Mohon tunggu...
Hardiansyah Tanjung
Hardiansyah Tanjung Mohon Tunggu... Human Resources - Wiraswasta

Hanya Bernama Hardiansyah Tanjung, Untuk saat ini bekerja freelance menulis di beberapa website atau melakukan penelitian di program

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah sebuah Buku

25 Juni 2024   03:11 Diperbarui: 25 Juni 2024   03:57 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu terasa lebih dingin, di sudut kota terdapat sebuah gedung milik pemerintah kota, Namun sudah kosong yang hanya menyisakan penjaga dengan keluarga nya, di depan gerbang gedung itu berdiri si "tulip" sembari sibuk menelpon, aku tidak heran dengan kesibukan si tulip tersebut, sebab dia lah ketua pelaksana pendidikan mahasiswa dan dia yang bertanggung jawab dalam penyewaan gedung tua ini pikirku.  Tapi tiba juga rasa penasaran ku hingga ku hampiri si tulip dan bertanya "apa ada kendala ?"  Agak lama dia merespon pertanyaan ku, "tidak ada", ujar si tulip " hanya ada seorang peserta yang sedang dalam perjalanan menuju kesini, namun sepertinya harus aku jemput"sambung nya.  Jelas aku lebih penasaran"siapa dan dari mana?. Sembari mematikan handphone dia jawab" Seorang wanita dan Dari pulau Rindu", mendengar jawaban itu aku sembari mengingat kembali seperti nya yang di sampaikan si tulip pernah menelepon untuk mengikuti agenda ini.  

Tak lama Si bapak penjaga gedung memanggil ku, si bapak yang kami panggil pak Tarso, dari kejauhan jelas tangannya melambai-lambai ke arah ku dengan memanggil nama ku " Dek den, kesini lah ada bapak mau sampai kan".  Ku hampiri si bapak, dia berpesan jika lampu lampu di gedung ada beberapa yang tak berfungsi, aku hanya mengangguk dan berjanji akan membeli bola lampu. Sembari pak Tarso bercerita tentang  gedung  tersebut terlihat cahaya yang masuk ke arah gedung, jelas pikir ku itu cahaya lampu sepeda motor, aku sedikit tidak perduli, ku pikir mungkin panitia lain yang baru tiba di sini.

Lalu berdering handphone yang tersimpan di kantong celana pinjaman ku dari teman si sobro, seketika muncul nama tulip di kontak telepon, sial pikir ku, walau si tulip ketua pelaksana dan dia yang bertanggung jawab disini namun aku pimpinan lembaga ini, tanggung jawab ku lebih dari si tulip pikirku. " Bang Denta, ke gerbang lah, aku baru saja menjemput yang aku cerita tadi" dengan nada cepat ciri khasnya dan seketika telpon itu mati., dengan bersendal karet, berkemeja batik dan rambut ku yang sedikit tak rapi ku berjalan aku hampiri mereka. 

Dari jauh di tengah ramai nya panitia dan peserta lain samar ku lihat seorang wanita, semakin dekat. Ku lihat dia memegang sebuah tas ransel berwarna-warni nya, pakainya berwarna biru dengan campuran hitam di sela sela nya. Sempat ku pandangi wajah nya sekilas sembari menjulurkan tangan kanan ku bersalaman "Denta nama ku, selamat datang di kota tua" ujar ku sembari melempar senyum tipis dan melihat wajah nya kembali, wajahnya yang sedikit sayu tersebut membalas dengan senyuman tipis kembali, hidung nya yang pesek, bergigi gingsul, jelas tak ada yang istimewa aku pikir. Aku selalu coba untuk tidak terlalu melihat nya, timbul rasa takutku dia tidak nyaman jika ku perhatikan terlalu. namun entah kenapa seperti ada yang memaksaku menggerakkan wajah dan bola mataku untuk memandang nya selalu.

"Anita nama saya bang, saya dari pulau rindu. mohon maaf merepotkan ya bang". Seketika suara lembut nan sayu tersebut membuat aku sadar ini lah wanita yang pernah menelepon ku untuk mendaftar di kegiatan ini pikirku,  "dek Anita Jangan sungkan jika membutuhkan sesuatu ya" pesan ku kepada Anita,  selanjutnya ku tawarkan untuk makan bersama-sama namun dia menolak, seperti nya dia lebih membutuhkan waktu istirahat mengingat perjalanan nya yang nan jauh di pulau seberang. Dengan cekatan aku panggil Cici, Gadis yang seumuran dengan ku itu aku minta tolong untuk menemani Anita untuk beristirahat. Namun di karena kan gedung ini belum kami bersih-bersih ku minta si Cici untuk membawa Anita ke kos nya saja yang tak jauh dari gedung ini.

Ku perhatikan kepergian mereka berdua, mulai samar samar menghilang bak di telan kegelapan, begitu pula dengan diriku, panggilan si tulip dari jauh memanggil, jelas ini pertanda kesibukan telah di mulai.

Namun hilang nya mereka berdua masih seperti menarik ku untuk ikut dalam  kegelapan tersebut, apakah ini pertanda bahwa bab baru di sebuah buku baru di mulai pikir ku

Bersambung,,,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun