Semakin terbatasnya waktu untuk mengolah makanan segar membuat aktivitas mengawetkan makanan menjadi tidak dapat dihindari. Hampir semua produk makanan sekarang telah melalui proses pengawetan baik secara fisik maupun kimiawi. Proses memanaskan makanan atau menyimpannya di lemari es sebelum dinikmati kembali juga merupakan upaya sederhana dalam mengawetkan makanan.
Prinsip mengawetkan makanan sebenarnya hanya satu yakni mencegah kerusakan makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pembusuk dimana pertumbuhan mikroba ini dapat dihambat melalui banyak jalan seperti pengaturan suhu, pH, tekanan, serta penambahan substansi antimikroba tertentu yang bersifat bakterisidal (efek mematikan bagi mikroba). Bakteriosin, salah satunya, juga merupakan antimikrob yang populer. Mekanisme umum pengawetannya adalah melalui jalan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga terbentuk lubang dan lisis. Antibiotik, yang umumnya dipakai sebagai obat-obatan, dikenal memiliki mekanisme yang mirip dengan bakteriosin dalam proses membunuh bakteri tertentu namun masih tetap memiliki beberapa perbedaan karakteristik . Diantaranya dijelaskan berikut;
Antibiotik merupakan metabolit sekunder yang terbentuk sebagai zat sisa metabolisme sel sedangkan bakteriosin merupakan metabolit primer yang disintesis dalam ribosom dimana produksinya dihasilkan ketika sel dalam fase logaritmik, berbeda dengan antibiotik yang diproduksi pada fase stasioner. Antibiotik akan bersifat toksik bagi sel penghasilnya ketika mencapai ambang batas tertentu sedangkan bakteriosin tidak, namun antibiotik memiliki spektrum penghambatan yang lebih luas. Meskipun begitu, bakteriosin lebih luas digunakan dalam pengawetan pangan.
Aplikasi bakteriosin sebagai pengawet pangan dapat dilakukan secara insitu dan eksitu. Pada aplikasi eksitu, bakteriosin ditambahkan dalam bahan pangan dalam bentuk konsentrat sebagai bahan tambahan pangan sedangkan insitu yakni bakteriosin diproduksi dengan starter bacteriocigenic dengan bantuan ingredien ajudan (adjunct) atau media terlindung.
Bakteriosin juga umum diikutsertakan dalam hurdle concept dalam proses pengawetan pangan. Hurdle concept merupakan strategi dimana dalam mengawetkan pangan digunakan tidak hanya satu metode sehingga kekuatan mengawetkannya lebih kuat dan dalam beberapa kasus menjadi lebih efisien. Sebagai contoh bakteriosin yang diaplikasikan dengan senyawa fenol akan meningkat kekuatan mengawetkannya (karena bersifat sinergis) dan juga mengurangi konsentrasi pemakaiannya sehingga lebih hemat. Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa bakteriosin—yakni nisin, dapat dikombinasikan penggunaannya dengan garam NaCl , juga dengan metode pengawetan pangan secara fisik seperti pemanasan, tekanan tinggi, suhu dingin dll.
Bakteriosin umumnya diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) yang dibagi menjadi tiga kelas yakni Lantibiotik (Kelas I), peptida berukuran kecil tahan panas (kelas II), dan protein berukuran besar tidak stabil pada suhu panas (kelas III). Kelas I subkelas A memiliki mekanisme perusakan dengan menganggu integritas membran sel, kelas I subkelas B bekerja dengan menganggu fungsi enzim yang berperan dalam biosintesis dinding sel. Beberapa keuntungan bakteriosin yang dihasilkan BAL diantaranya aman, toleran PH dan panas, memiliki spektrum yang luas, dan bersifat bakterisidal.
Beberapa bakteriosin yang populer dan tersedia komersial diantaranya nisin, pediocin PA-1/ACH, lacticin 3147, enterocin A5-48.
Â
Aplikasi pengawet pada produk makanan
Produk-produk makanan segar mungkin yang paling banyak diawetkan, seperti buah-buahan. Sirup buah misalnya, prinsip pengawetan utamanya adalah dengan penambahan gula dimana gula dapat mengikat air bebas dalam ekstrak buah sehingga aktivitas air (yang berperan dalam pertumbuhan bakteri perusak) dapat dikurangi. Buah segar memiliki aktivitas air di atas 0,80 namun setelah diawetkan menggunakan gula menjadi 0,50 sampai 0,60 saja. Meskipun begitu, pengawetan dengan gula saja belum cukup karena selama penyimpanan dapat terjadi kerusakan yang memicu tumbuhnya mikroba seperti kapang dan khamir. Kapang dan khamir yang ada dalam produk sirop dapat tumbuh dan menghasilkan metabolisme berupa alkohol dengan menggunakan nutrisi yang ada dalam sirup. Alkohol dapat menggeser pH menuju netral sehingga memungkinkan tumbuhnya mikroba lain yang sebelumnya terhambat oleh pH rendah. Karenanya, perusahaan sirup umumnya menambahkan pengawet lainnya yakni garam benzoat 0,05 % hingga 0,1 %. Untuk sirup yang memiliki pH antara 4,5 hingga 4,75 garam benzoat yang cocok digunakan adalah natrium sorbat sementara di atas pH tersebut lebih cocok digunakan natrium benzoat.
Untuk buah segar potong, mikroba yang menjadi musuh umumnya adalah kapang sehingga pengawet yang umum digunakan adalah benomil 0,5 g/L sampai 1,0 g/L sebagai antikapang. Senyawa ini dapat menghambat crown rot, anthracnope pada pisang, dan stem end rope pada jeruk. Olahan buah lain seperti jus, salad, jelly, cuka dapat digunakan pengawet garam benzoat atau sulfur. Pengawet ini ditambahkan ketika buah selesai diekstrak, sementara untuk buah kalengan, natrium bisulfit ditambahkan lebih awal untuk mencegah reaksi pencoklatan. Nisin dan sulfur dioksida juga banyak diterapkan dalam produk makanan hasil fermentasi dimana aplikasinya dilakukan sebelum fermentasi dimulai karena berfungsi untuk membunuh khamir, kapang, dan bakteri. Natrium bisulfit juga berfungsi mencegak oksidasi wine yang menyebabkan penyimpangan rasa dan warna.
Â
Produk Hewani
Produk olahan hewani juga riskan untuk mengalami kerusakan sehingga aplikasi pengawet juga digunakan. Produk keju yang sangat rentan terhadap bakteri gram positif baik diawetkan menggunakan nisin dan sorbat sedangkan produk telur yang rentan terhadap serangan bakteri salmonella cocok menggunakan nitrit.
Untuk produk daging olahan, yang perlu diperhatikan adalah produk daging dalam kaleng seperti kornet karena kaleng yang dikemas vakum serta nilai aktivitas air daging-dagingan yang cukup tinggi (antara 0,80 hingga 0,90) membuat produk ini rentan akan berkembangnya mikroba yang berbahaya dan mematikan yakni Clostridium botulinum. Untuk itu biasanya dilakukan curing yakni penambahan senyawa nitrat dan nitrit yang mencegah tumbuhnya bakteri clostridium. Namun hal ini bukannya tidak berdampak karena selama penyimpanan nitrit dapat membentuk senyawa nitrosamin dimana senyawa ini bersifat karsinogenik (dapat memicu kanker). Untuk antisipasi hal ini biasanya produsen selalu ketat dalam dosis pemakaian nitrit yakni hanya sampai 50 mg/ kg bahan yang disiasati juga dengan mengombinasikannya dengan pengawet lain seperti sorbat dan vitamin C/E (yang dapat mencegah pembentukan nitrosamin).
Â
Pengawet Makanan di Masa Depan
Pemecahan masalah terkait dengan pengawet yang mungkin perlu dipikirkan adalah diinginkan adanya suatu pengawet yang bersifat versatile atau universal sehingga bisa diaplikasikan pada semua bahan pangan dan dalam kondisi yang berbeda-beda, namun sampai saat ini hal tersebut belum dimungkinkan karena perbedaan mendasar karakteristik pada produk pangan dan pada pengawet itu sendiri. Satu-satunya jalan adalah bagaimana mengaplikasikan pengawet yang tepat pada produk yang tepat. Selain itu hurdle concept dan kombinasi penggunaan 2 atau lebih pengawet harus diperhatikan konsentrasi dan efisiensi penggunaannya.
Perlu diperhatikan juga bahwa penggunaan pengawet yang dilarang bukan saja merugikan konsumen namun juga merugikan produsen sendiri karena sekali kepercayaan konsumen hilang sulit mendapatkannya kembali dan pada kasus ekstrim produsen dapat dipidana. Penggunaan formalin, boraks, dan bahan lain yang dilarang sebaiknya dihindari karena masih banyak pengawet lain yang aman yang dapat digunakan. Untuk produk mie basah, misalnya, dapat digunakan campuran Ca-propionat 0,075 %, paraben 0,025 %, dan Na asetat 2,5 %.Â
Â
Daftar Pengawet yang dilarang untuk bahan pangan menurut Permenkes RI No. 722 /Menkes/Per/IX/88:
Natrium tetraborat (boraks)
Formalin (formaldehyde)
Minyak nabati yang dibrominasi
Kloramfenikol
Kalium klorat
Dietil pirokarbonat (DEPC)
Nitrofuranzon
P-phenetilkarbamida (Dulcin, 4-ethoxyphenylurea)
Asam salisilat dan garamnya
Â
Â
Â
Referensi:
Wijaya, Hanny. 2009. Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Bogor: IPB Press
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H