Rupa-rupanya di sana, di ruang tamu, tempat Tuan Dhi berjuang menghabiskan sebungkus rokok, juga sama gaibnya. Sosok jangkung itu lenyap, dan hanya menyisakan puntung-puntung rokok beserta abunya.
Hening. Sebelum akhirnya bermunculan suara-suara dari setiap sudut rumah, yang meracau, mendesah, mendesis, dan mengomel-ngomel.
"Sudah pukul 22.00 waktunya kita menjadi diri sendiri," ujar AC di kamar yang mendadak punya mulut, kaki, dan tangan. Dia meloncat dari langit-langit kamar, lalu mendarat di atas kasur.
"Hei, kau ini kebiasaan. Sakit, tahuuu!" teriak kasur, yang kini hendak berdiri dengan kedua kakinya.
"Horeee! Aku mau nyari berita viral terbaru, ahh!" Riang suara ponsel. Benda pipih itu mulai melongokkan kepala ke dalam tubuhnya sendiri.
Sementara di waktu yang bersamaan, di luar kamar, di mana buku-buku bernaung. Telah terjadi keributan besar. Buku-buku yang mulanya tersusun rapih, mulai beterbangan bagai kupu-kupu raksasa. Mereka saling menyerang.
"Pokoknya, kali ini giliran aku yang menulis cerita Tuan dan Nyonya Dhi!" teriak sebuah buku berjudul Sapatha dari Negeri Seberang, bersampul kebiruan.
"Tidak! Aku lah yang seharusnya melanjutkan kisah mereka. Kau tahu apa? Nyonya Dhi bahkan sering menulis di tubuhku tentang seluruh keinginan-keinginannya," kelit sebuah buku tulis bergambar karakter Doraemon.
"Huh! Kalian ini. Nyonya Dhi itu lebih suka membaca komik Kobo Chan. Kalian tak lihat, dia bahkan telah membeliku sejak jaman kuliahan dulu," terang buku bersampul anak lelaki setengah botak itu dengan nada khas anak kecil yang sedang marah-marah.
"Hei, hei! Kau pikir Nyonya Dhi mau hidup di dunia anak-anak? Kau gila?"
"Tapi dunia anak-anak itu menyenangkan. Banyak pelajaran yang bisa diambil!"