Mohon tunggu...
Hapsari Adiningrum
Hapsari Adiningrum Mohon Tunggu... -

Ibu dari dua putra Arfa Rahman Riyansa dan Barra Ramadhan Riyansa, senang bergabung di banyak komunitas dan sedang menunggu buku perdana yang berjudul"Panduan Praktis Asi Eksklusif 6 Bulan" terbit dalam waktu dekat :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Kisah Ibu dengan Anak Autisnya

23 Desember 2013   20:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama : Hapsari Adiningrum
Nomor : 489

Ibu, terimakasih untuk kasih sayangmu yang seluas bumi dan langit. Terimakasih untuk air mata dan tetes keringat yang telah kau alirkan untukku. Ibu, aku tahu betapa besar perjuanganmu untuk membesarkan dan mendidikku. Betapa berat jalan yang kau lalui untuk mendidikku, seorang anak istimewa. Seorang anak dengan predikat penyandang autis

***
Solo, 1981

Tidak ada anak di dunia ini yang bisa memilih orang tuanya dan tidak ada ibu di dunia ini yang memilih anak yang akan dilahirkannya. Aku lahir dengan persalinan normal dan tidak ada keanehan dalam diriku. Ibu, aku tahu kau sangat bahagia menyambut kehadiranku sebagai putri pertama, bidadari kecilmu. Aku yang masih berumur sehari kau bawa pulang dari rumah sakit. Kau yang masih lemah tapi tetap kuat begadang di tengah malam untuk menyusuiku dan membuatku kembali lelap dalam dekapan dadamu yang penuh kasih. Ibu, betapa hangat dan nyaman berada di dekatmu. Aku ingin selamanya berada di sampingmu

Solo, 1985-1991

Ibu, aku tumbuh menjadi gadis kecil yang manis dan putih. Kulit putihmu, kau turunkan padaku. Bibir mungil serta wajah tirus itu juga darimu. Kata orang-orang aku ini persis sepertimu, Bu. Ibu, saat usiaku 4 tahun beberapa kali kulihat kecemasan di matamu saat menatapku. Kulihat juga kesedihan yang tergambar di wajahmu. Ibu, tak perlu cemas karena aku baik-baik saja. Lihatlah diriku, aku sudah dapat berjalan dan berlari mengejar kupu-kupu. Aku sudah dapat makan dan minum sendiri, lalu apa yang kau cemaskan, Bu?. Tetangga, saudara dan orang-orang mulai berbisik-bisik tentangku ;
“ putri bu Alka, bisu”
“Tidak, dia bisa bicara tapi hanya sedikit, padahal anak perempuan biasanya pasti ceriwis”
“ putri bu Alka aneh ya”
“ Iya, Dinda lebih senang sendiri daripada bermain dengan teman-temannya”

Ibu, itu hanya selentingan kecil yang diucapkan orang-orang tentangku. Dan engkau dengan senyum berusaha menjelaskan jika aku baik-baik saja hanya sedikit terlambat bicara. Tapi semakin hari umurku semakin bertambah dan kosa kata yang keluar dari mulutku justru berkurang. Aku lebih banyak duduk dan asyik dengan puzzle dan mainanku. Aku tidak suka boneka seperti anak perempuan yang lain. Apakah aneh jika aku tidak suka bermain, karena aku lebih tertarik dengan segala sesuatu yang berputar. Jika keluar rumah maka aku akan masuk ke rumah Bu Lilik, disana ada kipas angin. Aku bisa berlama-lama memandang kipas angin. Saat ku dengar Bu Lilik menyapaku aku tidak menghiraukannya karena bagiku kipas angin adalah benda di dunia yang paling ajaib dan mengasyikkan. Aku juga bisa berlama-lama memainkan roda sepeda motor ayah yang terparkir dengan standart dua. Roda belakangnya bisa aku putar sesukaku. Aku memang suka segala sesuatu yang bergerak berputar. Aku juga suka menyusun puzzle dan merakit pesawat terbang.

Ibu, masih ingatkah kau pada saat aku kau ajak ke toko sembako di Koh Ayung. Kau sibuk memilih bahan makanan dan aku asyik melihat kipas angin yang terpasang di dinding bagian atas toko. Aku ingin melihat lebih dekat dan aku mengambil kursi di dekatku. Aku sudah memanjat kursi dan berusaha meraih baling-baling kipas angin. Koh Ayung teriak terkejut karena mendengar bunyi benda jatuh. Ibu lebih terkejut saat melihat ternyata aku yang jatuh dan dahiku mengeluarkan darah tanpa henti. Saat itu aku tidak menangis, aku hebat kan bu. Entahlah aku tidak merasakan sakit sama sekali, justru engkau yang tampak histeris dan menangis saat membawaku ke rumah sakit.

Lalu suatu hari datang Bu Marni, tetangga depan rumah. Awalnya beliau hanya basa-basi menanyakan kabarku lalu Bu Marni bercerita jika di kampung sebelah ada orang pintar yang bernama Kyai Handaruwo yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Cara penyembuhannya juga gampang hanya dipijat pada daerah-daerah tertentu . “ Putra Pak Rohmad juga berobat di sana lho bu. Umur lima tahun belum dapat bicara. Kata Pak Kyai Handaruwo, anak itu terkena “sawan”. Jadi ada jin yang menempel di tubuhnya dan membuatnya kesulitan untuk bicara. Baru berobat tiga kali sudah ceriwis sekali” kata BuMarni dengan semangat mempromosikan klinik alternatif itu. Ibu mengangguk-angguk dan tampak antusias sekali mencatat alamat Pak Kyai Handaruwo.

Beberapa hari kemudian, ayah dan ibu membawaku ke Dusun Paulan. Saat kalian membawaku masuk keruangan yang berbau menyan dan menyebarkan aroma mistis, aku mulai merasa tidak nyaman dan ketakutan. Apalagi orang tua asing itu berusaha menyentuh leherku. Kulihat dengan suara berat Pak Kyai berkata “ Wah, ternyata ada jin dalam tubuh gadis ini yang menyumbat syaraf bicaranya”. “ Kalian pegang dia erat-erat, aku akan mengusir jin itu” perintah pak Kyai kepada ayah dan ibu. Aku berontak dan teriak menolak semua ini. Pak Kyai mulai memijat leherku dengan keras dan semakin keras. Aku menangis dan meraung-raung dengan suara tidak jelas. Aku ingin berkata “ Aku tidak mau, tolong aku tidak mau!” tapi tidak satu katapun yang keluar dari bibirku. Aku semakin keras menangis dan semakin kuat melawan, mengapa kalian tidak mengerti keinginanku dan akupun mulai merasa trantum. Aku berusaha membenturkan kepala ke dinding. Oh ibu, saat itu aku merasa jadi anak yang paling malang sedunia.
Ibu, dan omongan miring tentangku semakin pedas kau rasakan saat aku tidak bisa berhasil sembuh setelah lebih dari sepuluh kali berobat ke klinik alternatif. Penduduk desa percaya Pak Kyai Handaruwo adalah orang pintar yang sakti dan ahli. Maka julukan untukku mulai diberikan dari penduduk. “ Gadis aneh, gadis idiot, gila dan itu semua kau terima dengan hati terluka, pedih dan perih. Tak hanya aku yang mendapat julukkan, penduduk desa mulai mengungkit-ungkit masa lalu ibu, dan membuat kesimpulan bahwa ibu adalah anak durhaka yang sedang mendapat kutukan dari Tuhan. Ah, ibu...mengapa mereka begitu kejam mencemooh dan menghina kita...

Solo, 1992

Ada tamu asing di rumah. Perempuan setengah baya dengan gaya busana yang apik dan parfum yang harum. Tante Leli, adik sepupu ayah yang datang dari Jakarta. Tante Leli mempunyai suami seorang dokter yang bekerja di rumah sakit besar di Jakarta. Tante Leli, ayah dan ibu mulai bicara serius dan berencana membawaku ke Jakarta. Disana dokter ahli akan dapat menganalisa kekuranganku dan berusaha untuk “menyembuhkanku”. Lalu kudengar ibu mulai menangis dan menyerahkan semua perhiasan untuk dijual demi mengobatiku. Ternyata itu semua belum cukup, jalan satu-satunya adalah menjual rumah ini dan mencari rumah kontrakan di Jakarta. Ayah, ibu betapa banyak harta yang kalian keluarkan demi aku, putrimu satu-satunya penyandang asperger syndrome.

Berada di Jakarta dan ditangani oleh dokter anak dan psikolog bertangan dingin, membuatku menunjukkan banyak perubahan. Aku sangat senang karena mereka dapat memahamiku. Mereka mengajakku bicara dengan menggunakan benda-benda yang menarik perhatianku. Mereka membuatku nyaman dan merasa aman. Mereka mengajariku mengenal banyak benda dengan sebuah kartu yang kemudian hari aku tahu namanya flash card. Mereka melarangku memakan makanan yang berasal dari tepung terigu dan susu sapi. Saat aku mulai diet, aku merasa lebih tenang dan dapat fokus. Dokter Melly juga memberiku suplemen agar aku semakin pintar. Ibu terlihat sangat bahagia dengan kemajuan yang aku alami. Ibu juga diajari oleh psikolog dan terapis di rumah sakit, bagaimana cara memperlakukanku di rumah, bagaimana cara mengajariku bicara dan konsentrasi. Ibu juga mulai mengatur makanan yang boleh dan tidak boleh aku makan. Ibu banyak belajar dan ibu adalah perempuan yang cepat paham. Jika di rumah sakit, aku akan diterapi selama satu jam maka sisanya ibu akan mengulang dan mengulang kembali di rumah. Ibu, tidak pernah terlintas di wajahmu rasa lelah dan rasa bosan untuk mengajariku agar aku bisa mengejar keterlambatanku.

Dengan menempati sebuah rumah kontrakan mungil di Jakarta pusat, kami memulai hidup baru dengan penuh harapan. Aku mulai masuk sekolah dan mendapat kawan baru. Walau aku kesulitan untuk memulai percakapan dengan orang yang baru saja aku kenal tapi kawan dan guru disini tidak ada yang menatapku sinis. Bahkan aku sering mendapat pujian bahwa aku adalah murid yang pintar. Lalu ibu mulai dikenal banyak orang, karena kesabaran dan ketekunan ibu membimbingku ternyata menginspirasi para orang tua yang mempunyai buah hati sebagai anak berkebutuhan khusus. Ibu, dari dalam lubuk hati yang terdalam aku menyampaikan rasa terima kasih dan hormat sujudku. Aku sekarang telah menjadi gadis mandiri dan itu semua karena cinta ibu yang tulus dan tanpa pamrih.

NB
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Silakan bergabung di FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun