Menyimak kejadian yang sedang berkembang ditengah-tengah bangsa ini, Yaitu persoalan Ahok yang diduga menistakan Agama Islam sangat berefek dan mengancam stabilitas nasional. Banyak kalangan masyarakat yang pro dan ada juga yang kontra. Persoalan itu mengundang tanda tanya besar sehingga menyebabkan terjadinya aksi besar 4 November 2016.
Disamping hangatnya dugaan penistaan agama tersebut, ada permasalahan yang tidak kalah besarnya. Yaitu lunturnya ketokohan seorang Buya Syafi’i Maarif di mata masyarakat gara-gara pernyataan beliau yang kontroversial. Sehingga ada yang membuat pernyataan, “Maaf, Kamu tidak buya kami lagi”. Dan juga perkataan-perkataan lain yang sangat mengiris hati dan memprihatinkan. Ingin rasanya hati ini menangis dan meratap. Terlalu mudahkah Bangsa kita ini menghilangkan ketokohan seseorang? Apa lebihnya kita dari mereka?
Secara Objektif, saya menilai Buya tidaklah sejahat yang kita kira. Dia sosok negarawan yang mengedepankan keutuhan NKRI dan berfikir rasional. Ada beberapa perkataan beliau yang bisa saya kutip pada saat wawancara di TV One, Antar lain :
- Demokrasi kita ini belum mencapai tujuan sama sekali.
- Kesejahteraan rakyat belum tercapai. masih ceremony begini.
- Kalau jujur boleh lah ya. tapi kalau memperalat tuhan untuk tujuan politik yang kotor, itu ndak bisa dibenarkan.
- Berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat. jangan omong. tapi dalam tindakan.
- Suatu tujuan demokrasi ideal,masih sulit. karena kualitas politisi kita dibawah standar.
- Sepanjang sejarah, Tuhan itu dibajak oleh politisi yang tidak mau naik kelas menjadi negarawan. seperti dipaksa tuhan berpihak kepadanya
Apakah kita memaknai perkataan beliau ini sebagai sindiran/perlawanan, ataukah kita lebih memaknai sebagai sebuah nasehat?
“Apakah ahok cukup besar untuk dilawan. masak mengundang demo semacam ini. saya tidak melihat ahok itu menista. tapi mulutnya kurang terjaga, iya”. (Rekaman Buya)
Jelas bahwa Buya pun mengakui bahwa secara etika, Ahok kurang cermat dalam mengeluarkan kata-kata.
Sangat disayangkan, pernyataan buya tersebut menimbulkan beberapa diantara kita menjustifikasikan kalau buya berada di pihak Pro Ahok. Saya tidak akan berkomentar banyak tentang Pro dan Kontra. Karena saya memaknai kalau itu hanyalah sebatas pilihan Politik, Bukan pilihan keyakinan.
Kalau saya cermati pernyataan Buya Syafi’i Ma’arif, tidak ada sedikitpun ingin melindungi dan berpihak kepada ahok. Tapi beliau hanyalah bahagian dari umat islam yang tidak sependapat dengan sebagian umat islam yang lain yang menyatakan kalau Ahok diduga melakukan penistaan agama. “Basilang kayu dalam tungku, disinan api mako iduik”(Bersilang kayu dalam tungku, disanalah api akan hidup).
Ternyata memang, bangsa kita belum mampu memahami perbedaan pendapat itu merupakan sebuah proses mencapai suatu kesepakatan dalam negara demokrasi ini. Haruskah kita memaksa Buya untuk sependapat dengan kita?
Saya mungkin tidak sehebat yang lain. Pendidikan saya hanya tamatan SLTA. Dan juga tidak sealim yang lain. Tapi berusaha dan selalu berikhtiar. Karena takdir hanya Allah yang mengatur. Ibadah yang kita lakukan, diberi pahala atau tidak hanyalah kuasa Allah SWT.
Saya merupakan salah seorang yang sepakat dengan kita sebahagian besar umat islam yang mengatakan kalau Ahok telah menistakan agama. Tapi saya sangat tidak sepakat kalau gara-gara pernyataan buya, ketokohan beliau luntur dalam sekejap. Masya Allah