.
sedang engkau menjadikan tembakau dalam gulita hidupnya. dalam balutan asap. yang membakar habis kebajikan. yang tuhan taruh di dalam sana. dalam-dalam. diam-diam.
tembakau merajuk. engkau takluk pada batang-batang rokok. yang kian gemar mencium bibir dan jari jemarimu. pada suatu hari yang santuy. pada suatu waktu yang kauumpat. pada suatu tafsir.
diam-diam, tembakau melepas kewarasan. ia telah mabuk nikotin. bersama kau. bersama-sama.
....
Â
Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tumbuhan untuk mengurangi limbah dan masalah pencemaran lingkungan lainnya (Greipsson, 2011). Dalam puisi berjudul Fitoremediasi, penulis hendak menunjukkan kegelisahannya terhadap manfaat tembakau yang disalahgunakan oleh para perokok. Merujuk berbagai sumber penelitian dikatakan bahwa pucuk daun tembakau dianggap sebagai salah satu tumbuhan yang tepat untuk proses fitoremediasi.
Dengan pengetahuan mengenai tembakau, fitoremediasi, dan rokok maka terciptalah sekerat puisi, yang tidak hanya indah tetapi juga memiliki makna dan pengetahuan bagi pembacanya
Pentingnya riset dalam menulis puisi, tidak hanya diperoleh melalui hasil penelitian secara ilmiah saja, melainkan juga dapat melalui pengalaman sendiri. Misalnya, pada puisi berjudul DI MANA-MANA AJAL MENDEKAT berikut:
padi tak jadi menua. sebab tikus-tikus sawah dan burung-burung belibis yang kekeh. telah mendahului kematiannya. dengan akar-akar yang dihinakan tikus-tikus. dengan biji-biji padi yang dimamah burung-burung belibis. siang dan malam.
ialah ajal. pada padi yang tak jadi apa-apa. pada petani yang mabuk keringat. membilang ingatan panjang: uang yang tak lagi berpulang di ceruk-ceruk celana.Â
ajal teruntuk anak istri. yang menanti dengan ketabahan yang paling tabah. biar berumah duka.
Â
Dalam puisi tersebut, jelas sekali penulis hendak menjabarkan secara singkat penelitiannya terhadap berbagai kejadian di suatu persawahan yang menyebabkan gagal panen hingga petani merasakan keputusasaan yang mendalam.
Puisi dengan riset dari pengalaman langsung tentu akan memberikan wawasan baru bagi pembacanya. Tanpa harus turun ke sawah, pembaca sudah dapat merasakan bagaimana suasana di persawahan, lengkap dengan segala problematika yang menyertainya.
Â
Jadi, masih meragukan riset dalam menulis puisi?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H