Banyak yang bertanya-tanya proses apakah yang terjadi pada saat pembuatan tahu sehingga bahan baku berupa kedelai dapat membentuk produk akhir yang bertekstur halus seperti tahu. Seperti yang telah umum diketahui bahwa kedelai adalah sumber protein nabati. Tahu, sebagai salah satu bentuk olahan kedelai, memiliki kadar protein yang relatif tinggi yakni 15% basis basah, lebih tinggi dibanding protein telur yang sebesar 12,5 % (USDA 2010). Hingga saat ini, tahu dibuat menggunakan prinsip denaturasi protein oleh kombinasi panas dan garam (koagulan).
Protein terdiri atas susunan asam amino. Asam amino merupakan gugus kimia yang terdiri atas atom C,H,O, dan N. Gugusan utamanya adalah gugus karboksil (COOH-) dan gugus amin (NH2) yang dihubungkan oleh atom karbon (dinamakan ikatan peptida), serta memiliki gugus rantai tambahan yang bervariasi sesuai jenis asam amino yang dibentuk.
Adanya gugus karboksil dan gugus amin pada asam amino menyebabkan protein bersifat amfoter yakni dapat bersifat asam atau bersifat basa tergantung pada nilai pH-nya. Muatan pada protein juga ditentukan oleh gugus rantainya . Pada kondisi dimana muatan positif dan negatif protein sama banyaknya, maka protein dikatakan mencapai titik isoelektrik dimana pada titik ini, protein memiliki kelarutan minimum sehingga bahan pangan cair berprotein (misalnya susu) mengalami penggumpalan (Andarwulan 2011).
Denaturasi Protein
Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuarter dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida. Lebih jelas mengenai struktur protein dapat dilihat di (http://majalah1000guru.net/2013/07/protein-seperti-apakah-rupamu/) Perubahan struktur ini menyebabkan perubahan sifat fisik dan kimia protein pada produk pangan. Contohnya protein albumin pada telur yang berangsur hilang kelarutannya dan berubah menjadi gumpalan putih (koagulasi) akibat terdenaturasinya protein oleh perlakuan panas ketika direbus.
Selain oleh panas, denaturasi juga dapat terjadi oleh penambahan asam (mengubah pH), pengaruh pelarut organik (alkohol, aseton), dan dan penambahan koagulan seperti garam valensi dua (CaSO4, MgCl atau Nigari), asam (GDL atau gluconodectalactone).
Penambahan koagulan, yang dikombinasi dengan perlakuan panas inilah yang menjadi prinsip pembuatan tahu. Tahu dibuat dengan menggunakan kedelai yang telah disortasi, direndam air mengalir selama 6-8 jam hingga kedelai mekar, kemudian airnya dibuang. Kedelai kemudian dihancurkan menggunakan penggiling beberapa kali, tambahkan air panas 80OC, kemudian disaring menggunakan kain penyaring. Cairan “susu kedelai” yang diperoleh selanjutnya dipanaskan hingga mendidih (busa yang terbentuk dibuang). Susu kedelai kemudian didinginkan hingga suhunya turun menjadi 60OC-70OC kemudian tambahkan koagulan. Pengalaman membuat tahu menunjukkan bahwa dengan GDL biasanya kualitas tahu yang dihasilkan lebih baik. Perlu dipehatikan bahwa saat dipanaskan dan penambahan koagulan, dilakukan pengadukan secara perlahan-lahan agar tidak terjadi penggumpalan/koagulasi mendadak. Terakhir diamkan selama 15 menit (Susilowati 1989).
Tahu Jepang dan Tahu Kediri
Tahu merupakan makanan tradisional di asia. Di Jepang, koagulan paling populer untuk pembuatan tahu adalah Nigari (umumnya mengandung magnesium klorida) namun GDL tetap paling banyak digunakan untuk pembuatan tahu sutra yang teksturnya sangat halus. Proses koagulasi terjadi pada masing-masing individu dalam kemasan sehingga steril karena tidak kontak dengan kontaminan ketika proses koagulasi. Juga, dapat diproduksi tahu yang memiliki umur simpan yang panjang menggunakan teknologi UHT (Jungbunzlauer 2008).
Beberapa produk tahu di pasaran diberi pewarna kuning. Tahu kuning atau tahu Kediri (merujuk pada daerah sentra pembuatan tahu ini) memiliki tekstur sangat padat, kenyal, berpori halus dan lembut. Bentuknya kotak segi empat dan agak pipih. Karena kepadatannya yang lebih baik dari pada tahu putih, ketika dipotong tahu tidak mudah hancur. Dahulu pewarna kuning yang digunakan adalah pewarna yang berasal dari pewarna alami kunyit. Namun, seiring waktu banyak produsen nakal yang memanfaatkan bahan lain yang berbahaya yang sesungguhnya dilarang dengan alasan harganya yang lebih murah dan warna kuning yang dihasilkan lebih tahan lama.
Pewarna kuning yang perlu dicermati adalah metanil yellow. Paparan metanil yellow pada tubuh yang dikonsumsi melalui makanan dilaporkan dapat merusak hati, kandung kemih, saluran pencernaan dan kulit (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Untuk mengetahui adanya metanil yellow pada produk tahu bukan perkara mudah karena analisis yang akurat hanya dapat dilakukan menggunakan kromatografi (HPLC, kertas, lapis tipis) sementara pengamatan kasat mata dirasa masih sulit untuk melihat perbedaannya. Terkait dengan efek kesehatan yang ditimbulkan, dihimbau untuk para produsen/penjual wajib mengganti pemakaian pewarna ini dengan pewarna alami dari kelompok karotenoid atau pewarna sintetis yang diijinkan seperti tartrazin, kuning kuinolin, dan kuning FCF (Wijaya 2010).
Referensi:
Andarwulan Nuri, Kusnandar Feri, Herawati Dian. 2011. Analisis Pangan. Jakarta:
Dian Rakyat
Jungbunzlauer. 2008. Glucono-delta-lactone Uniqueness in Acidification. http://www.
jungbunzlauer.com
Kusmayadi Sukandar D. 2009. Food Safety and Its Application in Daily Life to Prevent
Dangers of Consuming Unsafe Foods and Promote SPFS Farmer’s Health (http://data
Base.deptan.go.id/saims-indonesia/index.php?files)
Susilowati Tri. 1989. Pembuatan Tahu Sutera. Buletin Pusbangtepa IPB. Vol 7(18) hal 57-63
Atie Suwarti. 2013. Protein Seperti Apakah Rupamu. Rubrik Kimia Majalah 1000 Guru.
USDA Nutrient Data base for Standard Reference (http://www.nal.usda.gov)
Wijaya Hanny. 2009. Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Bogor: IPB Press
Sumber gambar:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H