Mohon tunggu...
Hamid Ramli
Hamid Ramli Mohon Tunggu... lainnya -

Aktivis Lingkungan ingin berkiprah di bidang politik lokal agar kelestarian lingkungan tetap terjaga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Referendum Skotlandia: Inggris Terluka, Eropa Cemas (Indonesia juga?)

17 September 2014   20:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:25 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang diinginkan dari sebuah referendum? Jawabannya bisa saja beragam. Yang pasti di dalamnya ada pilihan bebas, damai, dan bermartabat untuk menggapai sebuah cita-cita bagi kehidupan yang lebih sejahtera.

Itulah suasana yang bisa saya tangkap dari pertarungan politik selama masa kampanye referendum kemerdekaan Skotlandia dari Kerajaan Inggris yang pelaksanaannya akan digelar Kamis besok, 18 September 2014. Hasil referendum akan menentukan masa depan Skotlandia apakah akan tetap bergabung (integrasi) dengan Inggris atau menjadi negara baru. Jika 5 juta masyarakat Skotlandia mayoritas memilih merdeka, itu akan tercatat dalam sejarah sebagai perjuangan kemerdekaan penuh santun dan dalam kondisi damai. Karena referendum kemerdekaan Skotlandia dilakukan dengan persetujuan pemerintah Britania Raya dan bukan bermula dari gerakan separatis  bersenjata.

Sepintas memang mulia tujuan referendum Skotlandia itu. Tetapi pada saat yang sama, telah mencemaskan sejumlah negara Eropa. Kenapa?karena Jika Skotlandia berhasil melepaskan diri dari Inggris, ini bisa menjadi sinyal kepada gerakan separatis lain di Eropa. Misalnya di Spanyol dan Belgia. Di Spanyol sudah lama ada gerakan separatis Catalan Countries dan Basque yang ingin memisahkan diri. Tuntutan yang sama juga sudah lama muncul dari warga Belgia yang berhasa Prancis dan Belanda.

Bagi Inggris sendiri, kemerdekaan Skotlandia juga bisa memicu tuntutan serupa di Irlandia Utara. Kesepakatan damai tahun 1998 akan luntur, karana secara umum, kubu Katolik Irlandia Utara menginginkan bergabung dengan Republik Irlandia. Sementara kubu Protestan menyatakan Irlandia Utara merupakan bagian dari Kerajaan Inggris.

Maka wajar jika Perdana Menteri Inggris David Cameron berupaya keras membujuk warga Skotlandia untuk memilih tetap berintegrasi dengan Inggris. Bahkan dari partai oposisi pun ikut mendukung Cameron.Walaupun nantinya jika Skotlandia menjadi negara merdeka yang berdaulat tetap mengakui monarki Britania Raya dengan menjadikan Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara dan menggunakan mata uang pound sterling, namun akan membuat para elit politik Inggris ‘terluka’. Apalagi, pelaksanaan referendum Skotlandia ini bertepatan dengan HUT ke-700 peperangan Bannockburn ketika pasukan Skotlandia mengalahkan Inggris.

Peristiwa ini akan menjadi catatan sendiri bagi Cameron dan parlemen Inggris untuktidak lagi ‘bermain api’ dengan gerakan separatis. Di satu sisi, mereka tidak ingin terluka atas perpecahan Britania Raya, namun di sisi lain negerinya terus “menampung” dan memfasilitasi kelompok pro separatis seperti Benny Wenda dan kelompoknya yangterus gencar menyuarakan pemisahan Papua dari NKRI. Bukti dukungan politisi Inggris antara lain membiarkan Benny Wenda Cs membuka kantor perwakilan OPM di Oxford yang diresmikan 29 April 2013. Peresmian kantor itu juga dihadiri Walikota Oxford dan anggota Parlemen Inggris Andrew Smith. Tahun sebelumnya (Selasa, 23 Oktober 2012), Inggris diketahui memfasilitasi Benny berbicara dalam sebuah forum di Westminister Abbey, Inggris, untuk membahas status Papua Barat dalam Indonesia.

Ketika diprotes oleh Pemerintah Indonesia, inilah jawaban Pemerintah Inggrissebagaimana dalam siaran pers Dubes Inggris untuk Indonesia Mark Canning yang dikeluarkan satu pekan setelah Kantor Perwakilan OPM di Oxford diresmikan : "Dewan Kota Oxford seperti halnya dewan-dewan lainnya di Inggris, bebas mendukung tujuan apa pun yang mereka inginkan. Mereka bukan bagian dari pemerintah," kata Mark Canning dalam siaran pers tanggal 4 Mei 2013 lalu.

Dua hari setelah itu, Presiden SBY hanya bisa berujar melalui media sosial: "Pemerintah Inggris menyatakan tetap dukung NKRI. Namun, kegiatan di Oxford itu akan mengganggu hubungannya dengan Indonesia," tulis Presiden Yudhoyono di akun jejaring sosial, twitternya @SBYudhoyono, Senin (6/5/2014)  malam.

Seakan mendapat angin dari pembelaan Dubes Inggris itu, beberapa hari kemudian Benny berseloroh di media Inggris: “...Oxford is now my village...”. http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/05/15/benny-wenda-saya-telah-mengubah-kota-oxford-menjadi-desa-saya-560407.html

Kembali soal referendum Skotlandia. Yang patut membuat Indonesia cemas adalah sikap politik pemerintah Inggris (di bawah kepemimpinan David Cameron) terhadap tuntutan pemisahan diri tersebut. Riwayat sejarah integrasi Skotlandia dalam Britania Raya tentu berbeda dengan integrasi Papua ke dalam NKRI. Soyogyanya sikap politik Pemerintah Inggris terhadap Benny Wenda dan kelompoknya itu tidak seharusnya sama dengan sikap terhadap tuntutan referendum Skotlandia.

Kalau Cameron bisa ‘terluka’ jika Skotlandia lepas, demikian juga Presiden SBY jika Papua minta berpisah. Karena sikap bangsa Indonesia terhadap Papua sama persis dengan sikap kubu pro-Britania yang dipimpin Cameron dalam kampanye referendum Skotlandia, yaitu : “BETTER TOGETHER”. http://www.soloposfm.com/2014/09/referendum-skotlandia-jelang-referendum-pro-kemerdekaan-dan-pro-inggris-saling-klaim-kemenangan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun