Mohon tunggu...
Harda Jaya Pratama
Harda Jaya Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Teknologi Yogyakarta

Hai,nama saya Harda Jaya Pratama mahasiswa dari Universitas Teknologi Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sanski AS Terhadap Tiongkok Atas Pelanggaran HAM Terhadap Suku Uighur di Xinjiang Melalui Perspektif Liberalisme

13 November 2022   19:20 Diperbarui: 16 November 2022   18:51 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

   

Tiongkok merupakan negara yang mempunyai penduduk padat, Tiongkok juga disebut negara maju dan mempunyai perekonomian yang baik. Di negara Tiongkok terdapat suatu nama provinsi yaitu Xinjiang, pada provinsi tersebut terdapat suku Uighur. Suku tersebut adalah suku minoritas di Tiongkok  yang telah menjadi rumah bagi jutaan orang-orang yang bersuku Uighur sejak tahun 1949. Suku minoritas di Tiongkok tersebut mempunyai agama mayoritas Islam, dan hal inilah yang menyebabkan suku Uighur menjadi suku yang tidak dianggap oleh sebagian besar suku-suku lainnya di Tiongkok.

Provinsi Xinjiang adalah provinsi di Tiongkok yang mempunyai kelompok separatis dengan menuntut suatu aksi kemerdekaan yang diperkirakan sekitar akhir tahun 194- an. Di provinsi tersebut telah menjadi sorotan atau perhatian dari berbagai negara karena suatu peristiwa pengeboman bus pada tahun 2009 di kota Urumqi. Konflik tersebut melibatkan dua suku yaitu suku Han dan Uighur di kota Urumqi yang kemudian memicu terjadinya aksi saling serang antar pusat bisnis. Sejak kejadian tersebut, beberapa negara akhirnya memberikan sorotan agar kedua suku yang bertikai tersebut segera damai. Banyak negara yang membantu melindungi suku minoritas yaitu Uighur dengan jalur konvensional, salah satu negara yang membantu ialah Amerika Serikat. Negara "Paman Sam" tersebut sangat memperhatikan kejadian yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap suku Uighur, sehingga akhirnya AS memberikan sanski terhadap Tiongkok sebagai upaya untuk menghentikan Tiongkok dari praktik genosida budaya terhadap suku Uighur di provinsi Xinjiang yang mempunyai mayoritas orang Islam.

Pada studi kasus ini dipandang dengan perspektif Liberalisme, tokoh yang sangat dikenal dengan perspektif ini yaitu Jhon Locke. Jhon Locke merupakan seorang filsuf yang sangat mempengaruhi Libralisme. Jhon Locke berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus dilindungi dan juga merupakan pondasi utama yang sesungguhnya dari suatu realitas sosial. Filsuf tersebut menegaskan bahwa manusia ada sebelum kolektivitas yang diorganisir oleh negara, dia juga berpendapat bahwa manusia ada sebelum negara dan sejumlah kepentingan / kelompok kepentingan itu terbentuk, maka dari itu negara harus bertanggung jawab untuk senantiasa melindungi rakyatnya dari segala macam kejahatan atau pembantaian genosida dan selayaknya memiliki kewenangan dan ruang gerak yang terbatas. Hal ini ditimbang dari segi kemanusiaan bahwa kehidupan manusia harus saling menghargai satu sama lain dalam berpendapat atau interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat secara komprehensif. Dimensi krusial yang terdapat dalam kasus ini adalah prinsip negara yang mempunyai hak untuk melindungi masyarakat dan prinsip Rule of Law bahwa negara sebagai penanggung jawab yang utama kepada masyarakat dengan kehormatan atas hak kebebasan,hak hidup serta kepemilikan masyarakat dengan meliputi berbagai aspek yaitu life, liberty, property. Dalam hal ini Liberalisme ditempatkan sebagai perpsektif yang menghargai persamaan hidup/persamaan manusia bahwa semua makhluk hidup itu sama dan setiap orang berhak menentukan kebebasan dalam beragama.

 

Sejak bulan April 2017, berbagai media massa dan juga organisasi yang bergerak di bidang non pemerintahan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah memperkirakan bahwa dua juta orang orang Uighur, etnis Kazakh dan anggota kelompok muslim telah ditahan oleh pemerintah Tiongkok di suatu tempat yang merupakan fasilitas penahanan yang telah diubah atau dibangun di Xinjiang. Orang-orang Uighur sangat mengalami penderitaan yang luar biasa atas perlakuan pemerintah Tiongkok seperti diculiknya orang Uighur secara diam diam sehingga sedikit dari saudara saudaranya yang mengetahui dimana keberadaan korban tersebut atau bisa dibilang hilang tanpa jejak, bahkan orang Uighur pun juga mengalami kekerasan fisik dan juga penahanan yang berkepanjangan tanpa adanya suatu keadilan hanya karena mereka menganut agama Islam dan merupakan suku minoritas di Tiongkok. Hal ini diketahui karena banyak dari tahanan yang melaporkan kejadian tersebut. Namun, hal ini terus menerus dikutip oleh Tiongkok dengan tiga fundamen utamanya yaitu ekstremisme agama, separatism etnis, dan terorisme yang terus terjadi di Xinjiang. Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan yang tepat oleh warga Tiongkok khusunya di Xinjiang dalam beragama ,karena banyak kejadian warga Tiongkok yang berpergian ke luar negri dan dipaksa pulang ke negara asalnya dan sebagian besar mereka ditahan. Sudut pandang liberalisme terus dikaitkan dengan prinsip Rule Of Law yang sangat diilhami oleh Jhon Locke yang menyatakan bahwa prinsip ini negara harus menjamin tiga aspek utama di suatu kehidupan, diantaranya adalah penghormatan atas hak hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk memiliki sesuatu (hak kepemilikan). Perspektif ini sejatinya lebih cocok pada negara demokratis karena selaras dengan penekanan asas perdamaian dalam suatu kehidupan berbangsa dan ber negara dibandingkan system monarki yang berdasarkan otoritas pemimpin.

 

Sanksi Apa yang Diberikan AS Terhadap Pemerintahan Tiongkok ?

Tiongkok yang merupakan negara otoritarian telah menjadi sorotan atau perhatian di kalangan internasional seperti AS khususnya atas terjadinya kasus suku Uighur di Xinjiang Tiongkok, hal ini tentunya membuat AS merespon kejadian tersebut dalam bentuk sanksi yang tertuang pada The Uyghur Human Rights Policy Act of 2020, undang undang tersebut telah diresmikan oleh federal AS sebagai upaya untuk melakukan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Tiongkok di Xinjiang. Sanksi yang diberikan AS terhadap Tiongkok yaitu berupa pencabutan visa, pemblokiran asset, bahkan hingga penolakan suatu izin untuk masuk ke negara yang bersangkutan. Perspektif Liberalisme yang dilakukan AS terhadap memberikan sanksi ke negara yang bersangkutan adalah untuk menghilangkan perilaku buruk seperti pelanggaran HAM terhadap suatu suku atau etnis di suatu negara dengan pergerakan di ranah internasional. Liberalisme adalah doktrin yang mewujudkan perdamaian atau perubahan positif melalui hubungan internasional antar negara. Dengan adanya perspektif liberalisme membuat ruang antar negara berperilaku positif dan intervensi akan berjalan atau mudah untuk dilaksanakan. Dalam pemaparan ini, Liberalisme menunjukan fokus utamanya untuk mewujudkan perdamaian, kebebasan, dan kemajuan yang baik. Pada kesimpulan ini negara adalah aktor utama untuk mewujudkan suatu perdamaian negaranya atau masyarakatnya, kejahatan pemerintah Tiongkok terhadap orang orang Uighur merupakan kejahatan yang sangat melanggar hak asasi manusia yang sangat mendalam. Perspektif liberalisme sangat menolak keras kejadian tersebut dan sangat mendukung respon AS terhadap Tiongkok karena hal tersebut agar mewujudkan perdamaian dan kesetaraan hak moral dalam langkah yang tepat untuk diapresiasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun