Mohon tunggu...
Dini Satya Hapsari
Dini Satya Hapsari Mohon Tunggu... Mahasiswa - messy complicated and afraid but show up anyways,,,

The woods are lovely Dark and Deep But, I have promises to keep And miles to go before I sleep And miles to go before I sleep,,,, ~R. Frast~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara

3 Juni 2022   18:17 Diperbarui: 3 Juni 2022   18:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku merasakan perasaan yang tidak enak saat menatap pantulan diriku di cermin tua yang dibeli oleh Ibuku di toko barang antik. Saat aku melihat pantulan diriku di cermin itu, rupaku tetap rupaku tapi ekspresiku bukan ekspresiku. Hal ini pun sudah kuceritakan pada Ibuku tapi jawaban yang kudapat hanyalah, 

"Kamu itu sugesti Nak, mungkin karena kamu merasa itu barang antik, jadi kamu punya pikiran yang aneh-aneh.". Aku mencoba untuk mempercayai perkataan Ibuku, tapi apa yang terjadi padaku saat menatap pantulan diriku di cermin itu sungguh benar adanya, pantulan diriku kembali menatap diriku, terkadang dengan ekspresi bahagia, terkadang dengan ekspresi kesedihan yang tak terperi.


Sampai suatu malam, aku mendapati telingaku mendengar suara wanita menangis, aku memberanikan diri keluar dari kamar, dan benar suara itu berasal dari ruangan dimana cermin itu diletakkan. Aku berjalan dengan pelan, namun debaran jantungku semakin kencang, dan saat aku menatap cermin itu, sungguh benar-benar ketakutan yang kurasakan, karena raut wajah dalam cermin itu sedang menatapku sambil menangis, ia menangis hebat penuh kesedihan, 

seketika badanku tidak bisa digerakkan, aku hanya bisa terpaku menatap raut wajah dalam cermin itu, aku ingin berlari kembali ke kamar, tapi tidak bisa, aku ingin berteriak memanggil Ibuku tapi mulut ini tak bisa kubuka, takut..sungguh aku takut, sekuat tenaga aku mencoba bergerak, tapi tetap tidak bisa, akhirnya aku merasa kesadaranku mulai menghilang perlahan, kepalaku terasa berat, lalu saat kegelapan menyergap indraku aku merasakan tubuhku perlahan mulai terjatuh.

Harum sekali, aroma bunga apa ini? Benakku seperti bertanya pada diriku, lalu siapa yang mengelus kepalaku dengan sayangnya? Rasanya nyaman, ingin aku membuka mataku, tapi tidak bisa, masih terasa berat, aku masih ingin tertidur lebih lama lagi. Tapi, kemudian aku mendengar suara-suara, suara-suara yang seperti memanggilku dengan perlahan agar aku bisa sadar dan membuka mataku. Aku mengenal suara itu, suara Ibuku, betapa ingin aku memeluknya 

dan menceritakan apa yang terjadi pada diriku semalam, dan memintanya untuk menyingkirkan cermin itu dari rumah. Lalu, meski terasa berat, aku mencoba membuka mataku perlahan, hingga aku bisa melihat jelas keadaan sekelilingku, aku terpana, karena tampaknya ini bukan kamarku, setiap perabotannya begitu berbeda, begitu kuno, lalu aku melihat wajah Ibuku, yang basah dengan air mata, aku mencoba bertanya padanya, tapi hanya lirihan yang keluar dari mulutku. 

"Oalah, kamu akhirnya sadar juga, maturnuwun Gusti." kata Ibuku. "Cepat, cepat panggilkan lagi Janggan untuk memeriksa keadaan Ambar putriku." Katanya kepada salah satu wanita yang juga turut ada dikamarku. Aku yang masih keheranan hanya bisa memandang berkeliling, sambil menatap wajah-wajah asing yang ada dikamarku, pandanganku kembali tertuju pada Ibuku. "I..b...u"sahutku lemah, Ibuku yang mendengarnya  mulai menangis, 

"Akhirnya kamu bangun juga Cah Ayu, anak Ibu, doa Ibu dikabulkan juga oleh Sang Pencipta, lagipula apa yang waktu itu ada di pikiranmu mencoba berkuda seperti itu, hingga akhirnya kamu jatuh, sampai seperti ini." Kuda, kenapa aku naik kuda tanyaku dalam hati, sejak kapan keluargaku memelihara kuda? Aku semakin merasa yakin ada yang salah disini, namun aku belum mampu menelaah yang terjadi, karena kondisi badanku

masih terasa lemah dan sakit disana-sini. Hingga akhirnya lelaki tua yang disebut Janggan muncul untuk memeriksaku, ia berkata bahwa kondisiku tinggal menuju pemulihan, dan ia akan membuat ramuan untuk aku minum nantinya. Ini lagi-lagi aneh menurutku, kenapa obat disebutnya jadi ramuan, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diriku Tuhan.

Beberapa hari berlalu, aku berangsur-angsur menemukan kekuatanku kembali, aku bisa bangun dan terduduk di tempat tidur, meski belum dapat bergerak dengan leluasa, lalu perlahan aku mulai mencerna apa yang terjadi. Aku terbangun bukan di dunia asalku, entah di dunia bagian mana ini, kenapa jiwaku bisa melanglang buana sampai di dunia ini dan menempati tubuh ini akupun tidak tahu.

 Yang aku tahu di dunia ini aku bernama sama dengan aku di dunia asalku, aku sama-sama dipanggil Ambar, putri dari pengusaha kain yang tinggal di Desa Tidunan, rupaku juga tidak jauh berbeda dengan rupaku saat di duniaku yang sebelumnya, begitu juga rupa Ibuku. Aku tidak sadarkan diri karena terjatuh saat berkuda, Ibu dan semua orang yang tinggal dirumah ini sangat mengkhawatirkan kondisiku, mereka berharap agar aku bisa kembali sehat seperti sediakala.

Meski aku berusaha menerima keadaanku saat ini, tetap saja aku kalut, karena aku merasa apa yang ada disini tidak nyata, yang nyata adalah kehidupanku yang dulu, ataukah mungkin sebaliknya? Sungguh bingung aku dibuatnya, untuk sekarang aku hanya ingin memulihkan kondisi tubuhku, baru akan kupikirkan lagi langkah selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun