Mohon tunggu...
Harbi Hanif Burdha
Harbi Hanif Burdha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadi Penulis adalah cita-cita saya

jikok dikumpa saleba kuku, kok di kambang saleba alam. walaupun sagadang bijo labu, bumi jo langik ado di dalam...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Kampung SAD sampai ke RBIC

8 Desember 2013   20:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13865088691576866473

(Syafriko)

Maret 2012, aku bertemu dengan Pandong Spendra. Ia aktif di sebuah LSM yang saat itu memiliki program prioritas memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis untuk Suku Anak Dalam(SAD) di Pedalaman Dharmasraya. Aku sangat tertarik, karena sangat cocok dengan keinginanku. Untuk usahaku terus berlanjut dan dijalankan oleh temanku. Di LSM tersebut, aku diajarkan bagaimana berinteraksi dengan orang Suku Anak Dalam(SAD). karena mereka tidak sama dengan kita. Mereka bau,tidak memiliki rumah dan jauh di hutan belantara. Sebelumnya aku berfikir, kok mereka hidup semiskin itu? Aku sangat penasaran dengan cerita Bang Pandong. Sudah cukup rasanya Bang Pandong memberikan pembekalan kepadaku, akhirnya aku putuskan untuk mengikuti mereka menemui Suku Anak Dalam(SAD) itu. Kami mengendarai mobil Artop karena medan yang kami lalui cukup ekstrim. Menelusuri kampung-kampung dan hutan belantara dengan jalanan yang sangat licin karena masih jalan tanah.

Tiga jam lebih kami lalui jalanan itu. Akhirnya aku sampai juga di hutan yang dituju. Kami kemudian berjalan ke dalam hutan belantara itu kira-kira sejauh 2 KM. tidak ada tanda-tanda kehidupan yang aku lihat. Sesampainya kami dikomplek tersebut, aku sangat terkejut dan heran setengah mati. Mereka tidak punya baju sebaik baju yang aku pakai. Mereka punya rumah yang sebagus rumah yang kita huni. Mereka bau dan sangat kotor tapi mereka tetap tersenyum dengan bahagia tanpa rasa kekurangan sedikitpun. Aku sangat terharu dan ingin sekali membawa mereka ke rumahku dan memberikan mereka baju-baju yang bagus. Membuatkan mereka rumah layak huni. tapi dengan apa aku harus belikan?untuk hidupku dan keluargaku saja tidak cukup.

Dalam tenda posko yang sudah dibangun Bang Pandong, aku termenung dan merasa sangat sedih. Aku berfikir, selama ini Ibu dan ayah memberikan aku lebih tapi kenapa aku merasa kurang. SAD memiliki rumah yang beratap plastik dan tidak memiliki baju, sedangkan aku memiliki rumah yang layak dan memiliki baju yang bagus. Tapi kenapa aku tidak syukuri. "Tuhan. Durhakanya aku kepada-Mu. Aku jarang sekali mensyukuri nikmatmu. Engkau sungguh kaya tuhan. Hari ini aku bersimpuh dan memohon kepadamu. Ajari aku cara bersyukur kepada-Mu. Beri aku waktu hidup yang lama agar aku bisa mengabdi kepadamu," curhatku kepada NYa.

Melihat aku termenung, Bang Pandong menghampiriku. "Bi. Apa yang kamu pikirkan. Mereka tidak sama dengan yang kita pikirkan. Mereka tidak butuh rumah. Mereka tidak butuh baju. biarlah budaya mereka tetap bertahan. Seandainya kita paksakan sesuai dengan kondisi kita, mereka akan menolak. Karena kebutuhan mereka tidak sama dengan kita,"kata Bang Pandong membujukku. Aku tambah heran. Kenapa Bang Pandong sampai berbicara sekejam itu. Mereka kan juga manusia. Mustinya mereka harus diberlakukan sama. "Kenapa Bang. mereka kan juga manusia. Belikanlah mereka baju dan buatkanlah mereka rumah yang layak bang", kataku dengan nada penuh pertanyaan. "Mereka hanya butuh hutan. Yang harus kita jaga adalah hutan mereka. meskipun kita belikan rumah, mereka tidak akan mau tinggal disana. Kita belikan baju yang bagus, mereka juga tidak akan memakainya. Bagus menurut kita belum tentu bagus menurut mereka," jawab Bang Pandong. Pencakapan pendek itu membuat aku ekstra berfikir. apa sebenarnya makna hidup ini? Sepenjang perjalanan pulang dan malamnya kembali ke sekretariat LSM, aku terus berfikir apa beda mereka denganku.

Malamnya aku panjatkan doa kepada Tuhan. Aku ingin sekali mengerti apa yang sebenarnya terjadi siang tadi. Kemudian akupun berdiskusi dengan teman-teman yang lain. Sampai aku tertidur lelap malam itu. Besok paginya, aku merasa mendapatkan jawaban dari pertanyan-pertanyaan itu. Ternyata yang menjadi perbedaan nya adalah cara kita bagaimana memaknai hidup. Tingkat kebahagiaan hidup tergantung seberapa besar rasa syukur yang kita miliki. Orang-orang SAD tidak butuh uang, tidak butuh rumah dan baju. Tapi mereka butuh hutan. karena hutan adalah sumber kehidupan mereka. Budaya itu sudah mereka pupuk dari nenek moyangnya dahulu. 8 bulan lamanya aku berkecimpung di LSM tersebut. Terlalu sedikit permintaan mereka. Terlalu kecil keinginan mereka. Sedangkan kita sudah punya uang, punya segalanya, tetap saja merasa kurang.

November 2012, tiba saatnya ayah mengakhiri pengabdiannya menjadi guru. Ia pensiun dan membawa kami kembali kekampung, yaitu di Kota Muaro Sijunjung. Ayah punya prinsip tidak mau menyusahkan orang lain. Kami beli sepetak rumah di komplek perumahan yang jaraknya tidak jauh dari tempat kelahiran ayah dan ibu. Sudah puas rasanya ayah mengadukan nasib di rantau orang. Sekarang saatnya ia mengabdi untuk kampung halamannnya. Akhirnya, Aku diminta pulang oleh Ibu. memang saat itu, ekonomiku tidak sebagus yang dulu. Aku mulai sibuk dengan kegiatan-kegiatan LSM, tapi aku abaikan keadaan ekonomi keluargaku. "Pulang sajalah Nak. Untuk makan dan belanjamu, Ibu sanggup kok. yang penting kamu tidak jauh dari Ibu" kata Ibu membujukku. Aku mulai termakan oleh bujukan ibu. Aku ingin mengabdi lagi di kampung. Aku mohon pamit kepada Bang Pandong, dan ia mengizinkan dengan penuh keikhlasan.

Maret 2013 aku pulang ke kampung dan mengerjakan apa yang bisa aku kerjakan yang penting halal. Aku mulai tekun berdagang barang pecah belah dengan ibu. Membuka kios bensin di rumah dan pekerjaan lainnya.

Sementara itu saya mendirikan sebuah LSM dengan kak Aci, yaitu Masyarakat Peduli Sijunjung(MPS). Kami lebih fokus kepada bidang pendidikan. Membantu masyarakat yang kurang mampu dengan dana dari para donatur. Lika-liku Birokrasi Pemerintahan Sijunjung membuat kami kadang kala harus sabar. Ada yang benci dengan keberadaan kami dan sebagian juga ada yang mendukung. Kami mengumpulkan pemuda-pemuda dan mahasiswa sijunjung yang sangat peduli dengan kondisi sijunjung. Banyak kisah yang sudah kami lewati bersama pemuda dan masyarakat.

Tanggal 24 Agustus 2013, kami mendirikan sebuah Rumah Baca Insan Cita(RBIC) di Kota Muaro. Dengan konsep alami berbasis masyarakat, kami kumpulkan buku dari tokoh-tokoh masyarakat Sijunjung. Lokasi RBIC yang sangat stategis di pusat kota dan dikelilingi sekolah-sekolah favorit, pengunjung hari ini berkisar antara 30-40 perhari.

Sekarang aku juga diamanahkan menjadi Relawan Demokrasi di KPU Kabupaten Sijunjung. Tugas yang sangat berat jika dijalankan sesuai dengan orintasinya. Memberikan pendidikan pemilih dalam menghadapi PEMILU nantinya. Sikap kritis yang dimiliki oleh bangsa kita hari ini sudah menjadi gerakan Apatisme. Sehingga timbul gerakan-gerakan masyarakat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang mereka inginkan.

Gerakan tersebut harus kita hentikan. Semoga saja dengan langkah-langkah kecil yang kita lakukan sebagai Relawan Demokrasi ini, memberikan dampak yang sangat besar terhadap persentasi pemilih dalam PEMILU ke depan. Hari ini kita harus buktikan, pemerintahan yang demokrasi tersebut benar-benar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun