Mohon tunggu...
Anti hoax
Anti hoax Mohon Tunggu... Insinyur - Insinyur

Memberi wacana alternatif dan mencerdaskan bangsa!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tertipu Globalis Vs Nasionalis

4 September 2020   22:08 Diperbarui: 4 September 2020   22:15 4815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda makan tempe lalu tiba-tiba disuruh buang gara-gara kedelainya adalah produk Monsanto?

Apakah anda merasa senang dan sukarela beli emas dengan harga mahal selangit demi alasan membela nasionalisme sambil marah-marah ke globalis?

Jangan khawatir, anda tidak sendiri. Ada banyak rekan kita memiliki pemikiran yang sama. Kunjungi videonya berikut:

                                                                                        

Jadi apa itu Globalis dan apa itu Nasionalis?

Agar tidak melebar, kita akan bahas dari sisi ekonomi saja.

Kita mulai dari Globalis. Secara sederhana, globalis adalah sebutan bagi siapapun yang percaya bahwa batas batas antar negara harus dihapuskan. Dengan demikian, siapapun bebas berdagang dinegara manapun yang mereka sukai. Mereka bebas untuk berwisata ke negara manapun tanpa harus terhalang dengan aturan visa. 

Mereka percaya, dengan dibukanya batas-batas negara, daya saing sebuah negara tersebut akan meningkat pesat, lapangan kerja terbuka lebar, dan konsumen bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah. Maka, dari definisi diatas, Globalis lebih banyak didominasi oleh korporasi global.

Lalu Nasionalis

Nasionalis secara sederhana adalah sebutan bagi siapapun yang percaya bahwa bangsanya itu lebih baik daripada bangsa yang lain. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ekonomi, nasionalis menganggap bahwa produk dalam negerinya adalah yang terbaik, dengan demikian produk tersebut haruslah dihargai lebih daripada produk luar negeri. 

Jika Nasionalis ini adalah pemerintah, maka dia akan memberlakukan berbagai kebijakan yang menguntungkan industri dalam negeri daripada luar negeri. Seperti meningkatkan tarif bea masuk, menaikkan pajak dalam negeri perusahaan asing didalam negeri, membatasi kuota impor, dan lain sebagainya.

Hal-hal yang perlu diluruskan

Lalu mana yang lebih baik diantara kedua ideologi tersebut?  

Kita akan ambil contoh Chevron, perusahaan yang didirikan oleh Rockefeller ini sebagai Globalis.

Korporasi global seperti Chevron di Indonesia menurut saya sangat menguntungkan bagi negara. Sumber daya alam kita yang besar dapat dioleh, tidak hanya didiamkan. Pemerintah akan dapat mendpatkan pemasukan dari sektor pajak dan non pajak. Insinyur kita bisa belajar bagaimana teknik mengolah minyak bumi. Sarjana ekonomi dan manajemen kita juga bisa belajar bagaimana perusahaan level global tesebut beroperasi. Kontraktor kita belajar untuk menjadi servis company migas. Ini belum keuntungan dari industri pendukung lainnya, seperti transportasi, perumahan, makanan, dan sebaginya.

Nah dalam hal ini, bagaimana kalau kita pakai kebijakan Nasionalis? Misalkan Chevron kita suruh keluar lalu diganti Pertamina. Semua blok kita handle sendiri, agar negara untung lebih banyak?. Pertanyaan besarnya: Duitnya dari mana? Nasionalis biasanya gelagapan jawab ini. Fakta ya. Dengan aset 996 Triliun, Pertamina cuma mampu kelola 14% saja seluruh Blok Migas yang ada di Indonesia. Bukan gak mampu secara teknis, tapi ga ada modalnya. 

Hal yang sama juga terjadi pada PLN. Pemerintah dengan "terpaksa" mengundang pembangkit independent untuk menyediakan listrik. Bukan karena PLN tidak mampu secara teknis, tapi semata tidak punya modal untuk mengimbangi kecepatan kebutuhan listrik nasional.

Lalu, apakah pemerintah kita tidak nasionalis? Buang jauh-jauh pemikiran itu geng. Kita harus apresiasi kerja nyata pemerintah kita dalam membela produk dalam negeri seperti saat ekspor sawit kita di black campaign uni eropa dan keberhasilan menasionalisasi freeport. Itu adalah bukti nyata sikap Nasionalisme pemerintah kita.

Jadi kita harus fair. Ada kalanya Globalis kita perlukan dan adanya kalanya kita harus menjadi Nasionalis. Bahasa kerennya, berfikir global, bertindak lokal.

FAKTA yang menohok

Kenapa Globalis bisa menjadi raksasa Industri dan berkuasa dimana-mana? Jawabnnya adalah karena mereka berjamaah geng. Globalis adalah korporasi. 

Artinya, pemiliknya bukan hanya 1-2 orang. Mereka sangat cepat melakukan ekspansi karena akses yang mudah ke pasar modal. Sedangkan perusahan-perusahaan kita, terutama juga mindset bangsa kita, saking nasionalis-kecilnya, tidak mau berbagi untung dan mau berbagi rugi. Akhirnya jalan sendiri lah. Usaha sendiri. Kapan gedenya?

Mungkin gak seseorang yang berjuang sendiri bisa menang berperang melawan orang-orag yang tergabung dalam kelompok besar? Gak mungkin geng. Sholat aja 27 derajat lebih tinggi dapetnya.

Maka akhirnya, muncullah istilah Elite Global, Globalis Cabal, itu cuma teriakan sakit hati dari orang-orang gagal bersaing karena yang tidak mau berjamaah.

Parahnya, oportunis juga ambil untung dengan menggunakan istilah ini untuk promosi bombastis...Sekedar agar jualannya laku.

Nah bagi konsume, Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Apes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun