Sepak bola. Siapa yang tak mengenal olahraga yang satu ini? Semua kalangan baik dari anak-anak hingga orang tua pasti tahu apa itu sepak bola. Sepak bola selalu saja menyenangkan untuk dibahas, entah itu obrolan analisis pertandingan, rumor transfer pemain, hingga tips dan trik dalam bermain bola.
Tentu kita tak asing dengan nama-nama besar seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Ronaldinho, David Beckham, Diego Maradona dan pemain bintang lainnya yang mempunyai masanya masing-masing. Dribbel yang licin memukau, tembakan salto menukik, ataupun umpan rumit tiki-taka, semuanya membuat decak kagum bagi siapapun yang melihatnya.
"Ah.. gitu doang, olahraga lain juga banyak yang lebih seru," yakin dek?
Mungkin pembaca yang budiman melupakan kehadiran "Pemain ke 12" dalam sepak bola, karena dengan merekalah atsmosfer ditentukannya hidup-matinya suatu sepak bola. Tanpa mereka (suporter) sepak bola hanya sebatas sekumpulan orang yang berlarian mengejar bola lalu memasukkannya ke dalam gawang, sudah begitu saja, tidak ada sorak-sorai apalagi tepuk tangan.
"Hanya itu saja?"
Ohh jangan dikira suporter datang hanya membawa badan saja. Lebih dari itu mereka bawa atribut lengkap, chant kebanggaan, genderang drum dan alat musik, seni koreografi, dan bayangkan saja ketika tim kesayangan mereka mencetak gol, "Goal..!!!," gemuruh teriakan kemenangan memenuhi stadion. Terkadang dari merekalah pesan-pesan sosial-politik bisa saja hadir, seperti solidaritas terhadap Palestina misalnya, atau bela sungkawa terhadap suatu kejadian.
Sepak Bola dan Pemain ke 12
Dunia sepak bola Indonesia mesti berbangga dengan capaian fenomenal Timnas U-23 yang berlaga di Piala Asia 2024 di Qatar. Bagaimana tidak, Timnas Indonesia yang tergabung dalam grub yang berisikan tim-tim papan atas FIFA, nyatanya mampu lolos ke babak penyisihan.
Bahkan tim asuhan Shin Tae-Yong ini berhasil masuk ke babak semi final, setelah mengalahkan jawara Asia Korea Selatan dalam adu penalti. Walaupun akhirnya, masyarakat Indonesia mesti berpuas hati setelah kandas di laga semi final melawan Uzbekistan, begitupun di laga perebutan juara 3 Timnas juga tumbang melawan Iraq. Tak mengapa, tetap semangat garuda muda.
Kita tidak perlu membahas tentang poster nobar Timnas yang ada foto pejabatnya, debat perseteruan masalah pemain naturalisasi oleh Coach Justin-Bung Towel, ataupun kutukan kekalahan Timnas Indo gara-gara didukung Jerome Polin. Lupakan sejenak. Mari buat diri kita ini bangga dengan prestasi dan dedikasi mereka (Timnas) dalam mengharumkan nama Indonesia di kancah sepak bola Asia.
Kembali ke topik awal tentang alasan "Sepak bola tak sekedar nendang bola"
Disadari atau tidak, prestasi gemilang garuda muda juga dibarengi dengan rasa patriotisme para suporternya (netizen). Kewajiban mendukung dan membela Timnas seakan menjadi keharusan. Kalo nggak dukung Timnas nggak Nasionalis katanya, buset. Bahkan di zaman dahulu, suporter di klub-klub Italia kerap menggaungkan gerakan ideologi yang dibawanya.Â
Namun terkadang fanatisme beberapa netizen Indo cenderung pada sikap FOMO, yang ujug-ujug jadi fans bola, mendadak jadi si paling. Walaupun demikian, keduanya (fanatik dan FOMO) mempunyai motif dan intensitas yang berbeda. Fanatisme didorong oleh kegemaran dan kecintaan, sedangkan perilaku FOMO didorong oleh ketakutan dan kecemasan sosial. Jadi jangan heran bila suatu saat, setelah hilang trend-hilang juga kecintaan.
Bahkan saking "Patriotismenya" netizen Indo, mereka grudug akun medsos Shen Yinhao (wasit pertandingan Indonesia vs Uzbekistan) yang diduga jadi biang kekalahan Timnas Indonesia. Tidak terbayangkan bila wasit tersebut berlaga di liga Indonesia, yang suporternya nggak kalah "Asyik" daripada permainan sepak bolanya, habis tuh wasit. Â Â
Komersialisasi Sepak Bola
Bila dicermati, selain motif tribalisme suporter bola, nampaknya sepak bola hari ini menarik untuk dikomersialisasi. Kepemilikan saham klub, sponsor, penjualan atribut (jersey, syal, jaket), paket langganan membership dan lain sebagainya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa industri sepak bola merupakan pangsa pasar yang menggiurkan. Lebih lagi bagi mereka para suporter fanatik, apapun akan mereka lakukan demi tim kesayangan mereka.
Melansir dari World Atlas, sepak bola menjadi cabang olahraga paling populer di dunia dengan jumlah penggemar mencapai 4 miliar orang. Sepak bola juga mampu mempertemukan semua kalangan-elemen masyarakat, entah pejabat elit ataupun mereka yang berekonomi sulit, semua berhak bermain dan menonton sepak bola.
Ketimbang olahraga lain, sepak bola juga lebih friendly dan tergolong murah. Hanya bermodal bola sepak, pemain yang cukup dan lahan kosong, sepak bola langsung bisa dimainkan. Sepak bola juga mengajarkan komunikasi, kerja sama, dan strategi dalam permainannya.
RefleksiÂ
Namun karena saking menariknya itulah yang justru menjadikan industri sepak bola menjadi kotor. Praktik suap, pengaturan skor, dan judi masih subur dalam tubuh sepak bola. Hal tersebut makin menjadikan persepsi orang tentang sepak bola hanya sekedar permainan uang semata. Sepak bola telah dibeli. Sayang saja bila olahraga pemersatu bangsa ini mesti keruh-bercampur dengan intervensi pihak luar.Â
Belum lagi perseteruan antar suporter yang kerap kali diwarnai kericuhan bahkan merusak fasilitas umum. Bermentalkan kawanan (keroyokan), atas dasar cinta dan benci, suporter terkadang berlaku anarkis-menyerang pihak yang berseberangan dengan mereka. Serangan ujaran kebencian (rasisme) pun tak luput pada diri suporter, yang tentu jauh dari subtansi sepak bola.
Sepak bola hari ini mungkin telah bertransformasi menjadi industri. Namun di satu sisi masih perlu untuk dievaluasi, baik penyelenggara, pemain maupun pendukung sepak bola itu sendiri. Sepak bola tak sekedar nendang bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H